Hans terdiam. Kata-kata itu menancap seperti bilah pisau di dadanya. Nafasnya tercekat, seakan udara di ruangan mendadak habis. Ia menatap Yasmin lamat-lamat, seolah mencari celah kecil yang bisa ia masuki untuk memperbaiki keadaan, tapi yang ia lihat hanya dinding dingin yang menjulang tinggi—tak tergoyahkan. Yasmin beranjak dari tempat duduknya. Kembali melangkah ke kamar. Saat hendak menutup pintu, Hans langsung menahan benda tersebut dan ikut masuk ke dalam. “Yasmin … jangan bilang begitu,” suaranya serak, pecah di ujung. Ia meraih tangan istrinya lagi, namun kali ini Yasmin menariknya dengan cepat, meski gerakannya lemah. “Tolong, Yas.” “Aku udah bilang, Mas. Aku nggak bisa lagi.” Suaranya bergetar, tapi tegas. Air mata menuruni pipinya tanpa bisa ia tahan. “Setiap kali aku lihat k

