4 - Bunda

1051 Kata
    Dua piring berisi nasi putih pulen, ayam goreng tepung, telur orak arik, dan beberapa kotak plastik kecil berisi saos sudah terhidang di atas meja. Yah, kalian tahu lah ini di mana? Sebuah restoran cepat saji yang cabangnya sudah ada ratusan gerai tersebar di seluruh Indonesia. Salah satunya, sedang aku datangi. Letaknya persis di depan mall. Bersebelahan dengan pesaing beratnya. Restoran cepat saji yang dikenal identik dengan seorang laki-laki berambut putih, berkacamata, dan memakai setelan jas warna putih.     Kenapa aku memilih restoran ini daripada yang sebelah? Tentu saja karena Kayla yang mentraktir. Kalau pilihanku sendiri, sih, aku akan memilih makan di kos. Beli lauk di warung langganan. Lebih murah. Memangnya aku Kayla yang bisa asal minta uang jika kehabisan uang bulanan? Hidupku tak semudah itu.     Maka, aku menurut saja saat Kayla mengajakku ke sini. Pun aku memesan menu yang sama dengannya agar tidak terkesan aji mumpung. Meski menu yang dipilih Kayla termasuk menu yang mahal, sih.     Aku mulai memakan makanan di hadapanku. Lezat sekali. Aku sampai lupa kapan terakhir kali makan daging ayam. Belakangan ini, karena harus menghemat, terpaksa aku harus puas hanya makan dengan sepotong tempe goreng atau tahu goreng. Jadi, makanan ini rasanya seperti memanjakan lidah dan perutku.     “Enak banget, ya, Nay?” Kayla tersenyum geli.     Aku tersipu. Malu ketahuan begitu menikmati makanan yang ia belikan. Tapi, aku memilih mengangguk. Mungkin dengan rona merah di pipiku.     Kayla semakin terkikik geli. “Mau pesen kentang goreng atau burger buat cemilan?” Matanya membulat. Sepertinya ia sungguh-sungguh menawarkan.     “Nggak usah!” Jawabku terburu-buru. “Ini sudah lebih dari cukup.” Aku menunduk. Menyuapkan kulit ayam goreng yang super gurih dan krispi. Hm… ini surga dunia!     Kayla ikut melanjutkan makannya dengan sisa-sisa senyum di wajahnya.     “Oh iya, kamu ngelamar kerja di mana?” Aku sembarang saja mencomot topik pembicaraan.     “Di Perusahaan Y.” Kayla menjawab singkat dan melihatku sekilat. Untuk sedetik kemudian kembali fokus ke makanannya. “Kalau kamu gimana?”     “Aku baru masukin berkas lamaran kerja lagi tadi. Semoga kali ini lolos.”     “Aamiin. Semoga masa pengangguran kita berakhir.” Kayla mengangkat tangannya yang kotor sebelah. Seperti berdoa.     Aku mengaminkan dalam hati. Sekencang mungkin. Berharap Tuhan mendengar doaku kali ini.     Setelahnya, kami hanya mengobrol ringan. Soal perusahaan Y tempat Kayla melamar pekerjaan. Karena perusahaan itu cukup jauh dari tempat kos kami, jika nanti lolos Kayla berencana keluar dari kos.     “Huhuhu, nanti aku pisah sama kamu, Nay.” Wajah Kayla cemberut.     “Hei, nggak apa-apa. Nanti di sana ‘kan dapet temen baru.” Aku berusaha tersenyum. Sebenarnya aku tidak terlalu keberatan jika Kayla keluar dari kos. Aku tidak punya perasaan sedih atau apapun itu. Toh, aku sudah terbiasa sendiri.     “Tapi tetep aja, udah biasa tiap hari liat kamu terus nggak ada itu ‘kan nggak enak rasanya. Udah biasa kalau berangkat ke kampus bareng, pergi ke mana-mana bareng, beli makan bareng, kadang juga makan bareng kayak gini.” Kayla masih cemberut, kali ini wajahnya seperti akan menangis.     Ah, aku paling bingung dengan kondisi seperti ini. Aku harus menjawab apa? Harus bersikap bagaimana?     “Kamu nggak bakal pindah kos ke luar kota ‘kan?” Aku menemukan sebuah ide cemerlang.     “Eh?” Alis Kayla terangkat. Wajah cemberutnya sirna entah ke mana. “Enggak.” Ia menggeleng tegas.     “Ya udah, nanti ‘kan masih bisa ketemu. Aku bisa main ke kosmu, atau kamu ke kosmu. Atau… kita ketemuan di mana gitu, main bareng.” Aku berpikir, ini jawaban paling pas untuk menghibur Kayla. Meski aku tidak tahu, Kayla benar-benar sedih dengan perpisahan kami atau tidak sama sekali sepertiku.     “Ah iya bener!” Wajah Kayla sumringah. “Bener ya? Nanti kita harus sering ketemu kalau ada waktu.” Kali ini wajahnya memelas.     Ah, Kayla. Ia selalu begitu, tulus sekali dalam berteman. Sementara aku? Aku selalu takut  melibatkan perasaan dalam sebuah hubungan. Hubungan paling dangkal sekelas teman biasa pun aku tak berani.     Meski begitu, akhirnya aku tetap mengangguk. Tak menjawab sepatah katapun. Karena aku tak mampu berjanji akan punya waktu untuk ‘main’ dengannya. Sebagian besar waktuku sudah habis untuk bertahan hidup. ***     Makanan kami sudah tandas. Aku sudah berniat mengajak Kayla untuk bergegas ke tujuan selanjutnya. Awan hujan mulai menutupi langit di atas kami. Tapi tiba-tiba hujan deras mengguyur kota.     Kami masih duduk di lantai dua restoran cepat saji ini. Menyaksikan pengendara motor menepi untuk memakai jas hujan atau berteduh. Suara klakson bersahutan membentur suara derasnya hujan. Semua orang yang terjebak di jalanan tampak ingin segera sampai di tempat tujuan. Menghindari hujan yang datang tanpa aba-aba. Mungkin sebagian dari mereka sedang sibuk memaki awan yang tiba-tiba saja memuntahkan endapan airnya.     “Nay, aku turun dulu, ya?” Kayla sudah berdiri dari kursinya.     “Mau ke mana?”     “Mau pesen es krim sama burger. Hehehe.” Ia memamerkan barisan giginya yang putih.     “Kamu belum kenyang?” Alisku terangkat. Agak kagum dengan kapasitas lambung Kayla.     “Kalau hujan gini paling enak tuh ngemil, Nay. Kamu juga mau?”     “Enggak. Aku udah kenyang.” Aku tersenyum simpul. Menyilakan Kayla turun untuk memesan makanan.     Aku menoleh ke samping. Menatap jalanan yang tampaknya semakin padat. Suara klakson masih bersahutan. Samar terdengar hingga ke atas sini. Beruntung, kami memilih duduk di dalam ruangan daripada di beranda. Karena mereka yang di beranda kini terpaksa harus segera menyudahi obrolan atau makan mereka. Tempias air hujan merusak suasana.     Suara musik yang disetel cukup keras mengalahkan suara hujan di luar sana. Aku menikmati alunan lagu yang tak kukenal ini. Belum ada semenit, musik berhenti. Sedetik kemudian denting piano memenuhi langit-langit restoran. Lembut dan syahdu. Sebuah suara merdu milik penyanyi dan pengarang lagu ternama di negeri ini mulai mengiringi. Menambah dalam makna lagu ini.                 Kubuka album biru…                 Penuh debu dan usang…                 Kupandangi semua gambar diri...                 Kecil bersih belum ternoda…                 Pikirku pun melayang…                 Dahulu penuh kasih…                 Teringat semua cerita orang…                 Tentang riwayatku…     Setetes air mata meluncur dari mataku. Membasahi pipi, menghangatkan hatiku. Aku menatap nanar ke kejauhan. Kenangan-kenangan itu kembali muncul. Berputar-putar, menari-nari seiring lagu dari speaker restoran yang memenuhi kepalaku. Suara penyanyi memasuki bagian reff.                 Kata mereka diriku selalu dimanja…                 Kata mereka diriku selalu ditimang…                 Oh Bunda ada dan tiada dirimu ‘kan selalu ada di dalam hatiku…     Deg!     Aku sempurna menangis. Hatiku nyeri. Dadaku sesak, seolah ada batu besar sedang menindihnya. Mataku panas dan berair. Bayang-bayang wanita kulit putih yang kata orang wajahnya mirip sekali denganku itu terus melayang-layang. Senyumnya saat meyambutku pulang sekolah, tawanya, suaranya saat membacakan dongeng sebelum tidur, sorot matanya, bahkan hangat pelukannya, semua masih jelas kuingat.     “Ibu… ibu…” Aku berbisik pilu. Terisak. Kepalaku menunduk dalam-dalam. Pahaku basah oleh air mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN