1 - Dream
Namaku Kanaya, seorang yatim piatu. Ah, tidak. Aku belum tentu piatu, tetapi sudah pasti yatim. Ayahku meninggal empat tahun lalu. Persis sehari sebelum pengumuman penerimaan mahasiswa baru di Universitas tempatku mendaftarkan diri. Ia meninggal karena kecelakaan sepulang dari tempatnya bekerja. Menyeberang jalanan yang ramai di depan kantornya, lalu dari arah kanan, sebuah mobil box melaju dengan kecepatan 120 km/jam menghantam tubuhnya. Menyeretnya hingga bermeter-meter jauhnya. Tubuh ayahku ditemukan tergeletak di bagian bawah mobil. Bajunya sobek di bagian punggung, memperlihatkan punggungnya yang melepuh akibat bergesekan dengan aspal yang kasar dan panas. Kepalanya berdarah, tubuhnya bersimbah darah. Bajunya yang putih berubah merah. Ayahku, meninggal di perjalanan ke Rumah Sakit.
Bagaimana denganku? Tentu saja aku sedih, sangat terpukul. Ia satu-satunya orang terdekat yang kumiliki. Namun, entah bagaimana bisa aku tidak menangis saat pemakamannya. Aku hanya menatap kosong batu nisan putih bertuliskan namanya. Aku tahu orang-orang berbisik tentang reaksiku. Tapi sungguh, aku tidak bisa menangis kala itu. Barulah ketika langit malam yang gelap mulai turun, rumah kontrakan sempit terasa sepi menggigit, air mataku buncah seluruhnya. Aku menangis sesenggukan di tengah kegelapan. Suaraku tercekat, hatiku perih, mampukah aku terus menjalani hidup seorang diri?
Pertanyaan itu terus menghantuiku. Membuat hidupku terasa hampa. Tak punya tujuan, tak ada semangat. Seolah, hidup segan, mati tak mau.
Beberapa kerabat menyarankan padaku untuk ikut tinggal bersama mereka. Aku menolak, tentu saja. Aku memilih tinggal sendiri. Menyelesaikan kontrak dengan pemilik rumah sempit itu, lalu merantau ke kota tempatku akan kuliah. Mencari kos termurah di sekitar kampus. Usiaku 18 tahun saat itu. Aku sudah cukup mampu mengurus diriku sendiri.
Lalu, ibuku? Tidak tahu. Aku tidak tahu ia ada di mana. Apakah ia masih hidup atau sudah meninggal, aku tidak tahu. Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bertemu dengannya. Karena itu, sepeninggal Ayahku, aku memutuskan untuk menganggap wanita itu juga telah tiada.
Empat tahun aku hidup sendiri, mengandalkan tabungan yang ayah tinggalkan untukku. Aku juga berjualan online, bekerja sama dengan supplier agar aku bisa jadi marketer mereka. Tanpa modal, tanpa perlu menyetok barang, hanya perlu rajin promosi. Setiap bulan mereka akan memberiku fee sesuai jumlah barang yang bisa kujual. Sesekali aku juga apply beasiswa. Kadang dapat, kadang tidak. Kalau dapat, uangnya lumayan. Cukup untuk membayar SPP satu semester dan biaya hidup 3 bulan.
Sebulan lalu, aku baru saja diwisuda dan resmi mendapat gelar sarjana manajemen. Benar, aku sedang sibuk mencari pekerjaan. Puluhan amplop cokelat berisi biodata diri, legalisir ijazah dan transkrip, beberapa fotokopi sertifikat penghargaan sebagai syarat tambahan untuk melamar kerja aku layangkan ke berbagai instansi yang mungkin menerimaku. Namun, tak ada satupun yang lolos. Satu-dua hanya sampai tahap wawancara lalu kandas. Pesan berisi penolakan sudah biasa kuterima. Satu-dua sampai tahap psikotes, lalu tak ada kabar. Apa lagi kalau bukan tidak lolos? Sama seperti kisah teman-temanku yang pacarnya tiba-tiba hilang tak ada kabar. Lalu, sekalinya ada kabar, meminta putus. Biasanya teman-temanku akan menangis sedih, tidak enak makan, tidak enak tidur. Stress.
Aku? Sama saja. Bedanya, semua perasaan negatif ini akan menghadirkan sebuah mimpi buruk. Mimpi yang sama setiap kali aku merasa seorang diri di dunia ini. Mimpi yang juga kualami ketika ayahku meninggal empat tahun lalu. Mimpi yang setiap kali terbangun setelahnya, badanku terasa menggigil dan berkeringat dingin. Sedetik kemudian air mataku buncah begitu saja. Perasaan sedih dan sepi menyeruak tak tertahankan.
Pagi ini, aku mengalaminya. Aku terbangun dengan kondisi mata berair dan tubuh berkeringat dingin, bantalku basah. Jantungku berdegup sangat kencang. Mimpi itu menambah kelam suasana hatiku.
Jika kuingat-ingat, mimpi itu tidak menyeramkan. Bukan mimpi dikejar singa atau binatang buas lain. Apalagi mimpi dikejar hantu. Bukan, sama sekali bukan. Di dalam mimpiku semuanya tampak gelap, terasa sesak sekali meski aku tahu betul itu bukan ruangan sempit. Karena di dalam mimpiku, aku selalu mampu berjalan sejauh yang aku mau. Semuanya gelap, tak ada satu pun sumber cahaya. Tidak, rasanya tidak seperti ketika sedang mati lampu di malam hari. Aku bisa ‘melihat’ kegelapan itu. Semakin aku berjalan, perasaan sepi dan dingin semakin kuat menyelimutiku. Membuat langkahku semakin berat dan patah-patah. Hingga akhirnya di ujung mimpi, sebuah sangkar burung berukuran besar berdiri kokoh. Seolah ada cahaya yang hanya menyorot pada sangkar itu, aku bisa melihat dengan jelas hingga ke sosok di dalamnya.
Sosok itu meringkuk. Mengenakan gaun putih yang lusuh, compang-camping di bagian bawahnya. Ia berada persis di tengah-tengah sangkar. Seketika, suara tangis memilukan memenuhi seluruh penjuru. Menusuk hingga ke hatiku. Membuatku ikut menangis. Kesedihan yang dialami sosok itu seperti ditembakkan ke hatiku melalui suara tangis yang semakin aku mendekat, terdengar semakin memilukan. Kesedihan yang sangat dalam, hingga mampu melumpuhkan seluruh tubuh. Terkadang, untuk mencapai pintu sangkar itu aku harus terseok-seok.
Di akhir mimpi, saat aku sudah mencapai pintu sangkar itu, sosok itu akan mengangkat kepalanya. Menatapku dengan matanya yang bulat. Tatapannya kosong, air matanya deras mengalir, ada pedih yang nyata pada raut wajah gadis itu. Lalu, seketika aku terbangun.
Aku sudah memimpikan mimpi yang sama selama bertahun-tahun. Memang tidak setiap hari, tapi perasaan sedih dan sepi yang ditinggalkan setiap aku memimpikannya, masih terasa sangat nyata. Hingga hari ini, aku masih tidak mengerti maksud dari mimpi itu. Aku pun tak pernah menceritakannya pada siapapun.
***
Pukul delapan pagi, ponselku berdering.
“Halo, Fal.” Sapaku begitu mengetahui siapa yang menelpon.
“Sudah siap, Nay?” Suara laki-laki itu selalu enak didengar. Meski lewat ponsel butut milikku.
“Sudah, sebentar lagi keluar kos. Kamu di mana?” Aku menjempit ponsel di antara telinga dan pundakku. Mengunci pintu kamar kemudian mengenakan sepatu kets lusuh yang sudah berusia empat tahun.
“Sudah di depan g**g. Oke, aku tunggu.”
Sambungan telepon terputus.
"Mau ke mana, Nay?" Kayla, tetangga kamar kosku menyapa. Sehelai handuk berwarna pink tersampir di pundaknya. Sepertinya ia mau mandi.
"Ah, ada janji sama teman."
"Oh iya, tadi subuh… aku dengar kamu nangis. Ada apa, Nay?" Wajah Kayla berubah sedih. Ya, temanku ini memang mudah berempati. Sangat peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
"Oh itu. Aku mimpi buruk. Hehehe, bukan apa-apa, kok." Aku mengibaskan tangan di depan wajah.
"Beneran? Kamu nggak ada masalah?" Kayla maju selangkah. Menatapku lamat-lamat.
"Iya, beneran. Aku mimpi buruk. Buruk banget sampe bikin nangis. Hahahaha." Aku tertawa canggung. Aku ingin segera menyudahi percakapan ini.
"Ya sudah kalau gitu. Hari-hati, Naya." Kayla melambaikan tangan. Ia tersenyum, manis sekali.
Aku balas melambaikan tangan kemudian segera bergegas turun. Menyambar helm di atas rak kayu, menyusuri lorong sempit yang dijadikan tempat parkir, menyapa ibu kos yang sedang asik menyiram tanaman, lalu setengah berlari menuju mulut g**g.
Naufal, laki-laki itu duduk di atas motor bebeknya yang terparkir tak jauh dari mulut g**g. Ia melambaikan tangan begitu melihatku berdiri di pinggir jalan hendak menyeberang.
“Sudah siap semua?” Tanyanya saat aku sudah sampai di seberang jalan. Bibir Naufal melengkung tersenyum.
“Sudah.” Jawabku singkat. Mengenakan helm lalu naik ke boncengan. “Yuk!”
Naufal menyalakan mesin, menoleh sebentar ke arah belakang, lalu menaikkan gas perlahan. Motor bebek keluaran terbaru itu membelah jalanan.