Bagas menggelengkan kepalanya ketika ibunya menyerbu dengan berbagai pertanyaan. Keluarga Kalinda menolak mentah-mentah kehadiran sang putri di kelurganya.
"Terus bagaimana dia setelah ini?" tanya ibunya lagi. Wajahnya yang keriput terlihat sangat mengkhawatirkan wanita itu.
"Mama mengizinkan kalau beberapa waktu dia disini dulu sampai pikirannya dan kondisinya bisa pulih setelah itu baru kita ajak ngobrol untuk menentukan tujuan dia setelah ini." Bagas sangat menghormati ibunya apalagi setelah isteinya tidak ada ibunya lah yang membantunya mengurus segala hal khususnya mengurus putrinya.
"Ini rumah kamu, Gas, semua keputusan ada di tangan kamu. Ibu sama sekali tidak keberatan karena dia butuh tempat untuk berlindung."
Bagas mengembuskan nafas berat sambil menyisir rambutnya yang mulai gondrong ke belakang. "Pikiranku ikut kacau, Ma, aku istirahat dulu kalau terjadi sesuatu sama Kalinda bangunin aku."
Saat Bagas hendak melangkahkan kaki lengannya di cakel oleh Daris yang masih menampakkan ekspresi cemas. "Keila nggak mau keluar dari kamar gadis itu."
"Loh kok dibiarin aja sih, Ma, kalau Kalinda tiba-tiba ngamuk bagaimana?" Sebelum ibunya melontarkan jawaban Bagas telebih dulu beranjak pergi menghampiri putrinya, meskipun dia yakin Kalinda tidak akan menyakiti Keila tapi kondisi mentalnya sedang kacau dan bisa saja meneriaki putrinya yang masih kecil dan tidak tahu apa-apa.
Bagas tidak langsung masuk, dia berhenti dan mengintip terlebih dahulu kondisi di dalam kamar takut kalau dia tiba-tiba masuk Kalinda akan terkejut dan bertingkah liar seperti di rumah sakit pagi tadi.
Kalinda terlihat tidur menyamping sambil menggenggam tangan Keila, sedangkan Keila terlihat sangat menjaga Kalinda dan mengusap kepalanya.
Melihat pemandangan itu membuat hati Bagas bergetar, putrinya benar-benar menganggap Kalinda sebagai ibunya dan jika sudah begini Bagas tidak berdaya lagi.
"Sejak kamu pergi hanya Keila yang dia terima di kamarnya, ketakutan yang ada di dalam tubuhnya seketika hilang ketika Keila menangis dan memeluk tubuhnya."
Bagas menoleh ke sampingnya, ibunya ikut melihat apa yang sedang dia lihat sekarang. "Bantu aku menjelaskan pada Keila kalau wanita itu bukan siapa-siapa, Ma."
"Untuk sekarang biarkan saja dulu, mereka berdua sedang saling membutuhkan."
Bagas rasa juga begitu tapi jika terus dibiarkan Keila akan kecewa jika mengetahui kenyataan yang sebenarnya. "Aku pengen ngobrol sama Keila sebentar, Ma. Tolong awasi Kalinda dulu ya."
"Jadi nama gadis itu Kalinda?"
Bagas mengangguk dan menunjukka kartu identitas yang masih dia bawa.
"Gadis yang cantik dan malang. Yasudah biar mama yang masuk kamu disini saja."
Bagas paham dan menunggu di lur kamar. Dia juga tidak ingin Kalinda lepas kendali lagi ketika bertemu dengannya, setelah ini dia akan menghubungi temannya yang berprofesi sebagai psikolog untuk membantu Kalinda pulih dan bisa menerima keadaannya.
"Ada apa, Papa?" Sura kecil dan khas itu langsung merebut perhatian Bagas. Keila keluar dengan raut wajah sumringah dan senyum yang tidak luntur dari bibirnya.
"Keila nggak kangen Papa? kita belum ngobrol loh."
Gadis lima tahun itu berhambur memeluk sang ayah yang sudah berlutut di hadapannya. "Keila nggak jadi marah soalnya sudah bawa Mama."
Bagas tersenyum kecut dan membawa putrinya menjauh dari kamarnyang ditempati Kalinda. Untuk saat ini dia membirkan dulu Keila menganggap Kalinda sebagai ibunya yang sudah meninggal.
"Nanti Papa ikut temenin Mama ya?"
"Sama Kei aja, setelah ini Papa mah ke toko sebentar." Bagas membuka pintu kamarnya dan membawa putrinya ke ranjang, dia ingin mengobrol sebentar sebelum tidur dan melakukan kesibukan yang lain.
Keila mengangguk dan terus mengembangkan senyumnya sampai Bagas keheranan melihat Keila seperti ini.
"Papa, kalau Mama sudah sembuh nanti jalan-jalan bertiga ya?"
Bagas tidak menjawab karena tidak mau memberi harapan besar untuk Keila. Disini Kalinda hanya sementara, setelah dia pulih dan bisa berfikir jernih wanit itu akan segera meninggalkan rumahnya dan Bagas tidak ingin moment itu membuat Keila terluka parah.
"Papa bobok sebentar ya, Keila jangan keluar kamar sebelum Papa bangun."
"Tapi Keila pengen sama Mama," ucapnya dengan suara sangat pelan tapi masih bisa Bagas dengar.
****
Di lain kamar Kalinda perlahan membuka kelopak matanya. Dia mengitarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang sangat sepi. Tiba-tiba perasaan takut itu muncul dan bayangan-bayangan mengerikkan tentang kejadian semalam kembali berputar di otaknya bagaikan kaset rusak.
Kalinda menyentuh rambutnya yang terbebas dari jilbab yang selalu dia pakai, karena tak kunjung menemukan apa yang dia cari perasaanya semakin gelisah dan takut kejadian paling mengerikkan yang dia alami terulang lagi.
"Kalinda, kamu cari apa?"
Kalinda terkejut ketika ada orang lain masuk ke dalam kamar yang dia tempati. Dia bergerak mundur dan menjauh dari wanita paruh baya yang berusaha mendektinya.
"Jangan takut, saya bukan orang jahat ayo sini." Daris duduk di pinggir ranjang dan mengulurkan tangannya untuk Kalinda yang masih memandang wajahnya lekat.
Meski terlihat ragu-ragu Kalinda ikut mengulurkan tangannya dan menggapai tangan Daris.
"Saya bawa makan untuk kamu."
Layaknya orang yang tidak bisa bicara, Kalinda hanya diam ketika Daris terus mengajaknya ngobrol sambil berusaha menyuapkan makan ke dalam mulutnya.
"Pria yang menolong kamu kemarin bukan orang jahat, dia anak saya namanya Bagas jadi kamu jangan takut ya."
Kalinda masih tetap dalam posisinya, diam dan mengunyah sangat pelan nasi yang masuk ke dalam mulutnya. Setelah satu suapan berhasil dia telan dia kembali mencari-cari jilbab yang harus menutupi mahkotanya. Dia terlihat tampak sangat kebingungan dan membuat Daris semakin bingung dengan tingkahnya.
"Nak, kamu sedang mencari apa?" Daris tetap berusaha bertanya meski tak ada respon sama sekali dari kalinda. Daris mulai berfikir keras dan menebak apa yang kalinda cari.
"Nak, tolong bicara biar saya bantu mencari."
Kalinda memandang Daris sesaat kemudian kembalk mencari-cari di area ranjang yabg sudah dia acak-acak. Sedangkan Dari, dia meletakkan piring yang berisi makanan dan mencoba mengambil tas milik Kalinda siapa tahu barang yang dia cari ada di sana.
Melihat tasnya Kalinda dengan cepat membongkar isinya dan menemukan jilbab instan berwarna navy dan tanpa berlama-lama langsung dipakai.
Daris tersenyum dan mengagumi Kalinda dalam hati. Dia muslimah yang taat seburuk apapun kondisinya dia tidak pernah melupakan jilbabnya. Namun, bagaimana bisa wanita sealim ini di setubuhi dengan paksa oleh seorang pria, dari penampilan dan perilakunya Kalinda terlihat tidak menggoda sama sekali dia terlihat polos dan anggun.
Daris tak habis pikir betapa bejatnya pria yang sudah melakukan hal sekeji itu pada Kalinda. "Kamu cantik sekali, Nak."
Kalinda tidak menjawab dan memilih menyembunyikan wajahnya.
"Yasudah, ayo lanjut makan dulu setelah ini kamu harus minum obat." Dengan sangat telaten Daris membantu Kalinda makan. Meski ritme kunyahannya sangat lambat Daris tetap bertahan sampai nasi yang dia bawa sisa setengah setelah itu hal terakhir yang dia lakukan adalah membantu Kalinda mengkonsumsi obat dari dokter.
"Jangan merasa takut disini, kita semua tidak akan berbuat jahat."
Kalinda kembali terdiam dan menunduk dalam mengembunyikan wajah cantiknya.
"Tenang, dan buat diri kamu nyaman sesuatu yang buruk pasti tidak akan terjadi lagi." Daris mengusap bahu Kalinda sebelum membiarkan dia sendiri di dalam kamar.
Setelah wanita paruh baya yang masih cukup cantik pada usianya yang sudah senja pergi, Kalinda kembali menangis dan mengacak-acak rambutnya yang sudah di tutupi oleh jilbab. Ingatan-ingatan buruk itu mulai bermunculan layaknya kaset rusak.
Rasanya sangat sakit dan Kalinda ingin menghapus semua ingatan itu dari kepalanha sekarang juga, tapi semua sia-sia karena dia tidak akan pernah bisa melakukan itu.
Kalinda kembali histeris dan berteriak, tangannya mencengkeram erat bed cover di bawahnya. Emosi yang berada dalam dirinya mendesak ingin segera di bebaskan.
Pintu kamar yang semula tertutup kini kembali terbuka, Daris dan Bagas masuk menghampiri Kalinda yang tidak baik-baik saja.
"Mama jangan mendekat!" Bagas menarik ibunya untuk menjauh dari Kalinda yang dikuasai emosi bahkan kekutannga bisa bertambah dua kali lipat.
"Dia kenapa, Gas? mama sudah kasih obat dia tadi."
"Tenang, Ma." Bagas duduk di samping Kalinda dan membuat wanita itu semakin histeris karena takut melihat sosok lelaki. Di matanya, sekarang semua lelaki dia anggap jahat tidak punya hati dan perasaan yang bisa melecehkan wanita manapun sesukanya.
"Setop, cukup Kalinda saya tidak seperti pria yang sudah menyakitimu." Bagas dengan tenang menahan semua amukan Kalinda. Meski wanita itu terus berontak bagas berusaha mendekap tubuhnya agar berhenti bergerak liar.
Tak lama kemudin Kalinda bisa lebih tenang dan tenaganya yang sebelumnya sangat kuat mulai melemah, kemungkinan efek obat yang dia konsumsi baru saja bereaksi.
"Disini kamu aman, tidak akan ada orang yang menyakitimu atau melecehkanmu lagi. Saya janji akan menjaga kamu sampai pulih." Entah sadar atau tidak secara tidak langsung Bagas menerima Kalinda di kehidupannya dan berjanji membantunya sampai sembuh.
Bagas membantu Kalinda kembali berbaring dan menutupi setengah tubuhny dengab selimut. "Kamu aman, jangan khawatir kita semua menjaga kamu."
Kalinda tidak menjawab karena matanya mulai meredup karena efek obat yang dia konsumsi sedangkan Daris melihat perlakuan putranya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Biar aku jaga dia disini, Ma."
"Kita harus ngobrol sebentar, Gas."
Bagas menuruti kemauan ibunya dan menyusul keluar kamar. "Ada apa, Ma?"
"Apa kamu tidak berlebihan? dia nggak ada hubungan darah dengan kita bahkan kamu menemukan dia di jalanan."
Bagas menggeleng, jika bukan dia siapa yang melindungi wanita malang itu bahkan kelurganya saja sudah tidak mau menerima dia.
"Kita bisa menyerahkan dia ke dinas sosial atau komunitas yang menampung wanita korban pelecehan, tidak perlu berlebihan sampai kamu berjanji mau merawat dia sampai pulih. Iya kalau dia bisa pulih dalam waktu satu atau dua minggu kalau lebih?"
Ada kilatan kecewa dalam mata Bagas sebelum dia menggenggam kedua tangan ibunya. "Apa Mama lupa apa yang dialami kak Sita sepuluh tahun lalu? kondisinya sama seperti Kalinda saat ini, bedanya kita sebagai keluarga masih mau menerima dia."
Raut kesedihan langsung menghiasi wajah Daris ketika Bagas kembali mengungkit tentang kejadian buruk keluarganya dimana anak perempuan satu-satunya di lecehkan oleh dua rekan kerjanya sampai membutnya trauma berat dan kemudin mengakhiri hidupnya sendiri. Sampai kapanpun kejadian itu akan terus tertancap kuat di benak mereka khsuusnya Daris.
"Kakak yang masih mendapat dukungan dari kelurga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, bagaimana Kalinda? tidak ada satupun orang yang mau menerima dia."
Daris terisak kecil, hatinya terasa sangat sakit ketika putranya kembali mengingatkan tentang Sita putri kesayangannya.
"Aku sama sekali tidak mengenal Kalinda tapi ada sesuatu yang mendorong aku agar menolong Kalinda."
"Sudah cukup, terserah kamu Bagas ini rumah kamu dan kamu berhak melakukan apapun disini." Daris langsung beranjak pergi meninggalkan Bagas sendiri dengan berbagai pikiran di keplanya.
Dia kembali menoleh ke kamar Kalinda sebelum berjalan keluar rumah untuk menemui ketua RT melaporkan jika di rumahnya ada tamu yang akan menginap lebih dari 24 jam bahkan satu minggu lebih. Bagas mengakui Kalinda sebagai saudaranya yang sedang sakit agar tidak ada protes dan kecurigaan dari lingkungannya karena statusnya yang duda.
Setelah melapor dari ketua RT setempat Bagas segera kembali ke rumahnya. Lagi-lagi putrinya menunggu Kalinda sambil mengusap kepalanya penuh sayang padahal baru hari ini mereka bertemu tapi Keila terlihat sangat menyayangi Kalinda yang bukan siapa-siapanya.
"Kei, ayo ikut Papa, tante sedang istirahat jangan di ganggu."
"Nggak mau, Kei mau nemenin Mama."
"Kei tolong dengerin Papa sekali lagi."
Keila menutup kedua telinganya, dia kembali tidak terima jika ayahny mengatakan jika wanita yang dia anggap sebagai "Mama" ternyata bukan Mamanya.
"Dia bukan Mama," ucap Bagas sangat pelan dan penuh keputus asaan. Dia merasa sangat gagal menjadi ayah ketika tidak bisa mencarikan ibu sambung untuk Keila karena keegoisannya. Sampai sekarang dia masih trauma, kejadian buruk yang menimpa istrinya dulu benar mengguncangnya meski rumah tangga mereka dulu tidak terlalu harmonis.
"Mama, Kei izin bobok disini ya." Keila membaringkan tubuhnya di samping Kalinda yang masih terlelap karena efek obat yang dia minum. Gadis kecil itu memeluk Kalinda sebisanya dan memperlakukan ia layaknya orang spesial.
"Papa ke toko aja nggak apa-apa, Keila nggak nakal sama Mama."
Tanpa banyak kata Bagas langsung berbalik arah meninggalkan putrinya. Hatinya sangat hancur setiap melihat putrinya menganggap perempuan yang dia bawa ke rumah sebagai Mamanya.
"Lihat putrimu, apa kamu tidak kasian melihat dia?"
"Aku belum siap, Ma."
"Tania sudah lama meninggal, kamu butuh sosok baru yang bisa mengurus kamu dan mengurus Keila, Gas. Tolong, jangan egois anak kamu butuh ibu."
Bagas tetap menggeleng, sampi sekarang dan sampai waktu yang tidak di tentukan dia tidak siap sebelum menemukan wanita yang benar-benar menerimanya dan memberikan cinta yang tulus untuk dirinya dan Keila.
"Mama akan mencarikan jodoh terbaik untuk kamu jika kamu sulit mencari."
"Sudah cukup Ma, tidak usah menjodoh-jodohkan. Aku trauma, aku takut kejadian itu kembali terulang lagi!"
Daris langsung mendekap tubuh putranya yang mulai menegang dan menyesali ucapannya.
"Jika aku sudah siap dan bertemu dengan wanita yang benar-benar menerima bagaimanapun kondisiku aku akan menikah, Mama jngan khawatir." Mood Bagas yang sudah buruk pergi begitu saja meninggalakn rumah dan akan kembali nanti dengan perasaan yang lebih baik.
****