“Ayo kakak ikut aja biar tau sekolah, Kei,” ucap Gadis kecil yang sudah sangat siap berangkat ke sekolah.
Kalinda ingin ikut tapi tubuhnya masih terasa lemas dan ingin sekali rebahan.
“Ayo kak.” Keila bahkan sampai memohon dan memgangi tangan Kalinda.
“Kei, kakak lagi sakit jangan dipaksa lihat wajahnya sangat pucat.” Bagas yang baru saja mengambil kunci mobil langsung menegur putrinya yang tampak memaksa.
Seketika wajah Keila langsung murung dan itu membuat Kalinda tidak tega. “Nggak apa-apa Mas Bagas kalau memang Keila ingin saya ikut.”
“Yeay, kapan-kapan kalau Papa nggak bisa jemput, kakak jemput aku ya kan sudah tau sekolah aku dimana.”
“Kalinda, kamu lagi nggak sehat jangan dipaksain,” ucap Bagas dengan suara pelan.
“Nggak apa-apa, kan cuma duduk.”
Keila yang biasanya hanya diam sambil mengamati jalanan yang rami pagi ini banyak mengoceh dan ikut menyanyi ketika musik anak-anak sengaja Bagas putar. Sebagai orang tua Bagas tahu betul perubahan Keila, bahagianya benar-benar terlihat sempurna bahkan senyumannya terlihat sangat murni.
Kehadiran Kalinda membawa perubahn sangat besar pada putrinya dan Bagas takut jika suatu saat ketika Kalinda sudah merasa lebih kuat dan sehat secara mental dan fisik dia memutuskan untuk pergi dari rumahnya bagaimana perasaan Keila yang sudah terlanjur jatuh hari pada Kalinda.
“Papa besok ajak kakak main ke toko biar Kei bisa pamer kalau punya kakak baru.”
Bagas langsung menoleh ke arah putrinya, rasanya sangat tidak pantas jika Kalinda dianggap sebagai kakaknya karena umur gadis itu sudah cukup dewasa dan lebih cocok untuk dipanggil tante.
“Harusnya kamu manggil tante bukan kakak,” ucap Bagas setengah menggerutu karena panggilan kakak untuk Kalinda sangat tidak nyaman di indra pendengarannya.
“Aku lebih suka Keila panggil saya kakak karena setiap panggilan yang keluar mengingatkan saya pada adik perempuan saya di rumah.” Kalinda mengusap puncak kepala Keila yang saat ini duduk di pangkuannya.
“Tapi aneh saja kalau panggil kamu kakak.”
“Yasudah panggil Mama aja kalau begitu Keila kan nggak punya Mama,” sahut Keila yang langsung membuat Bagas dan Kalinda salah tingkah seketika.
“Boleh kan kak aku panggil Mama?” tanya Keila lagi karena Kalinda atau Bagas sama saling diam dalam waktu cukup lama saking canggungnya.
“Kei, jangan aneh-aneh gitu,” ucap Bagas sambil menoleh ke arah Kalinda dan Keila sekilas. Sebenarnya dia juga ingin melihat ekspresi Kalinda saat ini sama seperti dirinya atau tidak.
Ternyata sama saja, Kalinda masih terlihat salah tingkah dan bingung merspon dengan apa.
Untungnya sekolah Keila sudah sangat dekat dan mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang terbuka lebar.
Kalinda ikut turun dan membawakan tas milik Keila layaknya seorang ibu yang akan mengantarkan putrinya ke sekolah.
“Kalinda, kamu tunggu saja di mobil wajah kamu pucat banget tuh.”
Kalinda menggeleng karena dia masih merasa kuat jika hanya mengantar Keila ke dalam. “Saya tidak apa-apa.”
Karena Bagas tidak bisa memaksa akhirnya dia membiarkan Kalinda mengantar Keila sampai dalam. Bahkan keduanya saling bergandengan tangan akrab ketika masuk ke dalam area sekolah.
“Kei, belajar yang rajin harus nurut sama ibu guru dan nggak boleh cengeng.”
“Iya Kak, makasih ya sudah mau antar Kei.”
“Sama-sama sayang, besok kakak antar lagi ya.”
Klinda berpamitan dan melambaikan tangannya pada Keila yang masih berdiri didepan kelasnya.
Bagas masih menunggu di depan mobil dan langsung masuk ketika Kalinda sudah terlihat. Mereka melanjutkan perjalanan dengan obrolan ringan karena keduanya sama-sama bingung ingin membicarakan apa.
“Kalinda, mau sekalian ke dokter?”
“Tidak perlu repot-repot mas, saya sudah tidak apa-apa.”
“Tapi kamu masih pucat banget.”
Kalinda hanya merasa tubuhnya lemas saja sedangkan mual dan pusing yang tadi ya dia rasakan sudah hilang setelah dia istirahat sejenak dan minum air hangat.
“Serius aku sudah nggak mual lagi, Mas.”
“Kalau begitu mampir ke toko sebentar ya, ada pesanan kue yang belum saya sampaikan pada anak-anak.”
Kalinda sama sekali tidak merasa keberatan, sekalian dia juga ingin melihat bisnis Bagas yang terkenal itu.
Sesampainya di sana semua pandangan langsung tertuju padanya yang ikut masuk ke dalam dan berjalan bersampingan dengan Bagas yang tampak tinggi gagah sedangkan dia terlihat sangat mungil.
“Kalinda kamu mau tunggu di ruangan saya atau disini sekalian lihat-lihat?”
“Disini saja, Mas, nggak apa-apa.”
Bagas mengangguk dan menunggalkan Kalinda sendiri menuju dapur produksi yang berada di belakang. Sedangkan beberapa pagawai lain tampak membersihkan etalase dan meja untuk pembeli.
Kalinda tidak menyangka ternyata toko roti milik Bagas cukup besar hampir melebihi kafe, bahkan konsep yang dia pakai juga sangat menarik.
“Hai, mbak, ini saya bawakan teh hangat dan muffin andalan kami silahkan dinikmati.”
Kalinda langsung mendongak dan mengucapkan banyak terumakasih pada perempuan muda di hadapannya. “Terimakasih banyak.”
“Silahkan dinikmati, saya permisi dulu.”
Kalinda mengangguk pada gadis yang menggunakan baju seragam toko roti ini. Seragam berwarna hitam dengn apron cokelat dengan tulisan Daily Bakery nama toko roti ini.
Kalinda menyeruput teh hangat terlebih dulu untuk menenangkan perutnya yang lagi-lagi terasa bergejolak padahal dia ingin sekali merasakan muffin yang tampak sangat menarik.
Setelah beberapa gigitan rasa mualnya sama sekali tidak bisa di tahan, Kalinda langsung berlari mencari toilet dan memutahkan semua yang sudah masuk ke dalam perutnya termasuk sarapan pagi tadi. Setelah semua keluar dan berhasil dia bersihkan Kalinda lemas seketika, dia memegangi pertunya yang terasa melilit
Terdengar gedoran pintu dari luar kamar mandi dan dia yakin suara itu berasa dari Bagas karena saat dia berlari menuju toilet pria itu melihat. Setelah tubuhnya merasa kuat berdiri dia membuka pintu toilet dan langsung melihat raut wajah panik Bagas.
Pria itu langsung memapahnya menuju sofa panjang dan menyuruhnya untuk berbaring karena tubuhnya semakin lemas dan pucat. “Sebentar Kalinda pegawai saya sedang mengambilkan minyak untuk kamu.”
“Mas Bagas ini minyak kayu putihnya.”
“Ya, tolong bantu Kalinda ya.” Bagas tidak mungkin berani menyentuh Kalinda jadi dia menyuruh pegawainya untuk membantu.
“Kalinda, kamu sama Tira dulu saya lanjutin kerjaan sebentar saja.”
Kalinda mengangguk dan merasa sungkan karena jadi merepotkan Bagas.
Perempuan yang menemenainya itu terlihat banyak bicara dan banyak tanya saking banyaknya Kalinda sampai tidak bisa menyimak atau menjawab.
“Mbak, saudaranya Mas Bagas ya?”
Kalinda hanya menjawab dengan gelengan karena dia dan Bagas memang tidak memiliki hubungan kekeluargaan sebelumnya.
Setelah mendapati gelengan dari Kalinda wanita yang dia ketahui bernama Tira tampak tegang dan wajahnya langsung menunjukkan kalau dia tidak terima.
“Wah, orang spesial Mas Bagas ternyata.”
Kalinda tidak bisa menanggapi gadis itu karena energinya sudah terkuras habis dan pada akhirnya Kalinda hanya diam tanpa respon.
“Baru kali ini loh mbak, mas Bagas bawa wanita setelah sekian lama jadi single daddy pokoknya Mbak Kalinda sangat beruntung.”
Gadis itu terus-terusan bicara lasahal dia sama sekali tidak pernah menanggapi ucapannya. Untung saja tak lama kemudian Bagas datang dan langsung mengajaknya pulang.
Karena yang dia butuhkan saat ini hanya ranjang dan suasana yang nyaman jadi dia menolak ketika Bagas terus memaksanya ke dokter. Dia sudah banyak merepotkan Bagas selama dia menumpang di rumahnya.
Bagas pun juga tidak memaksa karena takut Kalinda akan lepas kendali lagi. Sesampainya di rumah ternyata ibunya sudah pulang dari rumahnya yang ada di Bandung.
Wanita paruh baya itu tampak terkejut melihat Bagas membawa Kalinda dari luar rumah karena terakhir dia melihat Kalinda gadis itu masih suka menyendiri dan tidak mau keluar kamar.
“Bagas ada apa ini?”
“Kalinda sedang tidak sehat, sebentar Ma aku antar dia ke kamarnya.”
Setelah memastikan Kalinda aman Bagas kelur dari dalam kamarnya untuk menemui sang ibu yang terlihat sangag menanti penjelasannya.
“Tadi Keila maksa Kalinda buat ikut mengantarnya ke sekolah terus aku ajak mampir sebentar ke toko.”
“Bagaimana bisa dia melakukan itu, Gas? bukannya dia sekarang anti sosial?”
“Semenjak kehadiran Isabella dia banyak berubah, dia berusaha melawan ketakutannya dan belajar untuk tidak takut dengan lingkungan luar lagi.”
Daris memasang senyum terbaiknya, rasanya dia ikut senang mendengar kabar ini. “Ternyta Mama lama juga di Bandung.”
“Lama sekali untungnya Keila nggak rewel sama sekali selama Mama nggak ada.”
“Iya kah? dia nggak suka merengek lagi?”
“Sesekali pernah tapi dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan Kalinda.”
“Oh iya Gas, lusa Mama kebagian menjadi tuan rumah untuk arisan keluarga besar kalau sementara Kalinda di sembunyikan bagaimana?”
Bagas langsung menunjukkan ekspresi tidak setuju karena Kalinda bukan hal yang harus disembunyikan. Setidaknya dia bisa mengakui Kali da sebagai saudara jauhnya.
“Gas, kelurga kita banyak yang tinggal di daerah tempat tinggal Kalinda kalau salah satu dari mereka tau kasus Kalinda kita harus jawab apa?”
Bagas juga baru ingat rumah mendiang istrinya satu daerah dengan tempat tinggal Kalinda dan dalam acara ini pasti Mamanya ikut serta mengundang keluarga mendiang istrinya yang masih berhubungan baik dengannya.
“Yasudah, besok aku akan bicara baik-baik dengan Kali da aku yakin dia pasti mengerti.”
Daris mengangguk dan tersenyum cerah, Bagas memang anak baik dan selalu menuruti apa keinginan ibunya.
“Dari pagi Kalinda mutah terus, mau aku bawa ke dokter dia nggak mau.”
“Sejak kapn dia seperti itu?”
“Baru tadi pagi sih.”
“Kok perasaan Mama jadi nggak enak ya.”
“Kenapa Ma?”
“Bagas, dia wanita subur jika ada yang menanam bibit pasti akan tumbuh buah dalam rahimnya.”
Tubuh Bagas langsung menegang seketika karena ucapan Mamanya seragus persen benar. Tidak menutup kemungkinan bahwa saat ini Kalinda sedang mengandung anak dari pria jahat yang sudah menghancurkan hidupnya.
Bagas juga tidak bisa berfikir bagaimana stresnya Kalinda jika dia tau tentang kondisinya.