Vhena dan Daniel telah sampai di sebuah perumahan yang terlihat asri, banyak pepohonan yang mengelilingi perumahan itu. Berhenti tepat di sebuah rumah yang tidak terlalu mewah, tetapi cukup nyaman untuk ditempati. Vhena dan Daniel turun dari mobil dan melihat sekitar rumah yang terlihat tua itu.
"Ayo," ajak Vhena sambil berlalu meninggalkan Daniel.
Bel pintu berbunyi, terdengar suara langkah kaki yang mendekati pintu lalu membuka pintu rumah itu lebar. Seorang pemuda tampan tersenyum saat melihat Vhena yang datang. Vhena juga terlihat terkejut lalu memeluk pemuda itu tepat di depan Daniel.
"Teteh pulang, Alvin ke sini Teteh nggak ada terus," ujar pemuda itu dengan bahasa lain.
Daniel mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti perkataan pemuda itu kepada Vhena. Vhena terlihat tersenyum lalu menjawab dengan bahasa yang sama, membuat Daniel mencoba berpikir keras dari mana bahasa itu berasal.
"Teteh kan kerja, lagian ngapain Teteh ke sini. Tuh apartemen Teteh berdebu kalo ditinggalin," jawab Vhena dengan lancarnya.
"Salim dulu, masuk yuk. Itu pacar Teteh?" tanya pemuda bernama Alvin itu sambil menoleh ke arah Daniel.
"Nanti juga tau, mana si Vannesa?" jawab Vhena sambil menarik tangan Daniel untuk masuk ke dalam rumah.
"Dandan belom kelar dari tadi subuh itu," jawab Alvin yang langsung duduk di sofa ruang tamu.
"Terus mana Mama?"
"Katanya ke pasar, mau di anterin gak mau. Katanya mau jalan kaki aja,"
Vhena mengangguk, tidak lama setelah itu seorang gadis turun dari lantai dua dan tersenyum ke arah Vhena.
"Inget pulang?" sindir gadis itu sambil tersenyum lebar, Vhena hanya memutar bola matanya jengah.
"Oh iya, sampe lupa. Kenalin, calon kakak ipar, tolong pake bahasa inggris karena Teteh yakin, dia gak bisa bahasa Indonesia." Gadis itu mengangguk dan Alvin hanya tersenyum lebar ke arah Daniel.
Vhena langsung menoleh ke arah Daniel, ia tersenyum karena melihat wajah Daniel yang tidak mengerti percakapan mereka.
"Pemuda itu bernama Alvin Rizky Wijaya, dan gadis itu adalah adikku, Vannesa Ravhe. Mereka adalah sepasang kekasih, jadi abaikan tingkah laku mereka." Vhena memperkenalkan sepasang sejoli itu pada Daniel, Daniel mengangguk mengerti dan Vhena kembali memperkenalkan Daniel.
"Vannesa, Alvin, ia adalah Daniel Romero, calon kakak ipar kalian."
Vannesa dan Alvin membulatkan kedua mata mereka, Vhena termasuk wanita yang tidak pernah memikirkan seorang pria dalam kamus hidupnya. Tetapi, kini wanita itu bahkan ingin menikah, entah kapan mereka mulai berpacaran dan menyembunyikan hal tersebut dari semua orang.
"Kami akan menikah tiga-"
"Dua hari lagi kami akan menikah," potong Daniel, Vhena membulatkan kedua matanya ke arah Daniel yang mulai terang-terangan ingin menikah dengannya.
Vannesa dan Alvin terngaga dengan apa yang di katakan Daniel, menikah adalah hal yang paling tidak diinginkan oleh Vhena. Tetapi, sepertinya Kakak mereka berdua itu telah sadar dari mimpinya.
"Menikah? Apa kau serius? Dan dua hari?" tanya Vannesa bertubi-tubi.
"Besok aku akan membereskan sisanya, saat ini aku hanya ingin meminta restu dari orangtua Kakak kalian," jawab Daniel.
"Baiklah, tunggu di sini. Mungkin tidak akan lama lagi Mommy kembali," jawab Vannesa yang memilih pergi sambil menarik tangan Alvin menuju lantai dua yang merupakan kamarnya.
Vhena menghembuskan napasnya lega, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa sambil menutup kedua matanya.
"Bahasa apa yang kau bicarakan bersama anak lelaki itu?" tanya Daniel dengan tatapan serius.
Vhena membuka mata lalu tersenyum sambil tertawa kecil, "Bahasa Indonesia, lebih tepatnya ada bahasa daerah yang ia ucapkan. Seperti 'Teteh', artinya adalah kakak perempuan." ujar Vhena menjelaskan.
"Lalu, dari mana kau dapat mempelajari itu semua? Apa kau berdarah campuran?" tanya Daniel yang semakin tertarik kepada wanita di hadapannya.
"Alvin berasal dari Indonesia, ia sedang kuliah hukum di Amerika. Mereka berdua sudah berpacaran kurang lebih empat tahun, aku selalu di ajari oleh Alvin agar kami bisa berbahasa Indonesia. Walapun hanya aku dan adikku saja yang bisa mempelajarinya," jawab Vhena dan Daniel mengangguk.
"Aku lihat kekasih adikmu adalah lelaki yang baik," Vhena tersenyum sambil mengangguk.
Ia akui jika adiknya memang beruntung memiliki kekasih yang baik dan juga tampan seperti Alvin. Terkadang Vhena merasa iri, kapan ia akan mendapatkan pria seperti Alvin. Dan akhirnya doa-doa yang ia rapal setiap hari menjadi kenyataan. Ia belum bisa menilai apakah Daniel pria yang baik atau tidak, setidaknya beberapa hari ini pria itu menunjukan itikad baik padanya.
Pintu rumah terbuka menampilkan sorang wanita yang berumur setengah abad, wanita itu menatap Vhena dengan tatapan tajam dan seperti tidak suka akan kedatangan putri pertamanya.
"Datang tanpa membawa apapun?" tanya wanita tua itu sarkas.
"Aku datang membawa berita baik," jawab Vhena, Daniel memeperhatikan situasi yang ada di hadapannya.
"Berita baik apa yang kau dapatkan? Mendapatkan promosi dari pekerjaanmu?" Vhena menggelengkan kepalanya.
"Mom, dia adalah Daniel Romero." Vhena mulai memperkenalkan Daniel.
Eliza Ravhe melirik ke arah Daniel sejenak lalu kembali menatap putrinya, "Lalu?"
Vhena menelan salivanya susah payah, mencoba memberanikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun, tatapan dari Ibunya benar-benar tidak bisa di tebak.
"Nyonya Ravhe, saya datang berkunjung untuk meminta restu darimu," suasana hening seketika, Eliza menatap Daniel sejenak lalu beralih menatap Vhena dengan tatapan kesal.
Eliza sedikit berlari mengambil smartphone miliknya lalu, ia terlihat memanggil seseorang untuk datang. Vhena hanya menghembuskan napas kasar, ia tahu jika Ibunya pasti sedang memanggil kakak satu-satunya. Vhena mengabaikan Eliza yang menatap tajam dirinya yang ingin membuat kopi untuk Daniel.
Beberapa kali Eliza melontarkan perkataan tajam untuk Vhena, meski terdengar samar Daniel tetap dapat mendengarnya dengan baik. Entah apa yang terjadi di antara Ibu dan anak itu, Daniel merasa perkataan Nyonya Ravhe sudah keterlaluan mengenai Vhena. Namun, sekali lagi yang membuat Daniel terpanah adalah sikap bijak Vhena yang hanya tersenyum menanggapi perkataan sarkas dari Ibunya. Vhena meletakkan secangkir kopi buatannya yang sudah pasti hanya ada rasa manis di kopi itu.
"Tidak perlu memaksakan diri untuk meminumnya," bisik Vhena dan Daniel hampir tertawa dengan perkataan wanita yang menjadi pusat perhatiannya. "buang saja jika itu beracun," lanjut Vhena dan kali ini Daniel menutup mulutnya untuk menahan tawa.
"Tertawalah, jangan manahannya. Kau semakin membuatku malu," Daniel menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum lebar ke arah Vhena.
Daniel mulai menyeruput minumannya dan tidak ada yang salah dengan kopi buatan Vhena. Memang tidak senikmat seperti di restoran mewah, tetapi tidak buruk untuk di minum. Ia rasa Vhena hanya tidak pandai membuat kopi atau memasak makanan untuk dirinya sendiri.
"Jika kita sudah menikah nanti, aku akan membuatkan sarapan, makan siang dan makan malam untukmu."
"Tidak perlu, kau sibuk dan jangan memaksakan diri,"
"Aku tidak memaksakan diri, waktu kerjaku tidak menentu dan tidak selalu harus berada di samping bos seperti dirimu."
"Sepertinya kau akan beralih menjadi koki setelah menikah denganku,"
"Selagi kau bahagia, aku akan bahagia."
Vhena terdiam saat Daniel serius mengatakan hal itu dengan menatap wajahnya yang sepertinya sudah mulai memerah. Vhena ingin kembali merangkai kalimatnya, tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka lebar dan terdengar seseorang datang dengan tergesah-gesah.
"Vhena!" teriak seseorang yang baru memasuki ruang tamu.
"Virgil?" Vhena mengerutkan keningnya saat melihat kakaknya datang dengan terburu-buru.
"Aku tidak akan merestuimu untuk menikah!"
***