13

1046 Kata
Akhirnya Wibisono pun mulai menceritakan kisah hidupnya saat remaja. Ia berusaha jujur dan menceritakan semuanya kepada Windu, bukan untuk mencari solusi atau saran atau bagaimana ia bisa sembuh. Tapi lebih mengeluarkan beban di hidupnya selama ini. Wibisono memendan suatu cerita yang memang membuatnya trauma. "Kamu tahu, Mas dulu lelaki normal. Mas punya pacar, punya gairah dan punya nafsu. Rossa, ya, namanya Rossa, dia kekasih Mas yang paling Mas cintai. Cantik, pintar, dan penurut. Suatu hari, kami berdua terjebak pada nafsu setan dan akhirnya Rossa hamil saat ia masih duduk di kelas dua SMA. Saat itu, Mas kacau, galau, bingung, panik dan cemas. Mas sendiri hanya ingin bermain -main dan kebablasan sampai lupa diri dan resiko hamil itu ada dan nyata. Rossa meminta pertanggung jawaban. Mas tidak mau, Mas suruh dia menggugurkan kandungannya. Sampai suatu hari Rossa ingin bunuh diri dan hal itu di ketahui oleh kedua orang tuanya hingga kedua orang tuanya tahu kalau Rossa hamil, dan Mas harus menikahinya. Kedua orang tua Rossa datang ke rumah, meminta tanggung jawab bukan pada Mas saja, tapi juga kepada kedua orang tua Mas. Sampai akhirnya kita menikah secara paksa dan diam -diam karena takut malu. Rossa keluar dari sekolah dan tinggal bersama orang tua Mas. Sampai suatu hari, Rossa merasakan sakit perutnya dan keluarlah darah yang menggumpal seperti seonggok daging degan bintik dua dan terlihat panjang seperti janin. Mas melihat itu langsung mual, takut, dan trauma hingga saat ini. Mas di salahkan oleh keluarga dan Rossa tidak pernah memaafkan Mas karena Mas di anggap tidak pernah mau anak itu. Padahal Mas sudah menerimannya dengan baik. Sejak itu Mas tidak b*******h lagi dnegan perempuan. Rossa pergi entah kemana tak pernah ada kabar hingga kini. Mas selalu mengingat seonggok daging itu, karena Mas memegangnya. Mas gemetar luar biasa dan ...." ucapan Wibisono pun dihentikan oleh Windu. "Cukup Mas. Windu mengerti," ucap Windu tegas. Wibisono mulai menangis dan menitikkan air matanya. Hidupnya selalu di hantui perasaan bersalah dan trauma teramat besar yang membuat Wibisono tidak bisa melupakan kejadian yang membuat hatinya kecewa dan sakit. "Kamu tidak tahu rasanya Windu. Kamu tidak paham dengan apa yang Mas rasakan sampai saat ini. Kejadian itu memang sudah dua puluh tahun yang lalu, tapi semua terasa nyata dan seperti baru saja terjadi. Mas melihat Rossa yang kesakitan dan akhirnya gumpalan darah berupa daging itu keluar dari aera vitalnya," uacp Wibisono dengan merinding. Ia masih bergidik ngeri mengingat hari itu. Hari naas. "Boleh Windu memeluk Mas?" tanya Windu lembut. Mungkin dengan pelukan dan usapan, hati Wibisono bisa tenang kembali. Wibisono mengangguk pasrah. Dirinya butuh itu, sebagian rasa di hatinya memang beku dan hilang. Windu berdiri dan memeluk tubuh kekar Wibisono. Dalam pelukan itu, Windu berusaha memberikan rangsangan usapan yang lembut dan membuat Wibisono nyaman. Ia pernah belajar tentang terapi untuk orang yang mengalami trauma. "Mas mau sembuh?" tanya Windu pelan. "Mau. Memang bisa? Mas pasrah dengan keadaan Mas," ucap Wibisono dengan sedikit sesegukan. tangisannya memang dari hati hingga luka yang sempat ia tinggalkan terkuak kembali dan beban mental telah menjatuhkan harga dirinya sebagai laki -laki. Bahkan mungkin saat ini ia hanya di anggap Yasinta sebgai lelaki yang tak berguna karena kekurangannya ini. "Bisa. Pasti bisa. Mas harus sabar," ucap Windu pelan. Windu mengendurkan pelukannya dan kembali duduk di samping Wibisono dan memcoba berinterasi dengan sentuhan. Ia pelan menggenggam tangan Wibisono dan mengusap dnegan ibu jarinya pelan dan sesekali di beri pijatan untuk merileks pikirannya. Wibisono menatap lekat Windu. Ia tidak tahu, jika ternyata ia nyaman dengan Windu yang ia anggap wanita yang tak mungkin bi amenggantikan Yasinta dan mungkin hanya wanita yang hanya ingin menguras harta kekayaannya. "Kenapa kamu ingin membantuku Windu? Apa karena harta?" tanya Wibisono menuduh. Pikirannya memang belum stabil, masih ada keraguan. Windu tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan. "Untuk apa? Apa yang Mbak Yasinta berikan untuk keluarga Windu sudah lebih dari cukup. Kalau Windu harus meninggalkan Mas Wibisono sekarang pun, Windu tak rugi. Windu masih bisa kerja, atau buka usah dengan Ibu untuk membiayai Bapak berobat. Windu tak pernah menginginkan harta kekayaan sedikit pun. Pernikahan kontrak ini memang keinginan Mbak Yasinta," ucap Windu pelan. "Lalu atas dasar apa kamu mau membantuku untuk sembuh? Memang kamu bisa? Atau kamu berusaha mempunyai keturunan denganku agar bisa menguasai hartaku?" tanya Wibisono muali curiga dan menuduh. "Tidak. Sama sekali tidak. Itu hak Mas untuk mempercayai kehadiran Windu atau tidak. Kalau Mas ragu ya jangan percaya," ucap Windu pelan. Windu beranjak dari tepi ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi untuk berwudhu. Hanya dnegan mendekatkan diri pada pencipta -Nya mungkin hati Windu lebih tenang. Wibisono hanya menatap Windu. Ia masih ragu, masih dilema dengan orang baru yang langsung masuk dalam kehidupannya. Ia perlu mengenal Windu, mengetahui kesehariannya bukan malah dengan mudahnya memasrahkan dirinya kepada Windu. Tapi setidaknya kegundahan selama dua puluh tahun itu bisa hilang dari hatinya dengan berbagi. Windu keluar dari kamar mandi dan memakai mukenanya, menggelar sajadahnya dan mulai bersujud di sepertiga malam. Wibisono hanay menatap Windu dengan sendu. Betapa adem melihat Windu yang seperti ini. Sedikit berbeda dengan yasinta. Memang Yasinta baik, lembut, penurut tapi slema dalam pernikahannya Wibisono tak pernah melihat Yasinta memakai mukena apalagi bersujud dalam lima waktu di setiap harinya. Beberapa menit kemudian. Windu sudah duduk di atas sajadah dan menengadahkan kedua tangannya. Harapannya saat ini hanya satu. Semoga pernikahannya ini adalah pernikahan pertama dan terakhir bagi Windu. Walaupun semua di mulai dari hal yang tidak baik, tapi Windu tetap bertekad untuk menjadi istri yang baik dan setia serta mampu melayani suaminya. "Apa kamu sering melakukan ibadah ini?" tanya Wibisono pelan. Ia takut masih menganggu Windu. Windu menoleh ke arah Wibisono dan mengulurkan tangannya lalu mencium punggung tangan Wibisono dengan sopan sekali. "Ya. Ini cara kita mendekatkan diri sama Tuhan kita. Mungkin dengan berdoa dan bersujud Windu bisa lebih tenang," ucap Windu pelan tanpa mengintimidasi. Wibisono mengangguk kecil tanda paham. Sudah lam asekali ia lupa cara bersujud. Mungkin bacaan sholat pun haus di pelajari kembali untuk memulai beribadah. "Windu?" panggil Wibisono pelan. "Ya?" jawab Windu sopan. "Bisa bantu Mas? Ajarkan Mas untuk bisa bertbat, bersujud dan berdoa, biar Tuhan mengampuni dos a-doasa Mas?" tanya Wibisono dnegan suara lirih. Hatinya tak hanya sakit tapi juga teras perih seperti terisi pisau. Semua bayangan dosa di masa lalu, mungkin saja membuat dirinya merasa berkekurangan setiap hari. Bukan hanya itu, Wibisono sellau takut, jika hartanya habis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN