“Berani gigit aku, Mas?” Yasmin bertanya dengan nada manja, suaranya serak lembut, mengalun di udara kamar yang pengap dan redup. Ujung kalimatnya bergetar, seperti memancing sesuatu yang sejak tadi berusaha dikekang. Hans menelan ludah. Suara serak Yasmin saja sudah cukup untuk membuat pertahanannya runtuh perlahan. Ia mendekat, menatap dalam-dalam wajah perempuan itu—wajah yang tiap lekuknya sudah ia kenal, tapi entah kenapa selalu terasa baru di tiap kesempatan. Namun, Hans tahu, Yasmin tidak suka tergesa. Ia hafal betul ritme sang istri: yang lembut, yang lambat, yang dinikmati pelan-pelan, seolah tiap detik harus diabadikan. Maka ia menahan diri, meski napasnya mulai berat dan dadanya naik-turun tidak teratur. Di luar, langit mendung menekan bumi. Hawa panas menembus jendela, tapi

