Tubuhnya terperangkap dalam gelap. Tapi bukan gelap yang menakutkan.
Zivanna tahu ini bukan kenyataan, tapi juga bukan sekadar mimpi kosong. Karena ini bukan yang pertama. Sudah beberapa kali mimpi itu datang... sejak malam saat ia secara tak sengaja melihat Hakim menelanjangi dunia yang selama ini hanya bisa ia tebak dari balik tatapan dinginnya. Sejak malam itu, tubuh Zivanna menyimpan dosa diam-diam dalam bentuk mimpi yang membara, menelanjanginya perlahan, membakar setiap simpul kesadarannya. Dan kali ini… ia kembali terjebak di sana.
Ia tak bisa membuka mata. Sentuhan itu menyusuri tubuhnya seperti air yang mencari muaranya, menghafal, menemukan, dan menyelam.
“Zivanna…”
Hakim.
Dingin di dunia nyata. Tapi di sini… membakar.
Napasnya memburu ketika tangan itu menekan punggungnya, menariknya dalam dekap yang gelap dan menggetarkan. Zivanna bisa merasakan d**a bidang pria itu di punggungnya. Keringat hangat. Napas di tengkuknya. Gigi yang menggesek kulit lehernya pelan. Dan tubuh keras itu yang menindihnya dengan perlahan, seolah menegaskan siapa yang kini menguasai dunia ini.
Ia tidak bisa menolak. Tidak ingin menolak. Tubuhnya melengkung, memanggil, mendesah… “Ngh…”
Suara itu lolos dari bibirnya tanpa bisa dicegah. Napas Hakim di lehernya makin dalam. Tubuh Zivanna memanas. Ia bisa merasakan pinggul lelaki itu menggesek perlahan begitu dalam irama yang menuntut, tanpa terburu-buru, tapi menggetarkan seluruh kesadarannya dan —“Kakak! Bangun dong! Ini hari pernikahan kakak, woy!”
Zivanna terlonjak. Jatuh dari langit mimpi. Matanya membelalak. Napasnya masih tercekat, keringat dingin membasahi pelipis dan d**a. Seluruh tubuhnya berdenyut, masih tertinggal dalam irama mimpi yang belum selesai.
Alesha berdiri di sisi ranjang, berkacak pinggang dengan wajah kesal. “Aku udah teriak-teriak dari tadi! Kakak tidur kayak mayat hidup. Sumpah deh!”
Alesha mengenakan kaus putih kusut dan celana pendek, rambut masih awut-awutan, tapi matanya menyala penuh urgensi. “Cepet mandi! Mau jadi pengantin kok malah tidur sambil ngiler!”
Zivanna menutup wajah dengan kedua tangan. Mimpi itu... masih terasa di kulitnya. Bekas sentuhan itu belum sepenuhnya hilang. Dan sialnya ia tahu betul, ini bukan sekadar mimpi liar biasa.
Ini adalah bentuk keterikatan bawah sadar yang memalukan. Karena entah kenapa… tubuhnya hanya menginginkan pria itu. Pria yang bahkan belum pernah menyentuhnya. Zivanna menarik napas dalam, meneguk kenyataan, dan mencoba bangkit.
“Kak?!”
“Iya, iya! Astaga... ini aku mandi!”
Zivanna langsung masuk ke kamar mandi, disana dia dengan cepat mengguyur diri dibawah shower. Ini semua salah Hakim! salah hari itu dimana Zivanna melihat adegan tidak senonoh! dan mimpi-mimpi itu mulai datang, merasuki jiwanya seolah posisinya adalah wanita yang kala itu dibuat nikmat oleh Hakim.
Zivanna menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau hal ini terus berlanjut, dia ingin menghentikan semua mimpi itu. Tapi bagaimana caranya? datang begitu saja tanpa peringatan. dan Zivanna membenci mimpi yang membuat kepalanya sakit itu.
****
Janji suci itu akhirnya akan segera tiba, Zivanna duduk diam di dalam sebuah ruang suite khusus untuk rias pengantin di lantai tertinggi hotel termewah di Jakarta. Dari jendela kaca besar di belakangnya, langit tampak jernih, seolah alam pun merestui hari besar ini.
Ia dikelilingi oleh wangi bunga melati dan aroma bedak tradisional, saat tangan-tangan terampil merias wajah dan rambutnya dengan presisi luar biasa. Sang perias adalah seorang perempuan paruh baya yang didatangkan langsung dari Yogyakarta, dengan pengalaman puluhan tahun merias pengantin keraton.
Wajah Zivanna kini bukan lagi wajah mahasiswi Sastra atau pebisnis skincare. Ia menjelma menjadi putri ningrat dalam balutan adat paes ageng khas Yogyakarta. Dahi hitamnya membentuk lengkungan patra yang melambangkan kesucian, alisnya dilengkungkan tajam, bibirnya merah marun, dan seluruh riasan itu membuat sorot matanya tampak lebih teduh, namun tetap kuat.
Tubuhnya dibalut kebaya beludru hitam bersulam emas dan kain batik tulis Sido Asih, dengan pending perak di pinggang serta kalung pusaka di dadanya.
“Ndoro ayu tenan… seperti ratu,” bisik sang perias dengan mata berkaca-kaca.
Zivanna tersenyum pelan, mengangguk. “Matur nuwun, Bu. Saya beruntung bisa didandani oleh tangan sehalus ini.”
Ketukan lembut di pintu membuyarkan keheningan di ruangan.
Seorang asisten membukakan pintu, dan masuklah dua sosok tua yang sangat dikenali Zivanna. Eyang Pandega dan Eyang Laksmi, kakek nenek dari pihak ayah, mengenakan pakaian kebesaran khas Yogyakarta. Sang Eyang Kakung tampil dalam beskap biru tua dengan blangkon batik motif parang rusak, dan tongkat jati yang selalu menyertai langkahnya. Sedangkan Eyang Putri mengenakan kebaya encim putih gading, rambutnya digelung rapi dihiasi sisir emas dan roncean melati kecil.
“Kembang tanjung tenan, cucuku iki… Cantiknya luar biasa,” ucap Eyang Laksmi dengan suara lembut penuh haru.
“Matur nuwun, Eyang,” ucap Zivanna sambil berdiri dan membungkuk hormat, mencium tangan keduanya. Ia menghampiri mereka pelan, lalu bertanya, “Eyang sudah bertemu Mama Papa?”
“Wis, nduk,” jawab Eyang Laksmi sambil mengangguk. “Orang tuamu sedang bicara dengan keluarga Krisna. Tapi kami ingin lebih dulu melihatmu… hati kami tersentuh, Nak. Kamu sungguh cantik.”
Eyang Pandega menggamit tangan cucunya dan membawanya duduk di antara mereka.
“Zivanna,” ucap Eyang Pandega perlahan, namun suaranya mengandung kekuatan bertahun-tahun wibawa. “Ingatlah, Nak… keluarga ini memiliki garis darah, martabat, dan tanggung jawab. Jangan sampai seperti kakakmu, Elera. Lari dengan lelaki tak tahu sopan santun, meninggalkan keluarga, membuat malu.”
Zivanna terdiam. Nama kakaknya masih menjadi luka lama dalam keluarga. “Inggih, Eyang… Zivanna janji. Aku lan Krisna bakal jaga nama baik keluarga.”
Kedua eyangnya itu memilih tetap tinggal di ruangan tersebut. Mereka memutuskan menemani Zivanna sambil menunggu waktu pemberkatan.
Namun, Zivanna tak bisa tenang. Tangan dinginnya mencengkeram lengan kursi. Waktu sudah lewat dari jadwal. Iringan musik yang seharusnya mengiringi langkahnya menuju altar pun belum juga terdengar. Tak satu pun panitia datang menjemput.
“Kenapa belum juga dipanggil, ya?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Lalu ponsel di saku beskap Eyang Pandega berbunyi. “Halo…”
Hening. Lama. Pandangan Eyang Pandega mengeras, dan wajahnya yang tadi tenang mulai tegang.
“Apa?!”
Zivanna refleks menoleh.
“Dasar bocah edan si Krisna itu!” bentak Eyang Pandega sambil menggenggam ponselnya kuat-kuat. “Aku minta pertanggungjawaban dari keluarga Jagatara! Para tamu sudah datang semua! Tidak mungkin pernikahan ini dibatalkan! Itu memalukan, memalukan!”
Lalu dengan kasar, Eyang Pandega menutup telepon itu tanpa pamit, dan mengumpat sambil menunduk—seolah mencoba meredam amarah yang meluap dari ujung kaki ke ubun-ubun.
“Ana opo toh kuwi, Mas?” tanya Eyang Laksmi khawatir.
“Ada apa, Eyang? Ada apa dengan Krisna?” tanya Zivanna dengan suara gemetar.
Eyang Pandega menatap cucunya. Wajahnya tegang. Mata tuanya tampak menahan murka dan rasa malu sekaligus. Ia menarik napas keras sebelum akhirnya menjawab dengan berat:
“Krisna… pergi, Nduk. Kabur bersama selingkuhannya. Perempuan yang dia bawa itu hamil. Hamil, Zivanna!”