SEMBILAN

1142 Kata
Isabella tidak memaksa Bagas untuk bercerita tapi dia menginginkan Bagas mengelurkan segala beban yang dia tanggung sendiri. Namun, lagi-lagi Bagas hanya bungkam. “Bagas jangan sok kuat.” Bagas hanya terkekeh karena dia sudah bersahabat dengan masalah sejak dulu jadi sebesar apapun masalahnya dia selalu bisa mengatasi sendiri. Kalaupun dia ingin membagi masalahnya, dia akan mencari partner yang tepat dan bisa membuatnya nyaman bercerita. Isabella memang dokter yang biasa menangani pasien yang memiliki gangguan psikis atau mental, tapi Bagas belum mendapat kenyaman ketika mengobrol dengannya. “Lebih baik kita ngobrol soal Kalinda, saya pengen dia cepat sembuh.” Isabella hanya tersenyum karena lagi dan lagi Bagas selalu mengalihkan pembicaraan. “Kalinda baik-baik saja, dia akan segera sembuh.” Keduanya lalu mulai mengobrol banyak tentang Kalinda si gadis malang, bahkan suasana yang sempat canggung kini mulai mencair berkat obrolan mereka. Membicarakan tentang kondisi Kalinda selalu menjdi topik terbaik untuk Bagas jad tidak heran jika pria itu terlihat sangat antusias. “Menurut kamu kalau sesekali Kalinda saya ajak keluar bahaya nggak?” Minggu depan sekolah Keila libur semester dan rencanya dia akan mengajak Keila dan Kalinda jalan-jalan. “Keluar bagaimana maksudnya?” “Minggu depan Keila libur rencananya saya ingin mengajak mereka jalan-jalan untuk healing juga.” “Sebenarnya tidak apa-apa asal Kalinda tidak melihat atau mengingat tentang masalalunya. Tapi kenapa harus Kalinda, saya yang lebih sehat dan siap bisa kok.” Bagas mengusap tengkuknya, sebenarnya dia sedikit risih kalau Isabella sudah mulai agreaif begini. Selama ini hubungannya tidak lebih dari seorang dokter dan keluarga pasien saja. “Kamu sibuk Isabel, insyaallah saya bisa mengatasi mereka.” “Next time mungkin ya?” Bagas hanya mengangguk asal, sebanarnya dia sudah ingin pulang karena tujuannya ke sini tidak sesuai dengan rencana. “Sudah malam, sepertinya saya harus segera pulang soalnya Mama belum pulang dari rumah saudara saya.” “Masih jam sembilan, minum kamu juga belum habis.” Bagas tetap berpamitan secara halus, bagaimanapun juga Isabella sangat membantu dia dalam penyembuhan Kalinda. Di perjalanan Bagas mampir membeli martabak manis dan juga snack cukup banyak untuk Keila dan Kalinda jika dia mau. Putrinya pasti akan sangat senang. Dan benar saja sesampainya di rumah gadis ciliknya langsung berhambur memeluknya. “Papa kemana saja, keila tidak diajak.” “Maafin Papa ya.” Keila mulai bergelendot manja pada sang Papa karena merasa sudah ditinggalkan. “Bi, Kalinda dari tadi nggak keluar kamar?” Tanya Bagas. “Keluar sebentar setelah itu masuk lagi.” “Yasudah, bibi boleh istirahat terimakasih sudah menemani Keila.” Kini tinggal Bagas dan Keila di ruang tengah, putrinya sedang menikmati martabak sedangkan dirinya sibuk sekdiri memikirkan Kalinda yang tidak mau keluar kamar lagi. Bagas sadar terkadang sikapnya pada Kalinda sangat berlebihan padahal dia sama sekali tidak memiliki hubungan persaudaraan dengannya. “Kei, panggil tante Kalinda mau?” “Kakak lagi bobok, Pa.” “Di coba dulu dilihat kalau bobok yasudah jangan di ganggu.” Meski terlihat ogah-ogahan Keila tetap berjalan menuju kamar Kalinda yang tertutup. Setelah beberapa saat Keila hanya berdiri sambil memanggil-manggil Kalinda, tak lama kemudian dia mulai membuka handel pintu dan masuk ke dalam kamar. Akhirnya, Keila berhasil membawa Kalinda keluar dari kamar. Gadis itu terlihat pucat dan rambutnya terlihat acak-acakan karena dia tidak memakai jilbab. “Kakak ayo kita makan martabak ini.” Keila duduk berdampingann dengan Kalinda dan memberikan satu potong martabak yang sudah diiris membentuk kotak. Kalinda tersenyum tipis dan mulai menyantap martabak, sedangkan Bagas hanya memandangi mereka. Setelah semua habis mereka masih bertahan di ruang tengah karena Keila masih menolak untuk tidur begitupun dengn Kalinda yang juga masih belum mau pindah ke kamar. “Mas Bagas,” panggil Kalinda dengan suara lirih. “Iya Kalinda ada apa?” “Besok bisa tolong antar aku?” “Kamu mau pergi kemana, kondisi kamu belum baik.” “Aku ingin melihat rumahku, aku pengen pulang.” Rasa rindu itu pasti hadir setelah kewarasan Kalinda mulai membaik, tak bisa di pungkiri meaki dia sudah dihina dan tidak dianggap sebagai anak lagi tapi orang tua tetaplah orang tua. “Saya mau mengantar kamu, tapi saya tidak yakin kelurgamu memperbolehkan kamu masuk ke dalam rumahnya lagi.” Kalinda langsung menunduk dan mulai menangis membuat Bagas kebingungan. “Kalinda sudah, kita coba besok semoga orang tua kamu mau menerima kamu lagi.” “Aku takut, dulu ayah marah besar, ibu juga, bahkan bilang nggak mau lagi punya anak aku pasti aku nggak akan di terima kalau pulang.” Bagas sangat gatal ingin merangkul Kalinda dan memberinya kekuatan, tapi dia takut jika Kali da marah dia melakukan kontak fisik dengannya. “Besok setelah mengantar Keila sekolah kita ke rumahmu, meski tidak masuk ke dalam rumah setidaknya kita bisa mengamati dari luar untuk membendung rasa rindu kamu.” Kalinda mengangguk dan kembali mengakui kebaikan Bagas yang tidak terkira. “Terimakasih banyak Mas.” “Iya, dari tadi kamu terimakasih terus.” Keduanya sama-sama terkekeh pelan dan saling berpandangan untuk beberapa saat. Baik Kalinda atau Bagas sama-sama merasakan debaran jantung yang tidak beraturan saat saling berpandangan. “Kalinda, jangan takut lagi saya tidak akan pernah mengakiti kamu.” “Aku percaya kamu memang orang baik, Mas. Setelah aku sembuh aku janji tidak akan merepotkan Mas Bagas lagi, aku akan memulai hidup baru sendiri jika memang keluargaku tidak menerimaku lagi.” Bagas tersenyum dan refleks menggenggam satu tangan Kalinda. “Jangan khawatir, kita juga kelurga kamu Kalinda.” Kalinda tidak marah atau menyingkirkan tangan Bagas, dia memang terlihat terkejut tapi dia berusaha tenang dan melawan rasa yang ada di dalam tubuhnya. “Mas Bagas katanya punya dua toko roti, apa aku boleh bantu-bantu disana?” “Boleh kok, tapi sembuh dulu ya.” Kalinda mengangguk layaknya anak kecil yang di tawari mainan. Matanya tampak berbinar cerah dan senyumnya mengembang. “Aku suka memasak, suka bikin kue juga kalau di rumah.” “Oh ya? boleh dong kapan-kapan kamu masak buat kita.” “Aku pengen, tapi ini rumah kamu aku nggak boleh sembarangan pakai peralatan dapur kamu.” “Kalinda, kamu memang sudah seharusnya memperbanyak kegiatan biar pikiran kamu semakin terbuka dan semangat hidup kamu kembali jika hanya di kamar yang kamu temui hanya pikiran-pikiran buruk yang mengganggu, berbeda kalau kamu punya banyak aktifitas.” “Kalau begitu besok aku boleh pakai dapurnya buat masak?” Bagas tak menyangka ternyata Kalinda seasik ini jika diajak ngobrol. Dia pikir Kalinda orang yang dingin dan tidak memiliki ekspresi. “Boleh bangeg, silahkan lakukan apapun gang kamu inginkan Kalinda.” Kalinda menepuk tangannya kehidangan setelah itu dia terliht muali memilirkan sesuatu. “Kalau begitu saya ke kamar dulu, besok pagi-pagi saya harus bangun. Kei, kakak ke kamar dulu.” Kalinda berpmitan pda Kaila yang sudah ketiduran di pangkuan ayahnya. Setelah Kalinda pergi senyum Bagas terus merkah bahkan tidak luntur sama sekali entah mengapa hatinya merasa sangat bahagia Kalinda besok mau memasak untuknya. Rasanya Bagas sampai tidak sabar menunggu besok pagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN