Matahari hampir tenggelam saat Yasmin akhirnya keluar kamar. Udara Jakarta mulai lembap, aroma masakan sore dari dapur menggantung di udara. Ia menuruni tangga perlahan, sempat berhenti di depan ruang kerja Hans. Dari celah pintu, ia melihat suaminya masih duduk di sana, kini sedang menelepon seseorang dengan nada serius. [“Nggak, saya nggak bisa meeting minggu depan, saya sudah ada agenda keluarga.”] Yasmin ingin percaya kata keluarga itu berarti bagi Hans. Namun, ekspresinya tidak berubah, dingin, terukur, seperti sedang menutup transaksi. Inilah salah satu hal yang Yasmin tidak senangi dengan kembalinya mereka ke Jakarta. Kota ini selalu berhasil membetot total atensi sang suami pada keluarga kecil mereka. Semenjak Hanggara memutuskan untuk menyerahkan kembali perusahaan yang di-

