13. Belajar pertama

1257 Kata
Pagi ini suasana ruang makan sangat riuh dengan ocehan-ocehan kelima Al yang tengah melemparkan candaan satu sama lain. Rex dan Intan hanya menyimak pembicaraan mereka yang terfokus pada Allard yang katanya ditembak cewek. Dengan segala sikap dinginnya Allard pun menolak mentah-mentang dan mengatakan tidak suka sama cewek yang pendek. Sungguh kurangajar sekali Allard pada teman satu kelasnya. Allard yang merasa disudutkan pun balas mengolok Alvino yang ditolak cewek karena Alvino hidupnya terlalu banyak becanda. Jadilah pagi ini mereka war dengan mengolok satu sama lain.  Beda suasan hati dengan kelima Al, kini Alleia hanya diam sembari memakan sarapannya. Kemarin dia sudah berangkat jam lima dan kali ini dia tidak ada niatan berangkat pagi lagi. Apalagi dia bangun kesiangan karena semalam dia menangis dan bersedih karena ucapan Braga. Mungkin bagi orang lain sikapnya sungguh terlalu berlebihan, tapi tidak bagi Alleia.  Alliea menatap jam yang melingkar di tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh, biasanya Braga sudah datang untuk menjemputnya. Namun kali ini Braga tidak terlihat batang hidungnya. Membuka hpnya, Alleia juga tidak mendapati satu pesan pun dari Braga. Sebenarnya kemana perginya pria itu? Tanya Alleia dalam hati.  "Kak Ia, kenapa kakak gelisah?" tanya Alden yang menatap kakaknya sedikit aneh.  "Tau apa kamu sama urusan orang dewasa? Gak usah ikut campur!" sentak Alleia membuat Alden kicep.  Anak perempuan satu-satunya Rex itu memang mewarisi kekuatan lambe pedas milik Rex, Kalau ngomong selalu tak tanggung-tanggung tingkat kepedasannya.  "Kan aku cuma nanya kak," jawab Alden setelah mengelus dadanya.  "Gak usah tanya, Gak penting buat kamu!" sinis Alleia.  Kalau sudah marah dengan satu orang pasti Alleia akan memarahi orang lain yang ada di dekatnya. Seperti kali ini dia marah pada Braga tapi Alden juga kena getahnya. Sungguh kasihanilah Alden.  Alvino diam-diam merogoh hp yang dia letakkan di saku celannya. Alvino menelfon Braga untuk menanyakan keberadaan pria itu. Semalam Alvino sudah mengirim contoh style yang dia pakai untuk Braga. Braga pun mengatakan akan melaksanakan hari ini, tapi sudah jam segini pria itu juga belum muncul. Telfon Alvino pun juga tidak diangkat oleh Braga.  Alleia sudah khilangan selera makannya saat Braga tidak kunjung datang, padahal kemarin dia bilang tidak apa-apa kalau tidak dijemput Braga. Alleia juga mengatakan kalau lebih baik dia berangkat sendiri. Namun apa kenyataannya? Saat Braga belum muncul Alleia sudah uring-uringan.  "Ia, biar papa yang antar kamu ke kampus," ucap Rex ketika melihat jam tangannya waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih.  "Gak usah, Pa. Aku gak kuliah hari ini," jawab Alleia beranjak berdiri. Alleia memunguti piring bekasnya makan dan meletakkan di wastafel.  "Kenapa gak kuliah?" tanya Rex penasaran.  "Males," jawab Alleia melenggang pergi dari ruang makan.  Melihat kepergian kakaknya membuat Alden menginjak kaki Alvino  dengan kencang, "Kata kamu rencana kamu bakal berhasil. Tapi nyatanya apa?" tanya Alden dengan garang.  "Ya ini aku lagi telfon si tua bangka itu, tapi gak diangkat," jawab Alvino berbisik.  "Siapa tua bangka?" tanya Allard ikut menibrung dalam pembicaraan adik-adik kembarnya.  "Nenek gayung," jawab Alvino dan Alden kompak.  "Wehh hati kalian sama, ya. Makanya kompakan," ujar Alleron menepuk bahu Alden yang memang berada di sampingnya.  "Hati kita satu dibagi berlima. Kalau ada yang bohong pasti ketahuannya cepet," tambah Alleron lagi. Yang paling menyeramkan di antara kelimanya adalah Alleron, dari segi raut wajah sama nada bicaranya  "Sotoy!" jawab Alden dan Alvino menimpuk kepala Alleron pakai sendok. Alleia memasuki kamarnya dengan perasaan yang dongkol, gadis itu benci dengan perasaannya sendiri, "Baru saja kemarin aku bilang aku gak mau diantar jemput sama dia, sekarang aku sudah uring-uringan tidak jelas kayak gini," maki Alleia pada dirinya sendiri.  "Biarin deh gak usah jemput aja selamanya!" "Biar dia nikah aku gak peduli. Mau dia nikah terus punya anak, lupain aku, aku gak peduli! Gak akan mau peduli!" teriak Alleia membanting bantal untuk meluapkan kekesalannya. Alleia menatap pigura kecil di atas nakasnya. Fotonya saat bayi yang tengah digendong Braga, Braga juga mencium pipinya dalam pose itu.  "Cium-cium anak gadis orang saat gede gak mau tanggungjawab!" maki Alleia menatap garang fotonya itu.  Di sisi lain, Braga tengah menatap semua pakaian yang baru sampai pagi ini. Braga order kilat di pusat perbelanjaan online. Dan kini pria itu bingung mau pakai baju yang mana.  Braga mengambil celana dengan aksen sobek-sobek di lututnya, dengan secepat kilat Braga memakainya. Kini giliran dia yang bingung masalah baju, matanya terus mengamati satu persatu baju dengan warna yang cerah, menurutnya itu sangat alay.  Sejak jam lima pagi Braga juga belum selesai berpakaian, bahkan pria itu melupakan sarapan. Waktu sudah menujukkan pukul tujuh lebih, pilihan pun belum Braga jatuhkan.  Suara dering ponsel berbunyi nyaring. Braga mengamati ponselnya yang ada di ranjang, ia malas mengangkat panggilan itu karena tau itu dari Alvino. Alvino sungguh membuatnya pusing dengan baju-baju ini. Biasanya Braga akan keluar pakai celana hitam kain dan kemeja saja sudah cukup, dan kini dia harus memilih banyaknya baju mulai berbahan kaos sampai kemeja.  "Pakai abu-abu sajalah," ujar Braga mengambil baju warna abu-abu dengan tulisan nama merk ternama. Braga memakainya cepat dan mematut dirinya di cermin. Rambut Braga sudah disisir rapi, Braga meneliti wajahnya sendiri, perasaannya meski dia memakai baju santai tetap saja wajahnya terlihat formal.  Brakkk! Suara pintu didobrak dengan keras mengagetkan Braga yang tengah bercermin. Braga menatap kedua bocah yang tengah menatapnya dengan memelototkan matanya.  "Kenapa kalian berdua bisa masuk?" tanya Braga pada Alden dan Alvino. Braga merasa dia sudah mengunci pintu rumahnya dengan rapat. Apa dua tuyul itu tembus pandang? "Jendelanya terbuka makanya kami bisa masuk," jawab Alden.  "Mas Braga ngapain jam segini masih ngaca, hah? Mas Braga gak tau apa kalau Kak Ia sedih gara-gara Mas Braga gak datang?" omel Alvino mendekati Braga.  "Hah, Alleia sedih gara-gara aku gak datang?" tanya Braga yang antusias.  "Beneran, Al? Alleia sedih? Dia bilang apa? Bagaimana ekspresi dia?" tanya Braga lagi bertubi-tubi.  "Ya ekspresi dia sedih lah. Dia juga gak mau kuliah," jawab Alvino.  Braga mencerna ucapan Alvino. Sudut bibir Braga terangkat, entah kenapa mendapat kenyataan ini membuat Braga senang. Alleia sedih dia belum datang itu sungguh membuat hati Braga berbunga-bunga.  "Heh malah senyum kayak orang sinting!" maki Alvino menepuk bahu Braga dengan kuat.  "Eh eh ... iya dia sedih kan? Kalau gitu aku akan menjemput Alleia sekarang juga," ucap Braga dengan cepat. Namun Alden dan Alvino segera menahan tubuh Braga.  "Eh ... tunggu!" pekik keduanya pada Braga.  "Apa lagi?" tanya Braga sebal. Dia sudah siap menjemput Alleia saat ini.  "Rambutnya jangan rapi begini. Rambutnya kalau acak-acakan dapat kesan mudanya," ucap Alden mengacak rambut Braga. Braga menatap dirinya lagi di cermin. Betul apa yang dikatakan Alden, dirinya terlihat seperti anak muda saat rambutnya acak-acakan.  "Gimana? Kayak gini sudah keren?" tanya Braga meminta pendapat duo tuyul.  "Keren kak. Kakah sudah ganteng dari lahir, gak usah diapa-apain wajahnya sudah ganteng, sekarang ditambah style kayak gini dobel banget gantengnya. Sudah sana jemput kak Ia, ajak dia nonton bioskop!" ujar Alvino menatap Braga dari atas sampai bawah.  "Ini sepatunya aku pakai yang mana?" tanya Braga menatap rak sepatu yang dia punya.  Alden mendekati rak sepatu Braga. Dari atas sampai bawah hanya ada pantofel hitam, "Gak ada sepatu lain apa?" tanya Alden heran. Braga menggelengkan kepalanya.  "Gak ada?" tanya Alden memekik, lagi-lagi Braga menggelengkan kepalanya.  "Kalau biasanya keluar pakai apa pas gak di acara formal?" "Pakai sandal jepit," jawab Braga.  Alvino buru-buru melepas sepatu berwarna choco milk yang dia pakai, "Nih pakai sepatuku. Jangan malu-maluin ngajak kencan cewek pakai pantofel," ucap Alvino menyerahkan sepatu di dekat kaki Braga.  "Apa muat?" tanya Braga.  "Dicoba saja dulu!" titah Alvino. Lagi-lagi Braga menurut oleh duo tutul itu, untungnya ukuran sepatu mereka sama meski agak sempit saja di kaki Braga.  "Cepat sana, kesukaan Kak Ia nonton disney!" ujar Alden dan Alvino mendorong Braga agar cepat keluar kamar. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN