bc

GAIRAH LIAR OM KOLONEL

book_age16+
177
IKUTI
1.6K
BACA
love-triangle
family
HE
love after marriage
age gap
arranged marriage
arrogant
drama
bxg
lighthearted
kicking
campus
city
substitute
like
intro-logo
Uraian

Warning 17+

Zivanna Sastronegoro (23 tahun) tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah secepat itu, dari calon pengantin, menjadi istri dari lelaki yang bahkan tak pernah ia impikan. Ia anak sulung dari keluarga terpandang di Jakarta, beautypreneur muda dengan bisnis skincare sukses, dan punya rencana hidup yang rapi. Salah satunya menikah dengan Krisna Jagatara, pria yang selama ini ia percaya sebagai tambatan hati.

Tapi di hari yang seharusnya menjadi awal kisah cinta mereka, Krisna justru memilih pergi meninggalkan Zivanna di altar demi wanita lain.

Pesta sudah siap. Undangan sudah tersebar. Dua keluarga besar tidak bisa menerima malu. Dan satu nama dipanggil untuk menggantikan posisi pengantin pria: Kolonel Hakim Rajani Jagatara. Paman dari Krisna. Pria 35 tahun yang dikenal dingin, tertutup, dan hidup di bawah bayang kehormatan keluarga militer.

Lelaki yang beberapa hari sebelumnya sempat tidak sengaja dilihat Zivanna sedang b******a dengan wanita lain… dengan gairah yang terlalu membekas di benaknya. Kini, Zivanna harus menjadi istrinya. Bukan karena cinta. Bukan karena pilihan. Tapi karena nama keluarga harus diselamatkan.

Pernikahan mereka adalah kontrak yang tak pernah diucapkan. Tapi bagaimana jika batas tubuh dan rasa perlahan menjadi kabur?

Dan Zivanna pun mulai bertanya-tanya… siapa sebenarnya pria yang kini menjadi suaminya dan siapa yang seharusnya ia cintai?

chap-preview
Pratinjau gratis
Gairah Liar
Zivanna Sastronegoro. Dua puluh tiga tahun. Mahasiswi Sastra, sekaligus pendiri lini skincare Aureka Botanica yang mulai mencuri perhatian pasar lokal. Perempuan muda yang tampak mapan dari luar mandiri, tenang, dan tajam, namun diam-diam dibentuk oleh keheningan panjang yang mendiami rumah masa kecilnya. Zivanna berasal dari keluarga yang tumbuh bersama huruf, suara, dan pencitraan publik. Sang Ayah, Adnan Sastronegoro, adalah pemilik jaringan siaran berita nasional yang punya kekuatan cukup untuk membentuk opini publik lewat headline pagi hari. Sedangkan sang Ibu, Raras, seorang penulis senior yang dikenal dengan opini-opini tajamnya tentang perempuan dan budaya. Dan dari merekalah, Zivanna mewarisi karakter yang tak bisa dibungkam hingga dia mengemukakan keinginannya untuk menikah muda bersama pria bernama Krisna. Krisna bukan dari keluarga sembarangan. Ia cucu dari Jenderal (Purn) Wirya Jagatara, nama besar dalam dunia militer yang masih disegani bahkan setelah pensiun. Ayah Krisna gugur dalam tugas ketika ia masih lima tahun, dan ibunya menyusul tidak lama setelah itu. Maka dari itu mereka diberi restu. “Iya, Sayang, ini aku lagi dijalan. Cuacanya buruk, hujan lebat, jadi aku agak lambat. Maaf,” ucap Zivanna yang tengah mengemudi, sambil menelpon. “Cepet, Yang. Balapan gak akan jalan kalau gaada aku.” Disebrang sana, Krisna tampak begitu gusar. “Hmmm… dasar anak Teknik. Iya aku secepatnya kesana. Mobil Om kamu beneran gak bisa dipinjem?” “Gak diizinin, Yang. Cepet kesini.” “Iya, Sayangku, yaudah aku tutup telponnya ya.” Setelahnya Zivanna menghela napas berat, bukan karena tidak mau menjemput Krisna, tapi karena dia akan menjemput sang kekasih ke rumah pamannya yang seorang Tentara. Hakim Rajani Jagatara adalah salah satu paman Krisna, anak bungsu sang Jendral. Di usianya yang menginjak tiga puluh lima tahun, ia telah menempati pangkat Kolonel TNI Angkatan Udara, menjabat sebagai Komandan Skadron Operasi Khusus Udara. Dingin adalah default-nya, dan bahkan dalam acara keluarga, Zivanna tidak pernah berbicara dengannya. Ia sempat berpikir, mungkin Hakim pendiam karena tidak laku. Dari dua paman Krisna, hanya pria itu yang belum menikah, dan terus terang, itu yang membuat Zivanna malas bertemu dengannya, karena hanya kecanggungan yang ada. Bagaimana mungkin ada wanita yang bisa menempel pada pria sedingin itu? Sentuh pun sulit, apalagi didekati. “Hallo, Mbak Zivanna,” sapa seorang satpam yang datang dengan payungnya membantu Zivanna tetap kering sampai di halaman. “Nyari Mas Krisna ya?” “Iya, tolong panggilin dong, Mang.” “Masuk aja langsung, Mbak, tadi didalam kok. Saya mau periksa saluran air dibelakang dulu.” “Oh yaudah, makasih ya,” ucap Zivanna menatap rumah bergaya minimalis modern di depannya. Ia hubungi dulu Krisna sebab enggan masuk begitu saja, tapi sang kekasih tidak menjawab. Apa dia tertidur? Zivanna pun mengetuk beberapa kali, sampai akhirnya memutuskan masuk sebab tidak ada jawaban. “Krisna?” panggil Zivanna. “Yang? Ayok katanya balapan mau dimulai.” Zivanna menelusuri rumah dengan tatapan waspada, seolah setiap sudut dinding mengandung gema wibawa yang tak bisa dijelaskan. Interior rumah itu tidak seperti rumah keluarga lain yang hangat atau berantakan semuanya rapi, bersih, bahkan terlalu bersih untuk disebut tempat tinggal. Lantainya terbuat dari marmer hitam mengilap, kontras dengan dinding abu-abu tua dan pigura-pigura kehormatan militer yang berjajar seperti pameran keangkuhan. Tidak ada bunga. Tidak ada bantal dekorasi. Tidak ada selimut dilemparkan di sofa. Ia menarik napas panjang, berusaha menepis rasa enggan yang mengendap. Seingatnya, Krisna pernah bercerita kalau saat menginap, ia tidur di lantai atas. Maka Zivanna melangkah menuju tangga yang kokoh dan minimalis, tiap anak tangganya memekik pelan di bawah sepatu boots kulitnya. Lorong di lantai dua lebih sunyi, tapi bukan jenis sunyi yang menenangkan. Lampunya temaram, dan hanya ada tiga pintu: satu tampak terbuka setengah, dua lainnya tertutup rapat. “Krisna?” panggilnya lagi. “Yang?” Dan di situlah ia mendengar sebuah suara. Bukan bicara. Bukan TV. Tapi suara… desahan. Berat dan samar, seperti tertahan dan pecah dalam irama yang pelan-pelan meningkat. "Ahhhh... shhh... pelan... aku gak tahan.... pelan, Mas... ahhh..." Zivanna terdiam di tempat. Tenggorokannya tercekat, tapi kakinya malah melangkah maju. Pintu kamar yang sedikit terbuka itu memancarkan cahaya lampu kuning lembut, dan suara itu semakin jelas. Suara seorang wanita, tercekat dan gemetar, nyaris menyerupai jeritan kecil yang ditahan dalam kenikmatan. Suara perempuan itu kini lebih jelas. Napasnya tak teratur, seperti tercekik kenikmatan. Di antara sela-selanya terdengar rintih, lirih namun menyayat, dan panggilan putus asa yang membuat tengkuk Zivanna meremang. Hakim. Lelaki itu. Hakim bertelanjang d**a. Tubuhnya seperti dipahat dari batu, d**a bidang dan kokoh, lengan berotot yang bergerak mantap menahan tubuhnya agar tidak menghimpit terlalu berat, dan bergerak berirama dalam hentakan yang dalam, lambat, namun brutal. Suaranya nyaris tak terdengar, hanya gemuruh napas dan gelegar hujan di luar jendela yang mengiringi ritme mereka. Lampu kuning dalam kamar menyinari keringat yang mengilap di sepanjang punggungnya, menetes di kulit perempuan yang merintih, kakinya melingkar erat di pinggang sang kolonel. “Mas Hakim…. Nghhhh…. Bentar…” Setiap dorongan dilakukan dengan presisi militer, penuh kekuatan dan kendali. Suara ranjang berderit mengikuti irama mereka, dan hujan di luar sana seolah ikut menari di balik jendela, membasahi dunia, menyamarkan dosa yang basah ini. Zivanna menutup mulutnya, tubuhnya membeku, tapi jantungnya memukul keras di dalam rusuk. Ia melangkah mundur, pelan, nyaris tanpa suara, tapi matanya panas dan pikirannya kacau. Apa yang baru saja ia lihat? Dan sebelum Zivanna merespon lebih banyak, ponsel di tangannya bergetar, pesan dari sang kekasih. Sayangku: Yang, aku dapet gocar, kamu nyusul kesini. Sorry aku harus buru-buru banget, hapeku tadi juga habis batre.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Shifted Fate

read
595.4K
bc

Chosen, just to be Rejected

read
129.9K
bc

Corazón oscuro: Estefano

read
817.5K
bc

Holiday Hockey Tale: The Icebreaker's Impasse

read
134.1K
bc

The Biker's True Love: Lords Of Chaos

read
297.2K
bc

The Pack's Doctor

read
635.8K
bc

MARDİN ÇİÇEĞİ [+21]

read
748.8K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook