9 - Questions

1556 Kata
Pagi yang sejuk. Matahari masih malu-mau untuk keluar dari peraduannya. Wangi tanah basah menggelitik penciuman. Dedaunan hijau tampak segar berembun. Aku melangkah ke luar rumah. Menghirup sebanyak-banyaknya oksigen yang masih terasa murni di pagi hari. Dadaku yang sesak kemarin, perlahan mulai terasa lega. Ya, ini rumah Tante Lisa. Akhirnya, setelah bujukan Tanteku itu, aku dan Naufal menginap di sini. Tentu saja berbeda kamar. Ada kamar kosong di belakang. Biasa dipakai anak kedua Tante Lisa, tapi ia lebih sering tidur di ruang tengah sambil menonton televisi. Aku tidur dengan Maya, anak pertama Tante Lisa. Kami seumuran. Dulu, aku ingat sering bermain dengannya setiap kali ke mari. Belasan tahun berpisah, kami jadi canggung. Padahal aku ingat, dulu kami sangat akrab. Maya memang anak yang supel dan cerewet. Semalam, sebelum tidur, ia banyak bertanya tentangku. Tentang hari-hariku selama sepuluh tahun terakhir. Tentang kuliahku, tentang ayahku. Ia memelukku kencang sekali saat kuberitahu bahwa ayahku sudah meninggal. Kini, aku resmi yatim piatu. Maya dengan baik hati menawarkan rumahnya sebagai tempatku berpulang setiap liburan. Aku tak menjawab. Bingung, aku sudah tak lagi akrab dengan mereka. Anehnya, Maya sama sekali tak bertanya apapun tentang mengapa aku tak pernah mencari ibuku. Atau memberitahu mengapa ibuku tak pernah mencariku. Ia seperti menghindarinya, atau ia sebenarnya tahu rahasia yang tidak kuketahui. Aku tak ambil pusing, semua itu sudah berlalu. Badanku lelah, apalagi hati dan pikiranku. Pukul sebelas malam kami sepakat untuk menyudahi percakapan. Bersiap untuk tidur. Meski pada akhirnya aku baru bisa terlelap menjelang dini hari. Selepas subuh tadi, sebenarnya Tante Lisa berbaik hati mengizinkanku untuk tidur lagi. Tapi aku memilih beranjak keluar, menikmati udara pagi, memperbaiki suasana hati. "Sudah dari tadi, Nay?" Naufal menyapaku. Ia berdiri bersandar di bingkai pintu. "Enggak. Baru aja." Aku mundur, duduk di kursi kayu di teras rumah Tante Lisa. Naufal melakukan hal yang sama. Kami duduk menghadap jalan komplek perumahan yang masih sepi. "Kapan kita balik?" Aku asal mencomot topik pembicaraan. "Bebas. Aku nggak ada kepentingan apa-apa. Lagipula, kamu nggak pengen lebih lama di sini? Bertemu keluargamu? Keluarga ibumu?" Naufal menatapku. Aku menghela nafas pelan. Aku ingin, ingin sekali. Aku ingin mencari jawaban kenapa selama ini tak sekalipun ibu pernah mencariku. Menemuiku. Apa ia melupakanku? Apa ia sudah bahagia dengan keluarga barunya? Ah, apa ibuku berkeluarga setelah bercerai dengan ayahku? Banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Tapi aku tak tahu harus bertanya pada siapa. "Mas Naufal sudah bangun?" Tante Lisa menyapa. Tanganya memegang nampan berisi pisang goreng yang asapnya masih mengepul. Meletakkannya di atas meja kecil yang melengkapi tiga kursi kayu ini. "Sudah, Tante." Naufal mengangguk sopan. "Dimakan, ya, Nduk. Masing anget." Kali ini Tante Lisa berkata padaku. "Kalian mau teh anget?" "Boleh, Tante." Naufal menjawab cepat. "Di sini dingin. Hehehe." Ia nyengir, memamerkan giginya yang putih. "Tunggu sebentar Tante buatkan." Wanita hampir setengah abad itu masuk ke dalam. Membawa nampan kosong. Naufal mulai mencomot satu potong pisang goreng. Aku masih malas makan, maka aku memilih kembali menatap jalanan yang lengang. Sebuah motor bebek tua berhenti di depan rumah Tante Lisa. Pengendaranya melepas helm. Om Dito. "Ngapain, Nduk?" Om Dito menyapa begitu sampai di teras rumah. "Nggak ada, duduk-duduk aja." Jawabku sembari tersenyum. Om Dito mengambil kursi, duduk di kursi terakhir yang tersisa di teras. Tante Lisa keluar membawa dua gelas teh hangat. "Loh, Dito ke sini?" "Iya, Mbak." "Yo wis, Mbak bawain teh anget juga, ya?" "Nggih, Mbak. Matur suwun." Om Dito tersenyum, mengangguk. Laki-laki yang usianya terpaut jauh dengan dua kakak perempuannya itu mencomot pisang goreng. Menghabiskannya tanpa jeda. Aku memberikan teh hangatku pada Om Dito, khawatir ia haus. Biar aku minum teh hangat yang dibawakan Tante Lisa berikutnya. "Nduk…" Om Dito bersuara setelah menenggak teh hangat. "Ya, Om?" "Ibumu nitipin ini buat Naya." Om Dito menyerahkan sebuah buku dengan sampul berwarna hijau tua. Sampulnya sudah robek di sana sini. Ada bekas air yang sudah mengering di pojok atasnya. Buku itu terlihat tua dan berantakan. Seolah pemiliknya selalu membukanya. Aku menerimanya. Menatapnya sekilas kemudian meletakkannya di pangkuanku. Tak ada prasangka apapun saat itu. "Ibu meninggal karena stroke." Om Dito berkata serius. Sepertinya ia akan memulai cerita tentang ibuku. Maka kuputuskan untuk mendengarkannya dengan seksama. "Enam bulan terakhir, ibumu sudah bolak-balik ke rumah sakit. Tekanan darahnya tinggi. Kalau kumat, kasian sekali, cuma dirawat sama anaknya yang masih kecil." "Ibu punya anak lagi?" Aku bertanya cepat. Fakta baru. "Iya. Tiga tahun setelah cerai dari ayahmu, ibumu menikah lagi. Punya anak satu. Sekarang tinggal sama Om. Perempuan, namanya Sabrina. Nanti kalo dia sudah bangun biar dibawa ke sini." "Oh, kemarin nggak ada?" "Dia kecapekan. Jadi Om antar pulang sebelum jemput kamu di terminal." Aku ber-oh panjang. Mulai penasaran dengan wajah anak ibuku dari suami keduanya. Sabrina. Lalu, apa tadi? "Suami ibu di mana? Kok Sabrina tinggal sama, Om?" "Joko, namanya Mas Joko." Om Dito menarik nafas panjang sebelum melanjutkan. "Beliau pergi. Entah ke mana. Ibumu ditinggalkan berdua dengan Sabrina." Deg! Hatiku mendadak nyeri. Dadaku kembali sesak. Air mataku sudah siap menetes, tapi sekuat tenaga kutahan. "Ibumu jualan mie ayam di depan kontrakannya. Ya untuk menyambung hidup. Tabungannya ia habiskan untuk modal. Alhamdulillah, setelah itu ibumu bisa hidup mandiri tanpa suami. Tapi, sejak enam bulan lalu semua berubah. Ibumu mulai sakit-sakitan, tekanan darah tinggi itu benar-benar membatasi gerakannya." Om Dito mengusap wajahnya. Aku pun mati-matian menahan air mata. Naufal? Ah, ia ikut seksama mendengarkan. "Sabrina masih lima tahun waktu pertama kali ibumu pingsan di rumah. Gejala stroke ringan. Tapi anak itu pandai, pandai sekali, Nduk. Dia segera menelpon Om. Bilang ibu jatuh. Om di kantor, Tante Lisa yang ke sana. Langsung dibawa ke rumah sakit. Tekanan darahnya sudah 200." Hening. Kesiur angin terasa menggelitik kulit. "Waktu meninggal, tekanan darahnya juga sampai 200. Tapi ibumu nggak meninggal karena stroke, Nduk. Ibumu jatuh di kamar mandi. Waktu itu Tante Lisa pamit sebentar beli makan. Om juga sedih, kenapa ibumu nggak nunggu Tante Lisa buat ke kamar mandi? Kenapa nekat jalan sendiri?" Nafas Om Dito menderu. Dadanya kembang kempis. Aku tahu, ia juga sedang mati-matian menahan tangis. "Tapi itulah takdir, Nduk." Laki-laki itu mengusap wajahnya lagi. "Ibumu menitipkan buku itu pagi harinya. Saat Om menjenguk ke sana sebelum berangkat kerja. Katanya, kalau sempat bertemu denganmu entah kapan, Om diminta memberikannya padamu. Tapi jika tidak, Om diminta menyimpan baik-baik." Om Dito menghela nafas. Kepul asap pisang goreng sudah hilang. Teh hangat yang disajikan Tante Lisa sudah dingin. Sinar matahari mulai menerobos lewat sela-sela awan yang bergumpal. "Waktu tahu ibumu nggak ada, Om Dito nggak bisa menahan diri untuk nggak menghubungimu, Nduk. Kamu harus tahu kabar ini, pikirku. Meski ini kabar buruk, setidaknya kau harus bertemu ibumu untuk yang terakhir kalinya." Om Dito mengucek matanya. Mungkin air matanya sudah memaksa keluar. "Maafkan, Om Dito, Nduk." Suaranya bergetar. Laki-laki dewasa itu sedang menangis. "Om Dito dapet nomer Naya dari mana?" Suaraku tak kalah bergetar. "Oh, iya. Ibumu selalu ngikutin medsosmu, Nduk. Kamu jualan, 'kan? Om dapet nomermu dari sana." Lalu kenapa ibu nggak menghubungiku? Memberiku kabar bagaimana kondisinya saat ini? Atau di mana ia tinggal? Setidaknya aku tahu bahwa aku masih punya ibu. Aku menunduk. Air mataku sudah menetes. Aku tergugu. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya berputar di kepalaku, tanpa bisa kusampaikan pada siapapun. *** Selepas sarapan, Maya pamit berangkat ke kampus. Om Dito juga pamit berangkat kerja. Sabrina dan istri Om Dito belum ke sini. Katanya, mungkin nanti. Tak apa, aku tak terburu-buru ingin tahu bagaimana sosok Sabrina. Saudara tiriku. Naufal bilang besok saja kembali. Ia juga menikmati suasana kota ini. Sejuk dan tidak bising. Menjelang tengah hari aku pamit kembali ke kamar. Merebahkan badan. Menatap langit-langit kamar. Mengingat-ingat kembali apakah belasan tahun lalu kamar ini juga begini bentuknya. Aku teringat buku peninggalan ibuku yang kuletakkan di tas. Segera aku mengambilnya. Menyalakan lampu. Mulai membuka halaman pertama. Adriyani Cahyaningrum. Nama ibuku tertulis di sana. Tulisan tangan. Warna tintanya sudah menguning. Aku membuka beberapa halaman sekaligus. Pluk! Sebuah amplop meluncur jatuh ke pangkuanku. Amplop itu masih putih bersih, jauh lebih putih dari halaman buku ini. Di bagian depan amplop tertulis, teruntuk anakku Kanaya. Deg! Ini untukku? Tanganku gemetar membuka amplop putih itu. Isinya dua lembar kertas kusam. Persis seperti kertas di buku ini. Teruntuk anakku, Kanaya. Apa kabar, Nduk? Semoga Naya sehat selalu. Dalam lindungan Tuhan. Itu kalimat pembukanya. Kertas yang kupegang bergetar, ini benar tulisan tangan ibuku? Ibu sehat, Nduk. Ditemani Sabrina, adik tirimu. Sabrina cantik, seperti kamu. Bedanya, ia mewarisi banyak sekali gen leluhur ibu. Kamu banyak mewakili gen leluhur ayahmu. Oh iya, ibu terkejut sekali mendengar kabar ayahmu meninggal. Ibu sedih sekali. Bagaimanapun juga ayahmu pernah menjadi orang paling istimewa di hati ibu. Saat itu ibu ingin sekali ke sana, menemanimu. Tapi ibu pengecut, Nduk. Ibu nggak berani. Alisku bertaut. Apa yang ibu takutkan? Bagaimana jualanmu, Nduk? Semoga laris manis. Tadinya ibu bingung gimana caranya mencari kabar tentangmu setelah ayahmu meninggal. Lalu, Maya, anak Tante Lisa. Kau ingat, Nduk? Dia yang menemukan media sosialmu. Katanya kamu jualan. Bahkan nomor hape-mu ada di sana. Bukan main bahagianya ibu, Nduk. Ibu jadi belajar menggunakan media sosial. Hanya untuk mengetahui kabarmu. Ibu bersyukur, kamu selalu baik-baik saja. Kamu anak hebat, Nduk. Bisa bertahan seorang diri melewati hidup yang keras. Ibu bangga sekali padamu. Maafkan ibu, Nduk. Maafkan ibu tidak berdiri di sampingmu di saat-saat tersulitmu. Aku meremas kertas yang kupegang. Air mataku menetes tanpa permisi. Kenapa ibu nggak menghubungiku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN