SEPULUH

1508 Kata
Kalinda membuka jendela kamarnya dan menikmati udara segar pagi ini. Rasanya sangat nyaman, semenjak dia bertemu dengan dokter Isabella yang sangat baik hati dan mengerti dirinya Kalinda merasa hidupnya tertolong dan semangat hidupnya kembali. Entah balasan apa yang pantas untuk Bagas, Ibu Daris dan juga dokter Isabella, kepedulian mereka bahkan melebihi saudara sendiri. Kalinda baru ingat jika semalam dia menjanjikan masakan pada Bagas, setelah memakai jilbab dia bergegas keluar kamar menuju dapur yang masih sepi karena jam dinding baru menunjukkan pukul lima sedangkan bi Narti mulai bekerja pada pukul setengah enam. Hari ini kali pertamanya kalinda menginjak dapur bahkan memiliki pikiran untuk memasak, sebelumnya yang ada di kepalanya hanya bagaimana cari mengakhiri hidup. Dulunya, dia selalu dipercaya oleh ibunya untuk memasak bahkan sang ayah selalu memuji setiap olahan yang dia buat. Sekarang semua tinggal kenangan, keluarganya yang hangan dan harmonis kini tidak lagi mau menerimanya gara-gara fitnah jahat dari pria itu dan beberapa pengikutnya. Sampai mati Kalinda tidak akan pernah bisa lupa dengan wajah-wajah angkuh dan penuh kesombongan itu. Jika dia tidak bisa membalas perbuatannya, Sang Maha Kuasa pasti akan membalas semua dosa-dosa yang mereka perbuat dengan cara yang lebih kejam. Saking kesalnya Kalinda sampai mencengkeram kuat pisau dan mengiris asal kentang sampai tak berbentuk. “Astagfirullahaladzim, astagfirullahaladzim.” Kalinda berusaha menenangkan dirinya karena dia harus menyelesaikan janjinya untuk membuat masakan lezat untuk Bagas dan Keila. Khusus untuk Keila dia akan memasak chicken pok-pok karena adik bungsunya yang seumuran dengan Keila sangat suka dengan menu satu itu, dia harap Keila suka seperti adiknya. Kentang yang tadi dia hancurkan di buang ke sampah sedangkan dia memotong kentang yang baru beserta sayuran lainnya untuk pelengkap sup daging. Sambil bekerja Kalinda melantunkan sholawat kecil, dan tiba-tiba dia flashback ke masa-masa dia masih tinggal dengan kelurganya yang hangat dan harus membantu ibunya membuat sarapan sebelum bekerja di pabrik yang tidak jauh dari rumahnya. Selepas subuh rumahnya pasti sudah ramai, adiknya menonton televisi ditemani ayah, jika sedang berkunjung kakaknya pasti sibuk mengasuh anaknya, sedangkan dia bertugas di dapur bersama ibu. Sangat berbeda dengan rumah Bagas, sudah hampir setengah enam rumah masih sangat sepi meski dia tahu di dalam kamar mereka sudah terjaga. Bibi yang baru saja masuk ke dalam dapur terkejut melihat Kalinda yang sudah hampir menyelesaikan masakannya. Bibi yang selama ini melihat Kalinda hanya diam dan murung merasa sangat heran pagi ini dia berada di dapur. “Non Kalinda?” “Maaf ya Bi dapurnya aku pakai duluan.” Bibi masih menatap Kalinda penuh keheranan bahkan jika dia membawa ponsel mungkin moment kali ini akan dia abadikan. “Bibi beres-beres rumah aja biar saya yang siapin sarapan.” “Baik Non, kalau butuh sesuatu langsung panggil bibi ya.” Setelah bibi keluar Kalinda kembali melanjutkan pekerjaannya, sup daging yang masih mengepul sudah dia sajikan di mangkuk bening, kerupuk udang yang sudah ditiriskan dipindah ke dalam toples. Semuanya hampir selesai tapi tiba-tiba dia merasa sangat pusing dan perutnya seperti di aduk hebat. Kalinda menahan tubuhnya yang hampir limbung sambil berpegangan pada meja. Rasa itu muncul tiba-tiba dan sangat menyiksa. Ketika dia akan berlari ke kamar mandi tangannya tidak sengaja menyenggol gelas bekas dia minum sampai jatuh dan pecah. Bibi tergopoh-gopoh masuk ke dalam dapur dan menahan tubuhnya yang hampir menyentuh lantai. “Non Kalinda kenapa?!” Bibi berteriak panik karena wajah kalinda sangat pucat. Karena perutnya semakin terasa diaduk Kalinda bangkit dan berjalan dengan hati-hati menuju toilet dan berusaha memuntahkan isi perutnya. Namun sia-sia saja perutnya dari semalam sudah kosong jadi hanya caira yang bisa dia keluarkan. Tak lama kemudian dia mendengar suara Bagas dari arah luar pria itu mengetuk pintu toilet terlebih dulu meski pintu itu tidak tertutup, baru lah dia masuk dan memijat tengkuknya. “Kalinda kamu masuk angin?” Kalinda menggeleng pelan, tubuhnya terasa sangat lemas bahkan hampir terjatuh ketika berusaha untuk berdiri. Bagas meminta izin untuk membantunya berjalan dan tidak ada pilihan lain selain menerima bantuan dari Bagas. Bibi langsung mengoleskan minyak kayu putih di titik tertentu dan memberikan air hangat untuk Kalinda. “Bi tolong selesaikan masakannya ya, maaf sudah merepotkan.” Bibi menyerahkan minya kayu putih kepada Bagas yang masih terlihag panik. Ketika dia sedang beberes di kamar tiba-tiba bibi berteriak heboh. “Kalinda, saya izin pijitin kamu boleh?” “Maaf sudah merepotkan.” Bagas menggeleng sambil tersenyum tipis, tangannya mulai menyentuh pundak Kalinda dan memijatnya dengan lembut sampai Kalinda merasa tubuhnya lebih ringan. “Kamu mungkin masuk angin Kalinda, kalau pengen masak nggak usah terlalu pagi juga tidak apa-apa.” “Aku terlalu bersemangat soalnya sudah lama nggak masak.” Kalinda mengatakan yang sebenarnya, dia memang terlalu bersemangat untuk memasak dan memberikan hidangan yang lezat untuk Bagas dan Keila. “Gimana sekarang, masih pusing atau mual?” “Sudah lebih baik.” “Kalau begitu saya ke kamar dulu bangunin Keila dan bantu dia siap-siap. Setelah Bagas pergi Kalinda kembali masuk ke dalam dapur untuk melihat kelanjutan masakannya. Ternyata sudah siap di hidangkan di meja kerja bibi sangat cepat. “Non Kalinda istirahat saja nanti kalau sudah waktunya makan malam saya panggil.” “Maaf ya bi jadi ngerepotin.” “Sama sekali enggak non, saya malah sangat terbantu, ayo saya antar ke kamar.” Kalinda menolak karena dia masih merasa mampu jika hanya berjalan menuju kamarnya yang tidak jauh dari dapur. Ketika dia melewati kamar utama dia mendengar suara Keila merengek dan kebetulan pintu kamar setengah di buka. Kalinda setengah berhenti dan mengintip situasi di dalam kamar, disana Bagas sedang membujuk Keila untuk bangun sedangkan yang di bujuk semakin manja dan tidak ingin bangun. Untuk menjaga sopan santunnya Kalinda mengetuk pintu dan izin untuk masuk kepada sang pemilik kamar, barulah setelah diizinkan perlahan dia masuk dan mendekati keduanya. “Kei, kamu kenapa pagi-pagi kok sudah merengek.” Kelinda tetap berdiri untuk menjaga jarak dengan Bagas rasanya tidak pantas kalau dia ikut duduk di ranjang bersama keduanya. “Kei masih ngentuk nggak mau mandi dan sekolah.” “Nanti kalau kamu sudah mandi ngantuknya hilang, ayo mandi sama kakak.” “Kalinda jangan repot-repot lebih baik kamu istirahat, badan kamu juga lagi nggak sehat kan.” “Sudah lebih baik Mas Bagas, nggak apa-apa.” Dia kembali membujuk Keila agar mau mandi dan tidak rewel lagi. Dan pada akhirnya Keila menurut ketika dia ajak ke kamar mandi. Seperti anak-anak pada umumnya, setelah masuk ke kamar mandi dia kembali ceria bahkan rasa ngantuk yang tadinya sangat luar biasa langsung hilang seketika. “Kakak, besok temenin Keila mandi lagi ya.” “Kalau Keila malas-malasan bangun terus merengek seperti tadi kakak nggak mau.” Keila dengan cepat menggeleng. “Enggak kak, Keila nggak gitu lagi.” “Janji ya nggak gitu lagi kasian Papa kamu kalau setiap pagi kamu merengek gitu.” Kalinda meraih seragam sekolah yang sudah Bagas siapkan di atas ranjang. Ketika dia keluar dari kamar mandi Bagas sudah tidak ada di kamar jadi dia tidak perlu sungkan untuk melakukan apapun di kamar ini. “Kenapa kakak nggak jadi mama aja? Keila kan nggak punya Mama.” “Kei ….” Keila meringis dan menunjukkan gigi susunya yang putih. “Teman-teman Keila semua punya Mama.” Kalinda merasa kasihan pada Keila sejak kecil belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, dan sangat wajar jika saat ini sangat ingin merasakan kasih sayang itu. “Minggu depan Keila dan teman-teman mau tampil di sekolah terus Papa sama Mamanya harus datang, kakak datang ya sama papa biar Keila punya Papa dan Mama kayak teman Keila yang lain.” Hati Kalinda langsung terasa sesak gadis kecil ini sepertinya sangat menginginkan seorang ibu tapi sampai sekarang kelihtannya Bagas belum berniat mencarikan ibu sambung untuk putrinya. “Nanti biar Keila yang bilang ke Papa.” “Kalau kakak datang Keila harus tampil sebaik mungkin ya.” “Pasti dong, tapi kakak harus datang ya.” “Iya sayang.” Keduanya berpelukan erat baik Keila atau Kalinda keduanya sama-sama terlihat nyaman dan bahagia. “Sini, kakak bantu pakai sepatu ya.” Kalinda berlutut dan membantu Keila memasang sepatu putih yang bercorak kartun lucu. Setelah itu dia mengajak Keila keluar kamar untuk sarapan. “Papa kamu dimana?” Tanya Kalinda yang tidak menemukan Bagas di manapun. “Kei nggak tau.” “Tunggu disini dulu ya, kakak cari papa kamu dulu abis ini sarapan.” Kalinda berjalan menuju teras ternyata pria yang dia cari-cari sedang duduk santai disana sambil merokok dan ngopi. “Mas, ayo sarapan Keila udah nunggu di meja makan.” Bagas mematikan rokoknya dan menutup gelas kopiny sebelum masuk rumah bersama Kalinda. Tiba-tiba perasaan hangat itu muncul, pagi ini rasanya berbeda dengan pagi yang lain. Pagi ini Kalinda sangat berbeda, dia bertindak layaknya sebagai istri dan ibu di rumah ini. Dengan tangannya sendiri dia menyiapkan makan untuk Bagas dan Keila, bahkan dia juga menyuapi Keila yang tiba-tiba manja. “Masakanmu enak banget.” Kalinda tersipu mendengar pujian itu. “Kalau suka besok aku masakin lagi.” “Kalau tidak merepotkan saya sangat senang.” Pagi ini mereka lalui dengan bahagia, tidak hanya Keila tetapi Bagas juga merasakan hal yang sama bahagia ketika ada yang membantunya mengurus Keila bahkan menyiapkan masakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN