“Kalinda mau kemana?” Tanya Bagas dengan suara sanga lembut layaknya ketika dia berbicara dengan Keila.
Gadis itu tampak kebingungan ketika Keila keluar rumah karena di panggil oleh teman-teman-temannya.
“Tidak tahu saya bingung,” jawabnya sambil menoleh ke segala arah.
“Duduk sini kalau kamu pengen nonton tv saya bisa pindah ke depan.” Bagas berdiri dan membiarkan sofa bed di tempati oleh Kalinda sendiri. “Tidak apa-apa Kalinda”
Kalinda mulai bergerak mendekati sofa lalu mulai mencari posisi nyaman.
Betapa terkejutnya Bagas ketika Kalinda menahan tangannya ketika dia akan pergi ke teras. Ini adalah kontak fisik pertama mereka setelah beberapa minggu mereka bersama. “Mas Bagas tidak perlu pergi, saya tidak apa-apa.”
Bagas semakin terkejut ketika Kalinda berbicara dengan kalimat yang cukup panjang dari biasanya. “Kamu tidak apa-apa?”
Kalinda menggeleng dan memastikan dirinya alan baik-baik saja duduk berdampingan dengan Bagas dan mengobrol bersama setelah sekian lama.
“Kalinda, kamu benar tidak apa-apa?” Bagas memastikan kembali Kalinda karena dia takut dia memaksakan keadaannya.
“Saya harus mencoba melawan rasa takut saya karena saya tidak bisa selamanya terus mereptkan orang lain, saya harus sembuh.”
“Iya, kamu harus sembuh dan kembali seperti dulu. Kamu berharga dan kamu pantas mendapat kebahagiaan.”
Senyum itu sangat tipis tapi Bagas mampu melihatnya. Kalinda yang hari-harinya selalu murung, menangis dan ngamuk hari ini sangat berbeda wajahnya lebih cerah berseri-seri.
“Terimakasih Mas Bagas.”
“Iya Kalinda, saya ikhlas menolong kamu.”
“Terimakasih.”
Tiba-tiba suasana canggung menghampiri mereka berdua. Bagas yang memiliki traumatic terhadap perempuan dan Kalinda sebaliknya, mereka layaknya air dan minyak yang dipaksa untuk bersatu.
Untuk beberapa saat hanya terdengar suara televisi yang menayangkan berita terkini. Sedangkan dua manusia itu hanya saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Mas Bagas.”
“Kalinda.”
Tak sengaja pula keduanya membuka suara bersamaan. Bagas langsung salah tingkah sedangkan Kalinda menundukkan kepalanya malu.
“Kamu dulu saja, Kalinda.”
“Emm … Mas Bagas kenapa menolong aku sampai sejauh ini, kita tidak saling mengenal sebelumnya dan aku juga tidak pantas mendapatkan ini semu.”
Wajar pertanyaan seperti akan muncul di benak Kalinda setelah pikirannya mulai terbuka. Dan bukan hanya Kalinda, tapi semua orang yang melihat kelakuannya akan bertanya-tanya bahkan berani berspekulasi buruk.
“Bukannya sesama manusia harus saling menolong? dan seluruh umat muslim adalah saudara jadi apa salahnya saya menolong saudara muslim saya?”
Mata Kalinda tampak berkaca-kaca mendengar jawaban yang diberikan Bagas. Perlahan Kalinda akan membangun kepercayaan pada pria baik ini, meski tidak sepenuhnya Kalinda akan mempercayainya.
“Maaf saya benar-benar merepotkan, saat itu hidup saya benar-benar hancur rasanya hidup sia-sia dan mati rasanya tidak pantas saya kotor dan hina Alloh tidak akan menerima saya.”
“Kalinda sudah, jangan diingat lagi!”
“Jika bisa, saya akan menghapus seluruh ingatan itu, Mas Bagas.” Sekarang Kalinda suah benar-benar menangis. Tangannya yang semula anteng di agas paha kini mulai meremas rambutnya yang ditutupi jilbab instan, keniasaannya ketika dia sedang mengingat sesuatu yang buruk.
“Pria jahat, Alloh pasti melaknat dia selamanya!” Kalinda kembali berteriak dan sebisany Bagas harus berusaha menenangkan sendiri karena ibunya sesang tidak ada.
“Kalinda setop, rambut kamu bisa rontok kalau cara kamu seperti ini.” Tenaga Kalinda dua kali lebih kuat jika sedang seperti ini, bahakan dia sampai kualahan ketika ingin melepas cengkraman di rambutnya.
“Dasar orang jahat!”
Bagas tetap berusaha membuat Kalinda tenang dan cara terakhir yang dia lakukan adalah menelpon Isabella, satu-satunya orang yang Kalinda percayai.
“Assalamhalikum, Kalindaa,” sapa Isabel dengan ceria. “Hayo tadi Kalinda janji apa sama saya?”
Tangan Kalinda yang sebelumnya kaku mulai lemas dan fokus ke sumber suara.
“Mbak, ada orang jahat aku takut mbak!”
Terdengartawa renyah Isabella, “Tidak ada orang jahat Kalinda, bukannya disitu hanya ada Bagas? dia kan orang baik.”
Kalinda berfikir kemudin mengangguk. “Jadi, orang jahatnya sudah tidak ada ya?”
“Tidak ada, sekarang hanya orang-orang baik yang mengelilingi Kalinda.”
Kalinda manggut-manggut kemudin ekspresinya kembali tenang seperti semula, Isabella memang pawangnya Kalinda untuk saat ini.
“Yasudah, Kalinda baik-baik ya sama Mas Bagas percaya sama, mbak, orang jahat itu tidak akan kembali lagi. Assalamualikum Kalinda.”
“Waalaikumsallam.”
Pnggilan telpon keduanya pun akhirnya terputus dan Kalinda kembali tenang. “Kalau disini Kalinda jangan takut, tidak akan ada orang jahat.”
“Aku mau ke kamar.”
Kalau sudah begitu Bagas tidak bisa menahan dan harus membiarkan apapun yang ingin Kalinda lakukan meski dia sangat ingin mengobrol lebih banyak lagi dengan dia dan mengorek informasi yang belum Isabella dapatkan.
Bagas merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil berbalas pesan dengan Isabella yang sedang berada di klinik namun belum ada janji dengan pasien. Karena Kalinda hubungannya semakin dekat bahkan setiap hari mereka selalu berkomunikasi entah itu membicarakan tentang Kalinda atau hal lain yang lebih privat.
Beberapa Kali ajakan untuk diner atau sekedar jalan-jalan melunxur dari bibir Isabel tapi Bagas tetap belum siap karena pertemuan pertama di pesata malam itu Isabel cukup agresif dan membuatnya merasa takut.
Isabella: “Malam ini kosong kan? kita ngobrol di luar yuk.”
Satu pesan masuk lagi dan Bagas tidak bisa langsung menjawab pesan itu begitu saja. Dia jarus berfikir dua kali dan meyakinkan diri jika dia akan baik-baik saja nanti.
Isabella: “Jangan biarkan rasa takut itu menguasai kamu.”
Bagas: “Kemana?”
Isabella: “Nanti kita pikirkan yang terpenting kamu mau terlebih dulu. Aku mau kamu dan Kalinda sembuh.”
Bagas: “Kalau sudah pulang telpon saya.”
Itu balasan terakhir dari Bagas setelah itu dia memutuskan untuk tidur sesaat.
****
Bagas sudah berada dalam perjalanan menuju apartement Isabella. Kalinda dan Keila sudah aman dengan pembantunya di rumah jadi malam ini dia biaa pergi dengan santai.
Sesampainya disana dia langsung menghubungi Isabella dan tak lama kemudian wanita itu menghampirinya di lobi dengab penampilan yang bisa saja bahkan dia hanya memakai kaos dan celana pendek.
“Loh kamu belum siap-siap?”
“Di sini saja, malam ini kita fokus ngobrol kalau kita kelur kayaknya kurang bisa fokus.”
Akhirnya mau tak mau Bagas menurut meski dirinya sudah memakai pakaian rapi dan wangi.
Apartement Isabella cukup rapi dan bersih, selagi menunggu Isabella yang berpamitan membuat minum Bagas mengitari pandangannya ke penjuru apartemen yang tampak minimalist dan elegan khas Isabella.
Di ruang tamu ini terdapat beberapa frame foto keluarga Isabella yang di susun secara rapi di dinding.
“Itu Mama aku, keturunan bule asli memang.” Bagas langsung meletakkan frame berukuran kecil yang sempat dia ambil karena ingin mengamati lebih dekat wanita paruh baya berwajah eropa.
Bagas mengangguk paham karena wajah Isabella juga terlihat campuran dan membuatnya semakin terlihat cantik.
Keduanya duduk berhadapan di ruang tamu, Isabella tetap dengan senyum cerianya sedangkan Bagas mulai merasa canggung dan salah tingkah karena Isabella terus menatapnya.
“Memang begini ya tingkah kamu kalau di tatap wanita?”
Bagas tertawa dan berusaha menutupi rasa canggungnya.
“Bagas coba lihat aku .”
“Nggak bisa, Isabel.”
Karena dia tidak mau terlalu memaksa Bagas akhirnya Isabella tak lagi menatap Bagas seperti tadi. Dia mulai membuka obrolan agar Bagas bisa menceritakan kisah masa lalunya barang sedikit.
“Kamu merasakan tidak bisa terlalu dekat wanita sejak kapan?”
“Bukannya tidak bisa, saya hanya salah tingkah dan panik ketika kontak fisik terlalu lama. Saya masih normal dan saya masih menyukai wanita.” Bagas tidak mau Isabella salah paham, meski dia tidak bisa dekat dengan wanita tapi dalam lubuk hatinya sebenarnya dia ingin sekali memiliki partner hidup dan saling mencintai.
“Terus apa yang kamu rasain waktu di pesta itu? Saya peluk kamu loh.”
“Lupa, soalnya ada pengaruh alkohol juga.”
Isabella yang awalnya duduk di sofa lain pindah tempat menjadi di samping Bagas yang terlihat mulai panik. “Gimana kalau seperti ini, apa yang kamu rasakan?”
Bagas langsung pucat seketika karena Isabel tengah memeluknya dari samping dan wajahnya diposisikan terlalu dekat.
“Tarik nafas setelah itu buang, ulangi berberapa kali.”
“Tidak bisa Isabel!” Tubuh Bagas terasa kaku dan nafasnya tersenggal, selama ini kontak fisik yang dia lakukan hanya sekedar menepuk pindak atau bergandengan tangan saja selebihnya Bagas tidak pernah melakukan.
Isabella tidak menyerah dan tetap memepetahankan posisinya.
“Isabel cukup, saya tidak kuat,” ucap Bagas dengan suara yang tertahan. Wajahnya merah dan penuh keringat bahkan Isabel tak menyangka bahwa respon tubuh Bagas akan seperti ini.
Isabella melepaskan pelukannya dan membiarkan Bagas mengambil nafas sebanyak-banyaknya lalu menstabilkan kembali detak jangung dan pernafasannya.
“Padahal belum ada setengah menit kamu sudah seperti ini. Ayo Gas belajar kelur daei zona nyaman jangan terus seperti ini kasian Keila keinginannya punya Mama baru terhanmbat karena kamu tidak mau kelur dari Zona nyaman.”
“Apa tidak ada obat, Bel?” Bagas sebenarnya juga lelah terus-terusan merasa takut ketika berdekatan dengan wanita, tapi dia bisa apa jika tubuhnya terus menolak.
“Pasti ada tapi kamu tidak boleh berhantung sama obat, kamu harus sembuh tanpa obat.”
“Tolong kasih saya resep ya.”
“Akan saya kasih tapi kamu harus janji setelah ini mau terapi.”
Bagas tertawa, selama ini dia tak mau konseling dengan orang yang lebih ahli karena dia malu memiliki keanehan ini. Tapi bersama Isabella dia sama sekali tidak malu karena sebelumnya wanita itu sudah mengerti kondisinya.
“Selagi masih kamu dokernya saya akan melakukan apapun demi kesembuhan.”
“Iya lah kurang enak gimana jadi pasien saya, terapinya di peluk hangat gini.”
Bagas kembali tegang ketika Isabella memeluknya sambil mengusap pipinya.
“Isabel ….” rintih Bagas karena dia tidak kuat lagi.
“Bagas tahan sebentar bisa nggak?”
Karena mihat ekspresi kesakitan Bagas, Isabella tidak memaksa lagi dan membirkan Bagas menetralkn detak jantunya lagi.
“Apa seperti ini cara kamu mengobati pasien yang senasib dengan saya?”
“Enggak, cuma kamu saja kok.” Jawan Isabella dengan santai.
“Kenapa saya berbeda?”
“Karena kamu keras kepala, udah tau sakit dari dulu nggak mau berobat!”
Jika sudah begini Bagas tidak bisa menjawab lagi karena dia mengaku salah tidak memperhatikan kesehatan mentalnya.
“Mental health itu penting Bagas jangan remehkan itu.”
“Iya ibu dokter setelah ini kita atur jadwal terapi dan reaep obat.”
Isabella tersenyum penuh kemenangan setelah itu dia kembali terlihat serius. “Sejak kapan kamu merasakan ini, Gas?”
“Sejak istri saya meninggal.”
“Kamu sangat mencintai istri kamu?”
“Saya korban perjodohan, kalaupun cinta mungkin cinta saya belum bisa sepenuhnya.”
Isabella terlihat berdikir keras karwna dia merasa jawaban Bagas tidak sepenuhnya. “Kalau cuma seperti itu trauma kamu tidak akan sampai seperti ini.”’
“Rumah tangga saya dengan mendiang istri saya sama sekali tidak baik-baik saja. Dia mencintai orang lain selain saya dan tidak mau saya sentuh sama sekali. Tepat saat Keila lahir kekasih gelap istri saya meninggal misterius dan membuat istri saya yang baru saja melahirkan depresi berat.”
Isabella menjeda penjelasan Bagas karena di merasa ada yang janggal. “Sebentar, kamu tidak pernah menyentuh istri kamu sama sekali tapi Keila hadir.”
Bagas terdiam cukup lama lalu tertawa keras untuk menutupi kegugupannya. “Maksud saya pada awalnya.”
Isabella mengangguk paham dan ingin mendengar kembali cerita Bagas namun dia tidak ingin melanjutkan lagi karena bahasannya sekarang tentang Kalinda.
“Bagas, sekarang yang menjadi pasien saya kamu bukan Kalinda.”
Bagas menggeleng karena dia tidak siap kembali membuka luka lama yang sudah lama tertutup rapi.