7. Terciduk

1404 Kata
Braga uring-uringan tidak jelas saat melangkahkan kakinya ke penjuru kampus. Braga mengepalkan tangannya dengan erat, seharian ini dia sudah dua kali kecolongan. Yang pertama tadi pagi dan yang sekarang kedua kalinya. Braga mencoba menghubungi nomor Alleia, tapi tidak juga diangkat oleh gadis itu.  Seluruh penjuru kampus sudah Braga kunjungi, dan batang hidung gadis itu pun belum kelihatan. Braga menatap nyalang ke arah depan, ia ingin meluapkan emosinya saat ini juga. Namun tau kalau ini masih area kampus, Braga menahannya.  Seumur-umur Braga tidak pernah marah apalagi pada Alleia. Dengan segala kelapangan hatinya Braga selalu berbicara lembut dengan Alleia. Namun untuk kali ini, ingin rasanya Braga memaki Alleia sampai puas. Alleia pikir tidak lelah menjadi Braga? Mencintai dalam diam sekian lama dan saat ini dihianati, sungguh sangat ironis. Kalau ada orang yang tidak berperasaan di dunia ini, maka Alleia lah satu-satunya, batin Braga.  Braga menatap hp nya kembali, pria itu mengotak-atik fitur lokasi yang ada di hpnya untuk dia sambungkan pada Alleia. Braga tersenyum sinis, untung saja GPS di hp Alleia tidak pernah mati. Tanda merah muncul menunjukkan tempat Alleia berada.  "Tau gitu kenapa pakai acara keliling kampus?" maki Braga pada dirinya sensiri. Kalau dalam mode panik, pikiran Braga tidak bisa bekerja dengan cerdas.  Braga segera melangkahkan kakinya menuju parkiran kampus. Pria itu ingin cepat menemui Alleia dan menyemprot gadis yang sudah semena-mena itu. Braga mencintai Alleia bukan perkara gadis itu anak orang kaya, Braga mencintai Alleia bukan karena Alleia cantik, tapi cinta di hati Braga untuk Alleia sama sekali tidak beralasan. Kalau kaya jelas ada yang lebih kaya dari Rexvan, kalau cantik jelas banyak yang lebih cantik dari Alleia. Namun begitulah kenyataannya, Cinta Braga sangat sederhana untuk Alleia. Dan saat Alleia meninggalkannya tanpa pamit begini Braga sungguh tidak jenak. Pikiran braga dipenuhi hal-hal buruk. Kemungkinan soal Alleia jalan dengan cowok lain atau bahkan pacaran sungguh membuat dadaa Braga sesak. Serba salah menjadi Braga, mau berjuang untuk Alleia takut merenggangkan hubungannya dengan gadis itu, terlebih dengan Rex yang pasti juga akan merenggang saat pria itu tidak merestui Braga. Namun kalau tidak berjuang siap-siap dia sakit hati di kemudian hari. Braga tidak siap sakit hati, Braga ingin terus berada di zona nyaman di mana Alleia selalu di bawah kendalinya dan selalu berada di sisinya tanpa orang lain yang mengusik. Egois? Mungkin tabiat laki-laki memang egois.  Braga menjalankan mobilnya dengan cepat ke mall yang tidak jauh dari kampus Alleia. Sepanjang perjalanan laki-laki itu tidak berhenti mengumpat kasar. Mengumpati Allard CS yang sudah membuat Alleia marah dan mengumpati Alleia sendiri karena sudah meninggalkannya. Dering hp di kantung Braga tidak dia hiraukan. Kalau di jam seperti ini yang biasa telfon adalah sekretarisnya yaitu Bunga. Braga tidak peduli bilamana banyak pekerjaan yang menantinya di kantor, karena prioritasnya hanya satu yaitu Alleia. Alleia lebih penting dari pekerjaannya.  Di sisi lain, Bian, Faris, Tiko, Dilan dan Alleia menyudahi permainan mereka. Mereka tampak puas dengan permainan kali ini terlebih ada anggota baru yaitu Alleia. Alleia tidak sependiam yang dibayangkan, bahkan Alleia cenderung sangat asik. Semua tingkah kekanakan Alleia keluar saat bersama mereka. Mereka sangat baik dan sangat pintar-pintar membuat Alleia ingin lagi berteman dengan mereka.  "Kalau ada waktu boleh lah kita main lagi," ucap Faris merangkul pundak Alleia.  "Boleh, aku mau kok kalian ajak," jawab Alleia sembari berjalan menuju luar.  "Gak diikutin sama adik-adik lo?" tanya Dilan yang merasa heran. Biasanya kemana-mana Alleia juga diikuti kelima tuyul yang sayangnya sangat tampan.  "Tenang, tadi pagi mereka sudah aku sembur mentah-mentah. Pasti mereka kapok dan gak mau ikutin aku lagi," jelas Alleia.  "Wiihh lo bisa marah, Al?" tanya Faris menatap kagum Alleia.  "Kecil-kecil gini kalau nonjok orang juga sakit loh," jawab Alleia pura-pura songong yang langsung membuat semua orang yang di sana tergelak.  Dari kejauihan tampak sepasang mata tengah menatap awas Alleia, lebih tepatnya menatap tangan Faris yang tengah merangkul pundak Alleia. Saking asiknya Alleia bersama teman-teman barunya, Alleia sampai tidak sadar kalau Braga tengah berdiri tak jauh dari dirinya.  Tatapan Braga menghunus tajam, pria itu memasukkan kedua tangannya di saku celanannya. Siapa tau kalau di dalam saku itu tangan Braga tengah mencengkram erat siap mematahkan tulang belulang Faris.  Braga makin memicingkan matanya saat melihat Alleia yang tersenyum lebar sesaat setelah berbincang-bincang. Dengan dirinya Alleia tidak pernah tersenyum sampai sepuas ini.  "Kenapa topik pembicaraan mereka banyak sekali?" tanya Braga dengan geram.  "Lihat itu, laki-laki putih itu sungguh alay dan menyebalkan. Dia pikir merangkul pundak cewek bisa buat cewek baper apa? Dasar kampungan!" maki Braga menendang angin dengan kecil.  "Alleia, lo pulang bareng kita saja!" ucap Faris saat mereka ingin pulang. Saat ini mereka tengah berada di tempat perkir, tepat di depan mobil Faris.  "Em ... kayaknya aku naik taxsi saja, deh. Soalnya aku masih mau ke suatu tempat," jawab Alleia. Setelah menimang-nimang, pulang bukanlah pilihan yang tepat. Alleia masih sangat kesal dengan adiknya, kalau dia melihat wajah kelima tuyul itu sudah pasti emosinya kembali meledak. Daripada dia menimpuk kepala adiknya satu persatu dengan galon air, lebih baik dia menghindar supaya tidak ada pertikaian. "Mau ke mana? Ini sudah sore," ujar Bian yang matanya malah fokus pada rambut Alleia yang berkibar terkena terpaan angin.  "Mau main saja," jawab Alleia.  "Ya sudah kita anterin sekalian," ujar Dilan ikut bersuara.  "Iya, Alle kita anterin saja. Gak baik cewek jalan sendirian," timpal Tiko.  Melihat kebaikan teman-temannya membuat Alleia menganggukkan kepalanya, tidak ada salahnya meminta mereka untuk mengantarnya ke rumah Ziona. Hitung-hitung untuk hemat ongkos. Melihat Alleia yang mengangguk membuat Faris menuntun Alleia untuk masuk mobil.  Habis sudah kesabaran Braga, pria itu dengan cepat menghampiri Alleia dan lima cowok yang mengelilingi gadis itu. Braga sungguh ingin menghujat Alleia yang rupa-rupanya memang mengundang hujatan. Tidak ada kelima tuyul kini ada kelima cowok yang tampan mengelilinginya. Lah terus dia ini dianggap apa?. "Tunggu!" ucap Braga menahan pintu mobil yang akan tertutup.  Faris dan Alleia mendongakkan kepalanya, mata Alleia membulat sempurna saat mengetahui Braga berada di depannya. Alleia melihat wajah Braga yang terlihat sangat marah, bahkan raut pria itu terlihat memerah dan menegang.  "Turun!" titah Braga pada Alleia. "Lo siapa, ya?" tanya Faris yang bersuara. Braga tidak menjawab, pria itu masih menatap Alleia dengan tajam.  "Turun, Alleia!" tekan Braga lagi.  "Tapi, Mas. Kenapa Mas berada di sini?" tanya Alleia yang bingung.  "Apakah Mas tidak boleh menemuimu, Gadis nakal?" tanya Braga dengan sinis. Senyum di wajah Braga bahkan lebih terlihat seperti senyum menyeramkan, berbeda dari sebelumnya.  "Aku mau main," elak Alleia tidak mau turun.  "Turun!" bentak Braga dengan suara keras.  Buggghh! Faris mendorong dadaa Braga agar Braga menyingkir. Faris sangat Familiar dengan laki-laki di hadapannya, tapi dia lupa siapa. Dan menurut Faris, laki-laki itu sudah lancang karena mengganggunya.  "Lo ada masalah apa sama Alleia? Lo gak berhak ngatur-ngatur dia!" desis Faris.  "Kamu mau menggunakan cara keras?" tanya Braga dengan santai. Jangan ragukan ilmu bela diri Braga yang sudah level kera putih.  "Kenapa, lo takut?" tanya Faris menantang. Alleia pun turun dari mobil dan melerai keduanya, tapi tangannya langsung dicekal Faris dan dipaksa untuk berdiri di belakang punggung laki-laki itu.  "Saat gue lihat raut takut Alleia sama lo, itu artinya lo adalah orang jahat bagi gue!" ucap Faris dengan tajam. "Kamu baru tau Alleia saat ini, jadi kamu sama sekali tidak memahami apapun tentang dia," jawab Braga dengan sinis.  Namanya anak menginjak dewasa sudah pasti pikirannya masih labil-labilnya. Meski kelihatannya Faris sangat dewasa, tapi saat dipancing sedikit dia sudah gampang panas. Seperti saat ini contohnya. "Gue paham soal Alleia!" jawab Faris dengan tegas.  "Sudah jangan bertengkar, aku ikut Mas Braga saja!" ucap Alleia melepas paksa tangan Faris, tapi Faris menahannya kembali.  "Tidak bisa begitu, Alleia! Gue harus pastikan lo baik-baik saja. Lo temen gue dan udah gue anggep sahabat gue, jadi gua gak mau lo kenapa-napa sama orang asing itu," ucap Faris menatap Alleia serius. Alleia menarik sudut bibirnya, dia terharu dengan ucapan Faris. Sebelumnya tidak ada yang pernah menganggapnya sebagai seoang teman.  Tiko, Bian dan yang lainnya hanya diam melihat perdebatan itu. Mereka pun bingung harus melerai seperti apa, melihat raut Braga yang marah saja sudah sangat menyeramkan.  "Aku gak apa-apa, Kok. Mas Braga ini kakakku," ujar Alleia yang membuat Faris membulatkan matanya. Dengan spontan Faris melepas tangan Alleia dari genggamannya.  Braga tersenyum sinis, laki-laki itu menarik tangan Alleia agar mendekat ke arahnya. Braga masih menatap Faris yang sepertinya terkena serangan shock.  "Saya tandain kamu!" ucap Braga mengacungkan kunci mobilnya untuk menunjuk Faris tepat di kening pria itu. Faris ingin membuka mulutnya, tapi rasanya dia tidak sanggup berbicara dan akhirnya menutupnya lagi.   "Ayo masuk mobil!" titah Braga menarik tangan Alleia sedikit kasar untuk menuju mobilnya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN