20

1017 Kata
Suasana sarapan pagi itu agak tegang. Yasinta mulai terlihat guup dan panik. Tapi, wanita itu sangat pintar memainkan raut wajahnya. Pandai menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya sedang cemas. Ia selalu tersenyum dan tak menanggapi serius setiap pembicaraan Wibisono kepadanya. Pertanyaan yang di ajukan Wibisono hanya di anggap angin lalu yang tak perlu di jawab dengan jujur. "Mas berangkat ya, Yas, Win," ucap Wibisono pelan. Ia bangkit berdiri dan Windu ikut berdiri meletakkan alat makannya dan membawakan tas kerja Wibisono ke depan teras rumah. Yasinta hanya mengangguk pelan. "Hati -hati ya Mas. Seperti biasa nanti aku ke kantor. Aku mau ke bali sama temen -temen," ucap Yasinta dengan santai lalu melanjutkan sarapannya hanya dengan memakan salat buah. "Mas hati -hati bawa mobilnya. Jangan ngebut. Nanti Windu mau lihat tempatnya ya?" ucap Windu pelan. "Ya Windu. Langsung ke kantir saja. Bilang ketemu Mas. Nanti Mas akan bilang bagian penerima tamu," ucap Wibisono pelan. Wibisono sudah naik ke dalam mobilnya dan melajukan mobilnya dnegan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan ia berpikir keras. Selama ini sikapnya yang cuek dan terlalu membiarkan Yasinta bebas malah berakhir seperti ini. Yasinta lembut tapi sikapnya tidak peduli dan tidak menghargai. Berbeda dengan Windu yang benar -benar tulus mengurusi dan melayaninya dengan baik. Walaupun rasa itu tentu belum ada di antara keduanya. Windu kembali ke maea makan dan duduk di kursi tadi untuk melanjutkan sarapan paginya sambil menunggu tukang sayur yang datang sebentar lagi. "Apa niat kamu sudah berubah? Ingin menguasai rumah ini dan suamiku?" tanya Yasinta ketus. "Gak Mbak. Mbak Yasinta jangan salah paham soal ini," ucap Windu membela dirinya. Ia sama seklai tidak mencari muka palagi berniat untuk menguasai rumah dan harta Wibisono. "Lalu untuk apa berpura -pura mengurus Mas Wibisono dan melayaninya begitu bai sekali. Memasak untuk beliau? Kalau kamu tidak ada maksud buruk," ucap Yasinta mulai sinis. "Windu hanya menjalankan tugas sebagai istri pada umumnya. Melayani suami itu suatu kewajiban. MAsak dan beres -beres rumah itu juga bagian pekerjaan dar seorang istri. Apa Windu salah?" tanya Windu sambil mnegunyah makanannya ke dalam mulut. "Salah atau tidak itu gimana kamu, Windu. Ini cuma pernikahan kontrak. Dan kamu tidak akan pernah bisa hamil dengan suamiku, kecuali kamu hamil dengan pacaramu? Lalu kamu akui kamu haamil dengan Wibisono, aku adalah orang pertama yang akan tertawa keras," ucap Yasinta ketus. "Windu tahu Mbak. Mas Wibisono itu lemah syahwat. Bukan berarti tidak bisa memberikan benih, hanya perlu sabar saja," ucap Windu pelan. "Argh ... Tidak perlu mengguruiku Windu. Aku akan terus pantau kamu. Aku tidak akan terima jika kamu mulai mensetir Mas Wibisono. Aku orang pertama yang kaan mengatai kamu sebagai pelakor atau perrusak rumah tangga orang," ucap Yasinta penuh kebencian. Yasinta merasa dengan kehadiran Windu yang polos dan jujur malah membuat posisisnya semakin tidak baik. "Maaf Mbak. Kalau memang Mbak Yasinta terganggu dengan kehadiran Windu. Windu siap untuk pergi dari rumah ini," ucap Windu tegas. "Tidak perlu. Jangan pergi dari sini. Atau aku bisa berbuat lebih tega kepada kamu," ucap Yasinta lantang. Yasinta pun pergi dari tempat itu dan naik ke atas menuju kamarnya. Ia harus segera mencari cara untuk menjatuhkan Windu. "Non ... Tukang sayurnya sudah datang,' ucap Tini pelan. "Ya. Tolong bereskan semuanya, Sarapannya sudah selesai," titah Windu kepada Tini. "Ya Non," jawab Tini pelan. Windu pun beranjak dari kursinya dan menuju ke depan rumah. Disaana tukang sayur beserta gerobaknya sudah nangkring di halaman rumah. "Mang Engkin?" panggil Windu pelan. "Eh ... Neng Windu? Kerja di sini?" tanya Mang Engkin pelan. "Iya Mang. Windu kerja di sini," jawab Windu berbohong. "Mau beli apa Neng? Pasti sayur?" tuduh Mang Engkin pelan. "Iya. Mau bikin sayur asem, ikan asin, sambel, sama bakwan sayur," ucap Windu pelan. "Ada masih lengkap sayurannya juga," ucap mang Engkin sambil mengambilkan pesanan untuk Windu. "Jangan lupa bumbunya ya?" ucap Windu pelan sambil mencari -cari buah yang ingin di belinya. Windu memilih pepaya dan jeruk mandarin. Acara belanja pun sudah selesai. Windu membayar semua belanjaan yang di belinya dan ia pesan beberapa sayur untuk besok. Windu mulai memasak untuk di bawa sebagai bekal makan siang Wibisono di kantor. Rencananya hari ini ia akan pergi survei tempat untuk usaha barunya. "Non mau ke kantor Tuan Wibisono?" tanya Tini pelan. "Iya. Mau antar makanan ini untuk makan siang Mas Wibisono. Lalu pergi sebentar ada perlu," jawab Windu pelan sambil mengaduk sayur asemnya. "Memang Non Windu ada hubungan apa dengan Yoga?" tanya Tini yang penasaran. "Hubungan? Maksudnya?" tanya Windu sambil memotong sayur untuk membuat bakwan. "Tadi kan ada kaos Yoga di tangan Non Windu. Lalu saya kembalikan pada Yoga. Dia bilang, ini dari pacarku ya? Gitu? Memang Non Windu kekasih Yoga? Tapi kenapa menikah dengan Tuan Wibisono," tanya Tini penasaran. "Itu tandanya, Windu menikahi Mas Wibisono ada maksud jelek," ucap Yasinta lantang. Windu pun menoleh ke arah Yasinta. Begitu pun dnegan Tini yang super kepo langsung menatap penasaran ke arah Yasinta. "Apa maksud Mbak Yasinta bicara begitu?" tanya Windu pelan. "Kamu selingkuh dengan Yoga? Gak ada harga diri sama seklai. Selingkuh dnegan supir dan menikahi majikannya hanya untuk memperkaya diri sendiri," ucap Yasinta ketus. Yasinta tertawa keras. Ia senang bisa membully Windu dengan cara yang seperti ini. Setidaknya kegundahan Yasinta semakin tertutupi dnegan adanya Windu. Mulai saat ini, Yoga kan dapat peran baru untuk mendekati Windu di saat yang tidak aman. Melempar batu sembunyi tangan, begitulah kiasannya. Setidaknya Windu adalah tempat untuk di salahkan dalam hal apapun. "Fitnah lebih kejam dari pembunuhan Mbak. Jangna melempar keslahan sendiri kepada orang lain. Kalau saja Windu punya bukti kuat, mungkin hal ini tidak terjadi pada Windu malah kepada Mbak Yasinta sendiri," ucap Windu pelan. Windu menatap lekat ke arah Yasinta. "Permisi Nyonya. Saya harus pulang ke kampung karena ada keperluan mendadak. Saya mohon cuti selam asatu minggu," ucap Yoga dengan sikap sopan. "Muali kapan?" tanya Yasinta pelan. "Sekarang Bu. Maaf kalau mendadak," ucap Yoga pelan. "Ya sudah tidak apa -apa. hati -hati. Nanti gajimu saya trasnfer saja," ucap yasinta pelan. Yoga pun pergi meninggalkan tempat itu dan memberesakn pakaiannya ke dalam tas pakaian. Yasinta pun pergi begitu saja dengan taksi online menuju kantor Wibisono. "Bapak ada?" tanya Yasinta ketus kepada salah satu satpam. "Ada bu di ruangannya," ucap satpam pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN