Zivanna dan Masalahnya

1737 Kata
Karena sudah terlanjur mau belajar berenang dengan Hakim, Zivanna memutuskan untuk bersiap lebih dulu. Ia mengenakan kaos oversized abu terang dan celana pendek hitam, cukup longgar namun tetap nyaman untuk dipakai berenang. Rambutnya ia kepang longgar ke belakang, agar tidak mengganggu pandangan saat menyelam nanti. Ia menuruni tangga menuju lantai satu dengan langkah ringan, lalu berjalan ke arah ruang makan. Di sana, Hakim sudah duduk dengan kaos berwarna gelap, headset kecil terpasang di telinga kiri, dan ponsel tergeletak di hadapannya. “Selamat pagi, Mbok,” sapa Zivanna ramah saat melihat sosok tua yang setia menghidangkan sarapan. “Pagi, Non,” balas Mbok Ratri sembari meletakkan mangkuk sup ayam dan sepiring roti panggang di meja. “Makannya biar kuat berenangnya nanti.” Zivanna tersenyum kecil dan duduk tepat di hadapan Hakim. Ia sempat melirik lelaki itu yang baru saja menutup panggilan dan meletakkan ponselnya dengan gerakan tenang dan presisi. Baru hendak membuka percakapan, ponsel itu kembali berdering. Kali ini dari ajudannya, terlihat dari nama yang terpampang di layar. Hakim menyandarkan tubuhnya pelan ke sandaran kursi, jemarinya menyentuh bibir cangkir kopi tanpa mengangkatnya. “Kalibrasi ulang pemindai thermal perimeter. Lacak ulang lintasan udara. Minta Angkatan Udara lakukan overfly jam dua belas siang, radius sepuluh mil. Dan beri tahu Kolonel Bramanta kalau perimeter saya terganggu lagi, saya akan turun tangan sendiri.” “Dan Ardian,” Hakim menambahkan dengan nada lebih dalam. “Hentikan laporan tertulis via surel. Saya mau hard copy, langsung ke rumahsaya sore ini. Saya ingin sidik jari di atas semua keputusan. Tolong minimalisir pekerjaan, kan saya sedang cuti.” Zivanna pun mengurungkan niat untuk bicara. Selama sisa waktu makan, hanya dentingan sendok dan suara jam dinding yang terdengar. Zivanna menyelesaikan makan lebih cepat. Ia menyeka bibir dengan serbet linen, lalu berdiri. “Aku tunggu di luar.” Hakim hanya mengangguk sekali, tanpa mengangkat wajah. Tapi nada suaranya tenang saat menjawab, “Jangan jauh-jauh.” Zivanna keluar dari ruang makan dan berjalan menuju halaman belakang. Tanah rumah ini ternyata jauh lebih luas dari yang ia duga. Rumputnya terpangkas rapi, pepohonan disusun teratur, dan jalan setapak kecil dari batu alam memisahkan taman ke sebuah bangunan kecil berbentuk pavilion modern yang merupakan ruang gym pribadi. Ia melangkah santai menuju bangunan itu, menyusuri koridor taman. Angin pagi membawa aroma dedaunan basah dan tanah lembap. Saat melirik ke sisi kanan bangunan gym, matanya tertumbuk pada sebuah pohon jambu air yang rindang. Buahnya menggantung cantik, sebagian masih hijau, sebagian mulai memerah. Langkahnya terhenti. Jambu. Zivanna menatap pohon itu lama. Ingatannya menelusup seperti asap: Krisna pernah membawakan jambu untuknya, saat mereka masih di kampus. Katanya, itu dari rumah pamannya. Inikah? “Cobain deh, Yang. Ini enak banget manis kayak kamu. Nanti aku bawain tiap berbuah kalau kamu suka.” Zivanna menunduk. Tangannya mengusap pergelangan sendiri. Ada luka halus di sana, bekas dirinya pernah jatuh saat mengejar Krisna dan tertawa keras karena diolok kekanak-kanakan. Sekarang, yang tersisa hanya sepi. Dan rindu. Betapa teganya kamu, Krisna... pergi saat aku masih mencintaimu, dan menghamili orang lain. Hatinya mencelos. Tapi rasa itu selalu masih ada untuk Krisna, sekuat apa pun ia mencoba melupakannya, selalu ada celah yang membuat ingatan itu datang seperti tamu tak diundang. Ia ingin mencicipi lagi. Tidak ada buah yang jatuh ke tanah. Dan kalau menunggu, mungkin akan terlalu lama. Maka dengan semangat nekat yang muncul dari dorongan batin, Zivanna mengamati batangnya. Pohon itu tidak terlalu tinggi, dahan-dahannya cukup kuat, dan ia pernah ikut panjat tebing semasa SMA. Dengan sedikit peregangan dan tarik nafas, ia mulai memanjat. Tangannya meraih celah antar cabang, kakinya berpijak mantap meski hanya memakai sandal rumah. Dalam waktu singkat, ia sudah duduk di salah satu dahan besar, meraih jambu dan menggigitnya pelan. “Hmm...” manis. Segar. Sama seperti dulu. Tapi tak ada Krisna di sampingnya. Tak ada suara tawa, tak ada jari yang menyeka sisa getah di bibirnya. Hanya keheningan, hanya pohon itu, hanya dirinya yang menanggung rindu sendirian. Saat Zivanna tenggelam dalam kenangan dan rasa getir itu, tiba-tiba— sssrakkk! Ada suara dari ujung dahan. Zivanna menoleh pelan, matanya membelalak. “Arrrggghhhh!” Seekor ular cokelat kehijauan merayap pelan, lidahnya menjulur keluar masuk dengan cepat, matanya menatap lurus ke arahnya. Panik, Zivanna spontan bergerak mundur, tapi salah langkah hingga kakinya terpeleset, tubuhnya oleng, dan— “AAAKKK!” Kaosnya tersangkut pada cabang dahan besar. Tubuhnya menggantung di udara, sandal copot, dan kaki-kakinya melayang. Ia menjerit histeris saat ular itu semakin mendekat di dahan atas. “TOLOOONG! ULAARRR! AAAAAA!” Dor! Suara tembakan menggema tajam, membelah udara pagi yang tadinya tenang. Zivanna menjerit. Namun ketika ia membuka mata, seekor ular telah terjatuh ke tanah, mati dengan tubuh menggelepar. Ia masih menggantung, tubuh gemetar, napas memburu, mata berkaca-kaca penuh ketakutan dan histeria. Lalu ia melihatnya, Hakim, dengan tangannya memegang senapan laras pendek dengan silencer mengepul ringan. “Om...!” isaknya. Tangannya terentang seperti anak kecil yang tak tahan lagi. “Turunin akuuu... hikss... gendong... bawa aku... jauh dari situ... ULARRRR...!!” Hakim dengan tenang menyimpan senapan ke ditanah, dengan mudahnya meraih pinggang Zivanna dan membuat Zivanna jatuh ke pelukannya seperti boneka basah yang lemas, gemetar, masih menangis keras-keras sambil memeluk lehernya. “Hikss… di halaman rumah ada ular... nanti masuk ke dalam... harus dicek, harus dikontrol semua... setiap sudut! Setiap ruang! Bahkan plafon!” Suara Zivanna bergetar, tapi ekspresinya setengah kesal, setengah manja. Hakim menahan senyum kecil. “Iya, iya. Nanti saya suruh orang cek. Tenang dulu.” “Enggak bisa tenang! Hikss... itu tadi hampir gigit aku! Terus aku jatuh dan nyangkut! Kamu liat tadi aku menggantung kayak boneka jemuran!” “Saya lihat. Dan kamu masih hidup,” jawabnya datar. “Kalau nggak ada kamu, aku udah jadi berita pagi. Model lokal mati karena digigit ular waktu cari jambu!” Zivanna merengek sambil memukul d**a Hakim pelan. Hakim hanya mengangguk, membawa Zivanna seperti menggendong bayi koala, tangan dan kaki melingkar erat di tubuhnya, sementara wajah perempuan itu masih terselip di bahu, sesekali sesenggukan. **** Hakim benar-benar melakukannya. Meski sedang dalam masa cuti, ia menginstruksikan pemeriksaan menyeluruh seluruh bagian rumah. Dua kendaraan militer sipil parkir di luar gerbang, dan beberapa petugas dengan seragam lapangan menyisir halaman, ruang-ruang dalam, bahkan area loteng serta kolong dapur, memastikan tidak ada hewan melata yang bersembunyi. Hakim sendiri mendampingi dari kejauhan, mengenakan kaos dan celana training hitam. Ia sempat berbincang tegas dengan salah satu bawahannya yang membawa tablet dan peta denah rumah digital, sambil menunjuk titik-titik rawan di area belakang. Sementara itu, Zivanna berada di dapur bersama Mbok Retno, menyiapkan piring saji dan teko berisi infused water, lengkap dengan camilan untuk para petugas. “Ini kue sempritnya, Mbok. Taruh aja di loyang kayu biar lebih cantik,” ucap Zivanna sambil menata potongan buah. “Iya, Non. Tumben repot-repot begini,” komentar si Mbok dengan nada geli. “Daripada bengong,” sahut Zivanna ringan. Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. Zivanna menoleh. “Biar aku saja yang bukain.” Ia menyeka tangannya dan melangkah menuju pintu depan. Begitu dibuka, tampak dua perempuan berdiri di depan. Yang satu wanita paruh baya dengan dandanan rapi, membawa kotak kue. Di sebelahnya, berdiri seorang gadis muda seumuran Zivanna, berambut panjang dengan riasan full glam dan gaun berenda pastel mencolok. “Selamat pagi,” sapa si ibu dengan senyum dibuat-buat. “Maaf mengganggu. Mas Hakimnya ada?” “Ada, kalian siapa ya?” Wanita itu langsung menyerahkan kotak kue. “Saya Wenny. Ini anak saya, Bella. Kami tinggal di rumah ujung sana, baru balik dari Bandung dan bawa oleh-oleh. Sebenarnya, kami cuma mau mampir sebentar... sekalian mau ketemu sama Mas Hakim.” Zivanna melirik sebentar pada dua tamu asing itu. “Ada, tapi sedang sibuk. Saya bisa titipkan.” “Oh... ya ampun. Tidak usah, kami mau ketemu. Tolong panggilkan majikan kamu ya,” ujar Wenny membuat Zivanna tertawa hambar. “Saya istrinya Hakim, bukan pembantunya.” Mata Wenny membelalak, sedangkan Bella menatap dari ujung kepala sampai kaki, nyaris seperti menyortir nilai. “Istri?” Wenny mengerutkan kening. “Ah... jangan bercanda. Mas Hakim itu belum menikah. Semua orang juga tahu, Nak. Jangan mengada-ada. Lagian mana mungkin menikah sama anak SMA kayak kamu.” Zivanna masih diam. Matanya menyipit tipis, bahunya tegak. Tapi sebelum ia sempat membalas, sebuah lengan tiba-tiba merangkul bahunya dari samping. “Zivanna memang istri saya.” Suara bariton tenang itu milik Hakim, yang kini berdiri di sampingnya dengan merangkul bahu Zivanna. “Maaf kalau ibu belum dengar. Kami memang tidak mengundang siapa pun karena ini pernikahan tertutup,” lanjut Hakim, masih dengan nada formal yang dingin namun sopan. Wenny mendengus kecil. “Wah... padahal saya baru mau mengenalkan Bella. Anak saya baru lulus dari Fakultas Sastra di Universitas Negeri. Cantik, pintar, penurut... saya pikir cocok untuk Mas Hakim.” “Saya sudah memiliki pilihan sendiri, Bu.” “Yakin pilihan sediri Mas Hakim? Bukan dijodohkan karena lama melajang?” Tanya Wenny. “Bella ini punya produk Skincarenya sendiri loh. Namanya Bells skincare, sudah terjual puluhan ribu dan bakalan dijual ke luar negara juga.” “Maksudnya apay a?” Tanya Zivanna kesal. “Eh, makasudnya kan kalau wanita hasil perjodohan, siapa tahu tidak cocok. Ini anak saya berpotensi, dia sudah dikenal di dunia skincare loh, masuk majalah bisnis juga.” “Maaf, Bu, anaknya gak laku ya sampai di promosikan begitu?” Tanya Zivanna kesal. “Kasihan sekali, tapi jangan ganggu rumah tangga orang lain. Terima kasih kuenya.” Zivanna masuk lebih dulu membuat Wenny berdecak, dan Bella yang mendengus. Hakim menarik napas. “Tolong jangan begitu, Bu. Istri saya tidak nyaman. Saya tutup pintunya.” Segera masuk mencari Zivanna yang sebelumnya tampak kesal. Benar saja kue pemberian tadi sudah terogok di atas meja begitu saja, dan Zivanna tengah duduk di sofa sambil sibuk menggulir ponselnya. “Na, ayok bersiap, katanya mau berenang.” “Pembohong,” gumamnya. “Apa?” “Pembohong. Si Bella itu pembohong, mana ada skincarenya udah laku ribuan. Baru juga belasan dan gak punya branding sama sekali.” Zivanna memperlihatkan layar ponselnya pada Hakim. Zivanna tertawa mengejek. “Tukang ngarang si Bella itu! Dia pasti penulis cerita di novel online ‘kan? Yang isi ceritanya tuh pria muda berwatak dingin, datar dan anak tunggal pewaris perusahaan kolor ijo terbesar no 1 di planet yang usia 10 tahun sudah bergelar Guru Besar di Universitas Halu dan gelarnya panjang kayak jalur Kereta Api Blambangan Ekspres, terus bapaknya merupakan seorang mafia lahan parkir gacoan.” Hakim tersenyum tipis, mengusak rambut Zivanna yang masih menggebu-gebu kekesalannya. “Ayok ganti baju, nanti saya pesankan gelato sama cokelat.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN