"Baiklah, kalo Bapak berkenan, saya yang akan menikahi putri Bapak."
"Anda jangan main-main!"
"Saya tidak main-main."
"Putri saya lebih cocok menjadi putri Anda. Dan Anda ingin menikahinya?!" Ayah Dea yampak geram kepada Raka.
"Itu sebagai wujud tanggung jawab saya."
"Pernikahan bukan main-main. Bukan hanya masalah tanggung jawab!"
"Saya tahu dan paham akan hal itu. Tapi Anda mengatakan Anda takut jika tidak ada yang mau menikahi putri Anda." Ayah Dea tampak bimbang. "Saya memang memiliki anak laki-laki. Tapi saya tidak mungkin mengorbankan anak saya. Apalagi usianya baru 19 tahun. Belum siap berumah tangga."
"Apa Anda akan menyayangi putri saya nantinya? Apa Anda tidak akan menyiksa putri saya karena Anda terpaksa menikahi putri saya?"
"Saya bisa menjamin itu. Anda juga bisa tinggal di rumah saya, agar Anda bisa tetap dekat dengan putri Anda."
"Sebenarnya saya bingung. Selama ini saya sudah sangat bergantung padanya. Jika keadaannya seperti ini, saya harus bergantung pada siapa?" Ayah Dea menundukkan wajahnya. Kesedihan dan kebingungan jelas terpancar di wajahnya.
"Saya sudah bilang, Anda bisa tinggal di rumah saya. Saya yang akan membiayai seluruh kebutuhan Anda."
"Baiklah. Terima kasih Anda sudah mau bertanggung jawab." Raka mengangguk.
***
Raka minta izin untuk pulang kepada ayah Dea untuk membersihkan tubuhnya. Dan ia berjanji akan kembali ke rumah sakit.
"Papa yakin dengan keputusan Papa?" tanya Saka setelah Raka menjelaskan semuanya.
"Iya. Mau bagaimana lagi. Setidaknya sampai gadis itu bisa berjalan kembali. Setelah itu, dia bebas memilih jalannya."
"Apa harus menikahinya? Kita bisa menolongnya tanpa harus Papa menikahinya, Pa?"
"Papa hanya tidak ingin ayah gadis itu terlalu memikirkan putrinya. Beliau takut, jika anaknya tidak bisa berjalan lagi. Takut tidak ada yang mau menikahinya, sementara gadis itu menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin juga, beliau sungkan jika nantinya mendapat bantuan dari kita," jelas Raka yang diakhiri dengan embusan berat napasnya.
"Lagian, kok bisa sih Papa nabrak orang?"
"Gadis itu berlari menyebrang jalan tanpa melihat kanan kiri. Awalnya memang lampu merah. Pas lampu hijau, tiba-tiba dia muncul. Papa belum sempat mengerem."
"Berarti bukan murni kesalahan Papa dong, Pa?!"
"Iya, tapi Papa nggak mau memperpanjang. Papa murni mau menolongnya. Bagaimana ke depannya, kita lihat nanti. Semua papa serahkan kepada gadis itu."
"Hidup Papa kok gini amat ya, Pa," ejek Saka.
"Namanya juga hidup. Siapa yang tahu. Sebenarnya bisa saja Papa menikahkanmu dengan gadis itu-"
"Yee, nggak-nggak!"
"Dengerin dulu Papa ngomong. Papa nggak mau kamu bernasib seperti Papa. Makanya Papa ambil keputusan ini."
"Baguslah. Lagian aku udah punya pacar, kalopun putus aku masih punya si galak Naura."
"Bukannya kalian sahabatan?"
"Iya, Pa, tapi kalo nantinya aku berjodoh sama dia, aku nggak masalah."
"Pesan Papa, jangan kasih harapan ke perempuan kalo kamu tidak mencintainya. Jujur pada perasaanmu, jangan memaksakan. Karena itu tidak akan berakhir baik."
"Iya, Pa, Saka ngerti. Apa yang terjadi sama Papa dan Mama sudah cukup menjadi pelajaran buat Saka."
"Good Boy. Papa ke rumah sakit lagi ya, kalo kamu mau menginap di rumah Mama, silakan. Jangan lupa bilang ke Bik Asti biar tidak perlu menyiapkan makan malam. Karena Papa akan menginap di rumah sakit."
"Ok, Pa. Beres," jawab Saka sambil mengacungkan satu jempolnya.
**
Di rumah sakit, Dea sudah sadar. Ayahnya sudah menjelaskan semuanya. Di luar dugaan, Dea setuju untuk menikah dengan Raka. Yang tidak ayah Dea tahu, Dea sedang merasa putus asa karena jalinan cintanya yang harus kandas di saat dia sudah banyak merangkai harapan.
Harapan untuk menikah dengan Angga, pria yang sangat dicintainya. Ia juga tampak belum peduli dengan keadaan kakinya, yang dia pikirkan hanya bagaimana cara dia menyembuhkan luka hatinya.
Malam itu juga mereka menikah secara siri. Ada kyai yang menikahkan mereka. Ada ayah Dea sebagai wali nikah. Juga ada Saka dan sopir Raka yang tak lain adalah suami Bik Asti sebagai saksi nikahnya.
TBC.
***