Braga menjalankan mobilnya menuju rumah Alleia. Sepanjang perjalanan Braga tidak henti-hentinya melihat pantulan dirinya di kaca yang ada di atasnya. Braga meyakinkan dirinya sendiri kalau penampilannya sudah sangat keren. Dan kali ini Braga tidak akan mempermalukan dirinya sendiri. Bisa malu tujuh turunan kalau dia gagal lagi.
"Jangan-jangan aku sunatnya dulu salah, makanya aku gak keren," ucap Braga seorang diri. Sepanjang jalan Braga melihat para muda-mudi yang berboncengan naik motor, di mana sang perempuan memeluk pinggang yang cowok.
"Apa aku harus mengajak Alleia naik motor kayak begitu?" tanya Braga pada dirinya sendiri. Namun sedetik kemudian Braga menggelengkan kepalanya. Braga tidak ingin mengajak Allea panas-panasan naik motor.
Braga juga melihat laki-laki dan perempuan duduk di bangku panjang pinggiran taman dengan bersuap-suapan makanan ringan yang dia tebak adalah pentol.
"Gaya pacaran ngirit. Pentol lima ribu," ucap Braga bermonolog.
Kalau cewek itu saja bahagia hanya makan pentol, pastilah Alleia akan tambah bahagia kalau dia berikan sekalian grobaknya. Namun lagi-lagi Braga menggelengkan kepalanya, Alleia bukan mereka yang bisa bahagia dengan hal-hal sederhana ataupun mewah sekalipun. Alleia sangat sulit dijinakkan bahkan sangat sulit diajak bahagia.
Setelah lima belas menit berlalu Braga sampai di rumah Alleia. Rumah Alleia sangat sepi, mungkin Rex sudah pergi bekerja dan tiga tuyul pergi kuliah. Kalau Alvino dan Alden tadi memilih membolos dengan bermain game di rumah Braga. Tadi Alvino juga sudah menarget Braga uang merah dua lembar untuk membeli makanan ringan. Braga sudah menasehati Alvino untuk tidak membolos, tapi anak itu keras kepala dan mengatakan mata kuliah kali ini tidak ada dosennya dan hanya mengumpulkan tugas.
Braga keluar dari mobilnya, dia menuju rumah Alleia dan memencet belnya. Braga meneliti penampilannya sekali lagi. Sepatu warna choco milk, celana hitam dengan aksen sobek, baju abu-abu dan rambut acak-acakan. Fikss Braga merasa dirinya sangat keren.
Suara pintu terbuka membuat Braga mengusung senyum, Intan lah yang membukakan pintu. Dengan hormat Braga mengulurkan tangannya untuk menyalami punggung tangan Intan.
"Alleianya ada, Bu?" tanya Braga dengan sopan.
"Ada di kamarnya. Kamu bujuk dia gih untuk turun!" ucap Intan mengajak Braga masuk.ke rumahnya.
"Alleianya ada di kamar?" tanya Braga.
"Iya sejak tadi gak mau turun," jawab Intan.
"Kalau begitu aku ke atas dulu ya, Bu!" pamit Braga yang diangguki oleh Intan. Intan duduk di sofa untuk mengawasi Braga dari bawah. Intan mengerutkan alisnya saat melihat penampilan Braga yang berbeda, Intan tersenyum manis, nanti dia akan memberitahukan hal ini pada suaminya.
Intan sudah tau garis besar antara Braga dan Alleia. Suaminya menceritakan tentang Braga yang mencintai Alleia. Yang Intan lihat Braga sangat tulus dengan putrinya, begitu juga putrinya yang sebenarnya menyukai Braga tapi tidak berani bilang. Tatapan Braga yang penuh cinta itu mengingatkan Intan dengan tatapan Rex saat mereka muda dulu. Saat itu Rex selalu menatapnya dengan penuh cinta yang sangat jelas di matanya meski Rex sangat pedas dalam berbicara. Saat ini yang menuruni lambe pedas Rex yang paling parah adalah Alleia dan Alleron. Alleron si dingin dan lambe sepedas cabe keriting.
Braga mengetuk pintu kamar Alleia dengan pelan, Alleia yang sejak tadi di dalam kamar hanya merenung pun segera membuka pintu kamarnya. Pasti mamanya lah yang mengetuk pintu minta ditemani berbincang.
Alleia membuka pintu dengan pelan, matanya membulat sempurna saat melihat Braga tengah berdiri di hadapannya. Pandangan Alleia meneliti Braga dari atas samapai bawah, untuk kali ini Braga terlihat sangat berbeda dari biasanya.
"Woaaah ... Mas Braga ganteng banget kalau pakai pakaian ini," ucap Alleia memutari tubuh Braga. Alleia juga mengendus tubuh Braga yang tercium sangat wangi.
Braga yang terus ditatap Alleia pun hanya bisa menggaruk tengkuknya kikuk, apalagi saat Alleia memutari tubuhnya sembari mengendus-mengendus.
"Kamu ngapain sih, Ia?" tanya Braga bingung.
"Kenapa Mas Braga pakai baju kayak gini? Tumben banget pakai kaos, celananya juga sobek-sobek, rambutnya gak rapi. Mas Braga mau ke mana?" tanya Alleia memegang lutut Braga.
"Ya aku mau ke sini jemput kamu," jawab Braga.
"Ngapain jemput aku?"
"Kamu mau jalan-jalan gak? Ayo kita jalan-jalan!" ajak Braga.
Alleia memicingkan matanya, sesaat kemudian gadis itu menggelengkan kepalanya angkuh. Dia lupa kalau dia masih mode marah dengan Braga. Braga tadi tidak menjemputnya, membuat Alleia marah dan tidak jadi kuliah.
"Kenapa gak mau?" tanya Braga pada Alleia.
"Malas," jawab Alleia ketus.
"Ia, kita nonton film kesukaan kamu deh. Ayo!" ajak Braga menarik paksa tangan Alleia.
"Eh eh ... aku gak mau!" pekik Alleia.
"Aku memaksa, Ia!" tekan Braga.
"Untuk apa, Mas? Bukankah mas menjagaku untuk balas budi saja? Aku tidak butuh diajak nonton demi balas budi juga, aku juga sudah bilang kalau aku gak butuh balas budi kamu, Mas!" jerit Alleia berusaha menarik tangannya dari tangan Braga.
"Ini bukan tentang balas budi, Alleia!" tegas Braga membopong tubuh Alleia dengan satu hentakan. Alleia sudah berada di pundak Braga dengan kepala yang menggantung ke bawah.
"Kyaaa .... turunin aku!" pekik Alleia dengan kencang. Alleia menendang-nendangkan kakinya pada angin, perempuan itu juga memukuli punggung Braga dengan brutall. Namun Braga sama sekali tidak peduli. Braga tetap menuruni tangga tanpa peduli dengan teriakan Alleia.
Mendengar teriakan Alleia membuat Intan buru-buru berdiri, Intan mendongakkan kepalanya menatap Braga yang seperti meculik putrinya.
"Ibu, Braga ingin mengajak Alleia jalan-jalan," ucap Braga meminta ijin setelah dia berada di dekat Intan.
"Terus kenapa Alleia digendong begitu?" tanya Intan.
"Aduuh kepalaku pusing!" ringis Alleia memegangi kepalanya. Braga segera menurunkan Alleia dan menyanga tubuh perempuan itu agar tidak sempoyongan.
"Aduuh kepalaku!" Alleia memegangi kepalanya.
"Braga, kamu jangan aneh-aneh dong bawa anak gadis orang. Kalau mau gendong jangan dibalik begini mentang-mentang kamu kuat," omel Intan menata rambut anaknya yang berantakan.
"Maaf, Bu," jawab Braga.
"Aku gak mau pergi sama Mas Braga!" ucap Alleia dengan tegas.
"Kenapa?" tanya Braga dan Intan bersamaan.
"Kata Mas Braga dia jagain aku cuma untuk balas budi, Ma. Aku tidak mau dan aku tidak mau dibalas sama Mas Braga. Kalau Mas Braga mau balas budi, balas saja sendiri sama Papa. Ajakin papa jalan-jalan sana!" pekik Alleia dengan menggebu-gebu. Rasa kesalnya makin memuncak dengan Braga.
"Astaga Alleia ... kenapa kamu gak ngerti juga sih?" bentak Braga dengan suara keras. Alleia memundurkan kepalanya saat mendapat bentakan dari Braga.
"Mas lakuin ini bukan karena balas budi sama papa kamu, tapi karena Mas cinta sama kamu. Kamu polos atau oon sih, kenapa kamu gak bisa lihat kalau Mas itu cinta sama kamu?" pekik Braga dengan kesal.
"Sekarang sudah, kalau kamu gak mau jalan-jalan lebih baik Mas berangkat kerja saja. Percuma Mas beli banyak baju demi untuk ngajakin kamu kencan tapi kamu gak mau," ucap Braga mengacak rambutnya dengan keras. Braga melenggang pergi begitu saja dengan wajah yang memerah malu.
Braga menepuk wajahnya yang sangat panas. Braga yakin kalau sekarang wajahnya sampai ke telinga berwarna merah karena tersipu. Braga tidak ingin mengutarakan cintanya, tapi mulut sialannya ini malah keceplosan.
Alleia dan Intan mematung di tempatnya saat mendengar ucapan Braga yang penuh teriakan dan penekanan. Alleia belum konek, ucapan Braga masih terngiang-ngiang di kepala Alleia. Alleia melihat punggung Braga yang menjauh.
"Mas, Braga! Kenapa Mas Braga pergi setelah mengatakan cinta?" teriak Alleia dengan kencang.
"Mas Braga pengecut!" teriak Alleia lagi menghentikan langkahnya.