Selama acara Bagas sama sekali tidak bisa tenang, pikirannya terus tertuju pada Kalinda yang berada di dalam kamar dan mengunci dirinya sendiri di sana.
Rumahnya sangat ramai karena keluarganya cukup banyak terlebih keluarga mendiang istrinya ikut datang.
Satu persatu wajah sudah dia absen dan dia menemukan ‘dia’, dia yang telah menghancurkan hidup Kalinda. Namun, untuk saat ini Bagas hanya bisa mengamatinya dari jauh bila waktunya sudah tiba Bagas akan menyusun rencana besar agar orang itu menyesali perbuatannya dan mengaku kepada dunia kelakuan b***t apa yang sudah dia lakukan.
Selama ibu Bagas mengenal pria itu dengan sangat baik bahkan dia juga memiliki kepribadian yang sangat baik, cinta istri dan juga tidak memiliki tampang penjahat.
Setelah mencari info dari tempat kerja Kalinda beberapa bukti menunjukkan bahwa pria itu yang sudah merenggut paksa kesucian Kalinda dan memutarbalikkan fakta seolah-olah kalinda lah gadis nakal yang berani menggoda atasannya.
Meski bukti belum benar-benar valid tapi Bagas percaya dengan pernyataan jika pria itu yang memutar balikkan fakta.
“Bagas, kamu kok menyindiri saja.”
Wanita setengah baya yang tak lain dan tak bukan adalah ibu mertuanya dulu duduk di sampingnya. Wajahnya sangat teduh mirip dengan mendiang istrinya.
“Iya, bu, tadinya sih sama Mas Ardin terus anaknya rewel.”
“Bagas, mau sampai kapan kamu akan hidup seperti ini? Karina sudah lama pergi, Keila membutuhkan ibu dan kamu juga membutuhkan partner hidup dan partner untuk mengasuh Keila.”
Selalu seperti ini jika dia bertemu dengab mertuanya. Dia selalu memberinya wajengan untuk segera mengakhiri masa dudanya dan hidup bahagia dengan wanita pilihannya sendiri.
“Apa kamu nggak kesepian? sudah lima tahun berlalu Bagas.”
Bagas menggenggam tangan wanita yang sudah mulai keriput termakan usia. “Ibu, jika sudah waktunya aku akan memperkenalkan wanita itu pada Ibu. Sabar ya bu, menemukan yang tepat memang membutuhkan waktu yang lama.”
“Karina sangat beruntung sekali memiliki suami seperti kamu, andai pertemuan kalian lebih tepat mungkin sekarang kalian sudah hidup bahagia.”
“Semua sudah berlalu, bu.”
“Maafkan Karina, ya.”
Bagas menggeleng pelan lalu merengkuh tubuh mertuanya yang tampak semakin kurus. “Sudah bu, jangan diingat yang buruk-buruk ya.”
Setelah pelukan mereka berakhir Bagas masih melihat sorot kesedihan itu. “Ibu jangan sedih lagi, Karina sudah hidup tenang di alam sana.”
“Iya, kamu benar Bagas.”
Setelah lanjut mengobrol selama beberapa saat Heni berpamitan pada Bagas ingin menemui kerabat yang lain.
Yang bisa Bagas lakukan di tempatnya saat ini hanya diam sambil mengamati kegiatan orang-orang termasuk putrinya yang tampak sangt murung meski banyak teman sebaya-nya.
Keila tampak tidak terima ketika neneknya mengatakan bahwa Kalinda tidak boleh hadir dalam acara ini dan Keila juga dilarang menyebut nama Kalinda kepada siapapun.
Karena tidak tahan lagi terus-terusan memikirkan Kalinda akhirnya Bagas menghampiri kamar Kalinda secara diam-diam. Untungnya ruang tengah tampak sepi karena para tamu rata-rata berada di ruang tamu dan teras.
Setelah mengetuk pintu beberapa kali akhirnya pintu kamar terbuka sedikit karena Kalinda terliht sangat ketakutan.
Bagas datang tidak dengan tangan kosong, dia membawa makanan dan kue karena dari siang sampai sekarang pukul delapan malam Kalinda belum makan sama sekali.
“Mas Bagas kenala kesini sih?”
“Saya nggak bisa tenang, takut terjadi sesuatu sama kamu disini.”
Saya baik-baik saja, nggak apa-apa kok saya di kamar sampai besok.
“Sekarang kamu makan dulu dari siang kamu sama sekali belum makan apapun, saya tetap disini sampai makanan itu habis.”
Kalinda tersenyum tipis melihat tingkah Bagas yang memperlakukannya seperti Keila. “Aku bukan Keila yang suka buang makanan kalau lagi malas makan,” ucapnya setengh bergurau.
“Ya siapa tahu aja begitu, udah buruan di habisin setelah itu obatnya di minum dan tidur.”
Kalinda menurut, dia makan dengan tenang dan tanpa suara sedikitpun sampai satu porsi makan malam yang Bagas bawa habis dalam waktu kurang dari lima belas menit. Setelah makan Kalinda langsung mengambil obat-obatan yang rutin dia konsumsi.
“Bagus Kalinda,” ucap Bagas ketika Kalinda sudah menyelesaikan semua kewajibannya termasuk mengkonsumsi obat dari dokternya.
“Mas, aku mau tanya sesuatu boleh?”
“Silahkan sebelum saya keluar.”
“Dulu, waktu Mas Bagas menemukan saya apa Mas Bagas menemukan ponsel saya juga?”
“Ada Kalinda saya masih menyimpan ponsel itu apa kamu membutuhkan?”
“Saya sebenarnya tidak terlalu butuh karena ponsel bisa semakin merusak pikiran saya, tapi saya butuh nomor hape budhe saya yang ada di kampung rencanany setelah ini saya akan pergi kesana saja.”
“Password ponsel kamu apa biar saya bisa buka.”
Kalinda menunjukkan pasword ponselnya dan meminta tolong pada Bagas untuk menghubungi budhe-nya.
Bagas juga tidak biaa menahan jika akhirnya Kalinda ingin pergi lebih cepat dari rumahnya. “Jangan pernah lupakan Keila, Mama, dan saya kalau kamu sudah memutuskan buat pergi dari rumah ini.”
“Bagaimana bisa aku melupakan orang-orang baik seperti kalian? tidak akan Mas, saya tidak akan pernah melupakan kalian.”
“Oh iya Kalinda, waktu itu kamu pernah meminta saya mengantarkan kamu melihat rumah orang tua kamu tapi saya malah lupa.”
Kalinda menggeleng lalu menunduk menyembunyikan ekspresi kesedihannya. “Tidak jadi mas, saya akan hancur kembali ketika melihat daerah itu khususnya rumah saya lebih baik saya pergi ke tempat jauh dan melupakan semuanya.”
“Kamu mau kemana? apa sudah difikirkan matang-matang?”
“Ke rumah budhe di kampung, disana lebih aman dan aku bisa memulai hidup baru.”
“Kalau itu sudah menjadi keputusanmu saya tidak melarang meski sebenarnya kamu masih boleh banget tinggal lebih lama di rumah saya.” Bagas berusaha menahan Kalinda untuk putrinya yang sudah terlanjur sayang kepdanya, dia takut Keila akan sangat sedih kehilangan Kalinda.
“Saya sudah banhak merepotkan, Mas, rasanya juga nggak pantas saya terus-terusan mumpang di rumah orang.”
“Jadi, kapan kamu berangkat biar saya bisa mengosongkan jadwal dan mengantar kamu.”’
“Setelah saya bisa menghubungi budhe.”
Setelah dirasa cukup Bagas pamit untuk keluar kamar sebelun dia dicari semua orang. Dan betapa kagetnya dia ketika kelur dari kamar Kalinda ada saudaranya yang melihat.
“Ternyata sembunyi dinkamar to, di depan lagi foto-foto itu loh.”
“Iya Mas Aji, ayo barengab saja.”
Agar tidak ada yang curiga Bagas langsung bergerak menuju rang tamu dan bergabung dengan yang lainnya. Satu keluarga berfoto untuk di posting dan juga untuk kenang-kenangan.
Setelah beberapa jepretan, Bagas dan saudara laki-lakinya yang lain memutuskan untuk mundur karena tidak telten mengikuti gaya perempuan yang rempong sendiri.
Keila yang terlihat sudah mengantuk menghampirinya dan berhambur ke dalan pelukannya.
“Papa kemana saja Keila cariin Papa.”
“Kebelakang sebentar sayang, kamu sudah ngantuk?” Bagas mengangkat tubuh Keila ke ata spangkuannya dan mengusap puncak kepalanya.
“Kamu nggak jadi ikut nenek?” tanga Bagas.
Keila menggeleng sambil memejamkan matanya. “Nanti kakak nggak ada temannya, Kei di rumah aja.”
Betapa sayangnya Keila pada Kalinda, bagaimana nanti jika Kalinda pergi dia pasti akan sangat sedih.
***