Naufal yang sedang sibuk menyetir ini adalah temanku di jurusan yang sama. Sama seperti Kayla. Kami juga diwisuda di periode yang sama. Naufal juga berasal dari kota yang sama denganku, pun dari SMP dan SMU yang sama. Mungkin karena itu aku lebih nyaman berteman dengan Naufal. Selain ia mengetahui sedikit cerita tentang latar belakang keluargaku, Naufal juga anak yang sangat ramah. Banyak orang yang senang berteman dengannya. Tidak sepertiku.
Dulu sekali, saat kelulusan SMU, Naufal pernah menembakku. Bukan, bukan menembak pakai pistol betulan. Menembak yang berarti menyatakan perasaan cinta, kira-kira begitulah. Aku terkejut, sangat terkejut. Naufal yang tampan, cerdas, dan populer menembakku? Tentu saja aku tolak. Eh?
Iya, aku tolak. Itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan, bukan? Masa iya Naufal yang di atas langit mau pacaran denganku yang sembunyi di dalam tanah? Kejauhan!
Namun, Naufal memang anak yang baik. Hari itu ia hanya mengerjap-ngerjapkan matanya ketika menerima penolakanku. Beberapa detik hening, sampai membuatku canggung. Tapi akhirnya ia bersuara juga.
"Makasih, Nay, sudah mau mendengar perasaanku. Setidaknya, untuk saat ini, itu sudah sangat cukup buatku." Katanya sambil tersenyum getir.
Aku merasa bersalah sekali waktu itu. Karenanya aku hanya mampu bungkam seribu bahasa.
Lalu, wajah Naufal berubah kembali cerah. Ya, ia memang sebenarnya orang yang bersinar. Maka penolakan dariku takkan mengubah apapun. Besok-lusa mungkin ia akan pacaran dengan orang yang jauh lebih baik dan cantik daripada aku. Pikirku waktu itu.
"Ke depannya, jangan canggung, ya? Kita harus tetap temenan. Jangan terbebani dengan perasaanku." Ucap Naufal kemudian, setelah beberapa detik menunggu jawaban dariku. Entah tulus atau tidak.
Aku hanya mengangguk. Kemudian ia berlalu.
Mungkin, hari itu hanya bersejarah bagiku. Tidak bagi Naufal. Karena setelahnya, ia benar-benar bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Dan kami memang tetap berteman seperti sebelumnya, hingga hari ini. Ia tetap baik padaku, pada semua orang. Tapi, hingga hari ini, ia belum sekalipun terlihat dekat dengan perempuan sebagai pacar. Ini, sungguh, sedikit membuatku berharap dan kegeeran. Sedikit saja, karena aku tahu perasaannya saat itu tidaklah nyata. Perasaan sesaat saja.
Apakah aku menyesal menolaknya saat itu? Bisa iya bisa tidak. Tapi sepertinya lebih banyak tidak. Aku terlalu takut menjalin hubungan dengan orang lain sedekat pacaran. Entahlah, banyak yang kukhawatirkan.
***
Motor Naufal memasuki komplek perkantoran. Ban hitamnya menggelinding di atas aspal yang kasar. Setirnya berbelok ke kanan. Memasuki pagar besi tingginya kira-kira tiga meter. Terus melaju memasuki lahan parkir yang berada di halaman depan gedung. Naufal membelokkan setir ke kanan, ke kiri. Mencari posisi yang pas untuk memarkir motornya.
Semenit kemudian, motor bebek keluaran terbaru itu sudah terparkir rapih di antara deretan motor lainnya.
"Gede banget kantornya, Fal." Ujarku begitu kami turun dari motor.
"Iya, kita coba aja. Mumpung lagi buka lowongan, loh." Jawabnya sembari melepas helm. Menampilkan wajah bulat Naufal yang memang di atas rata-rata.
"Hm, oke. Tapi aku pesimis, sih. Perusahaan sebelumnya yang lebih kecil aja aku ditolak. Apa lagi yang segede ini?" Nyaliku menciut. Menatap ngeri gedung belasan lantai di hadapanku.
“Hei, jangan pesimis, dong! Kita coba aja. Siapa tau rezeki.” Naufal tersenyum. Melangkah lebih dulu.
Laki-laki itu selalu ramah dan menyenangkan. Kadang-kadang aku kegeeran, kupikir ia masih menyimpan rasa padaku. Tapi mana mungkin. Di jurusan kami banyak sekali mahasiswi yang cantik-cantik, kaya, cerdas, dan populer. Lebih masuk akal kalau Naufal naksir dengan perempuan seperti itu daripada padaku.
Aku tersenyum getir menyadari kesimpulan yang berdengung di kepalaku. Benar, tidak mungkin ada orang yang mencintaiku apa adanya. Mencintaiku yang begini adanya.
Naufal sudah berjalan beberapa langkah, aku segera berlari kecil menyusulnya. Mengekor sekitar dua langkah di belakangnya. Tiba-tiba, ia berhenti.
“Kenapa?” Tanyaku heran.
“Kenapa kamu suka jalan di belakang, sih?” Naufal balik bertanya.
“Eh?” Aku menautkan alis. Bingung dengan pertanyaannya.
Sedetik kemudian, ia sudah menyeret tanganku. Menyejajarkan langkah kakiku dengannya. Aku jadi malu dan memilih menunduk dalam-dalam.
Gedung perkantoran itu menjulang tinggi, melampaui tinggi sebuah mall terkenal di sebelahnya. Orang-orang berpakaian rapi lalu lalang di sekitarnya. Semua terlihat sibuk.
Di lantai dasar, gedung ini dipenuhi dengan berbagai macam kedai makanan dan minuman. Ada kedai makanan cepat saji, makanan rumahan, hingga cemilan. Ada beberapa makanan dan minuman yang bahkan belum pernah aku coba.
Aku bisa melihat bagian dalam kedai-kedai itu karena temboknya terbuat dari kaca transparan besar. Memperhatikan para pegawai berseragam menyajikan makanan dan minuman pada pelanggan. Membuatku sejenak lupa dengan rasa malu yang tadi.
“Kamu sudah sarapan?”
Ah, sepertinya Naufal melihatku yang sedang memperhatikan kedai makanan sejak tadi.
Aku menggeleng. Berhenti memperhatikan kedai makanan. Memilih melihat pepohonan yang tumbuh rindang di pojok halaman gedung.
“Nanti mau makan di sana?” Naufal menunjuk salah satu kedai makanan. Mataku mengikuti arah telunjuknya.
Alamak!
“Nggak usah, aku makan di kos aja. Udah masak nasi tadi.” Jawabku sembari tersenyum kecut.
Sebenarnya aku mau saja makan di sana, itu makanan cepat saji yang belum pernah aku coba. Tapi, isi dompetku tidak mengizinkannya. Aku harus berhemat, sudah sebulan pemasukanku hanya dari berjualan online. Cukup, sih. Tapi pas-pasan.
“Aku traktir, deh!” Naufal tersenyum. Seperti tahu isi pikiranku.
“Ah, nggak usah. Beneran aku udah masak nasi, ntar nggak kemakan kalau aku makan di sana. Besok-besok aja.”
Aku lebih tidak mau jika ditraktir olehnya.
“Oke.”
Naufal kembali berjalan lurus ke depan. Kemudian, tepat di depan pintu kaca besar ia berbelok. Aku mengekor.
Kami memasuki ruangan yang sangat luas dan dingin. Lantainya marmer, langit-langitnya tinggi sekali, dindingnya berupa kaca transparan besar. Mirip dengan dinding kedai makanan tadi. Orang-orang berpakaian rapi lalu lalang. Di leher mereka tergantung kalung identitas. Sepertinya, semua pegawai di sini memakai kalung itu.
Naufal terus berjalan, ia seperti tahu betul akan tujuannya.
Di ujung ruangan, Naufal berbelok. Menuju sebuah meja setengah lingkaran berwarna biru tua mengkilap. Di belakangnya, seorang wanita cantik dengan rambut disanggul tersenyum pada orang yang baru saja meninggalkan meja biru tuanya.
“Pagi, Mbak.” Naufal menyapa. Ia memasang senyum terbaiknya.
“Loh, Mas Naufal?”
“Eh?” Aku terkejut. Wanita itu mengenali Naufal?
“Iya, ini teman saya mau nyerahin berkas lamaran kerja. Dititip di sini aja, ‘kan?”
“Iya, Mas.” Wanita itu tersenyum, mengangguk.
Aku bergegas mengaduk isi tas. Mengeluarkan amplop cokelat yang sudah sebulan ini setia menemaniku.
“Ini, Mbak.”
Wanita itu menerima amplopku dengan tersenyum ramah. “Berkas ini akan kami seleksi dulu. Paling cepat dua minggu dari tanggal penutupan lowongan, akan segera dikabari melalui nomor yang tertera di berkas ini jika Mbak diterima.” Suaranya renyah, enak didengar.
“Iya. Terima kasih, Mbak.” Jawabku gugup. Masih penasaran bagaimana wania itu bisa mengenali Naufal.
“Sama-sama.”
Ia kembali berdiri tegap. Postur tubuhnya sempurna. Senyumnya melengkung dua senti ke kanan dan kiri.
Naufal juga ikut mengucapkan terima kasih kemudian pamit undur diri.
Kami melewati jalan yang sama dengan tadi saat masuk.
“Kemarin aku sudah ke sini nganter berkas lamaran. Makanya dia kenal.” Naufal menjelaskan. Lagi-lagi seolah tahu isi kepalaku.
Kemudian semua berlalu sangat cepat. Kami kembali ke tempat parkir, menaiki motor Naufal untuk kembali pulang. Beberapa kali Naufal mengajakku mampir untuk makan, tapi aku menolak. Aku harus benar-benar berhemat.
Menjelang pukul sepuluh, motor Naufal berhenti di depan mulut g**g. Mengantarkanku kembali ke kos. Aku turun dari boncengan, mengucap terima kasih, kemudian bergegas menyeberang jalan dan kembali ke kos.
Wajahku tertunduk, teringat berkas lamaranku tadi. Semoga kali ini aku bisa diterima. Jika tidak, entah apa lagi yang harus kulakukan.
Langkah kakiku sampai di depan gerbang kos. Rupanya, gerbang kosku tidak terkunci. Ini biasa terjadi jika ada yang hendak keluar kos dengan mengendarai motor. Mereka akan membuka gerbang lebih dulu, baru mengeluarkan motor. Supaya sekali jalan, begitu.
Persis saat aku menutup kembali gerbang kos, seseorang mencengkram lenganku kuat-kuat.
“Kayla!” Pekikku begitu mengetahui siapa pelakunya. “Ada apa?” Aku menurunkan intonasi suaraku demi melihat kulit putihnya yang semakin pucat. Wajahnya panik, hampir menangis.
“Hape-ku hilang, Nay.” Suara Kayla bergetar.
“Hah? Di mana?” Mataku membulat.
“Tadi, waktu keluar beli makan aku lupa ninggalin hape di sini.” Kayla menunjuk bagian atas pagar yang terbuat dari tembok.
Aku menghela nafas. Ya, jelas aja hilang.
“Gimana, dong?!” Kayla hampir menangis.
“Kita coba cari dulu. Tanya-tanya sama tetangga siapa tahu ada yang lihat.” Aku coba memberi solusi. Temanku itu mengangguk lemah.