7. Doa Driver Ojek

1767 Kata
Pagi menjelang siang, aku sudah dipanggil Dokter Arga ke ruangannya. Aku jalan cepat karena perasaanku tidak enak. Sebenarnya selain aku, ada juga Mita yang dipanggil. Akan tetapi, Dokter Arga meminta kami datang bergantian. Begitu disuruh masuk, aku langsung menghampiri meja Dokter Arga yang terletak paling sudut dekat dengan jendela besar. Aku langsung menciut melihat tatapannya saat ini. Sungguh, tatapannya sangat tajam. “Kamu yang tadi megang pasien bed nomor 9?” tanyanya dengan nada yang sangat tidak enak didengar. “Iya, Dok. Dua hari ini saya yang follow up pasien itu. Ada apa, ya?” “Kamu udah baca hasil lab terbaru?” “S-sudah.” Aku mengangguk. “Kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu enggak bilang kalau ada peningkatan leukosit dan CRP yang signifikan? Kamu tahu enggak itu artinya apa?” “Itu—” “Itu tanda infeksi makin parah!” Dokter Arga menyela dengan nada yang langsung naik. “S-saya minta maaf, Dok. Saya pikir itu masih aman, belum butuh intervensi tambahan.” “Apa kamu bilang? Kamu pikir? Memangnya kamu pikir kamu siapa? Ini bukan hanya soal kamu pikir, Arisa. Ini menyangkut pasien! Kamu di sini bukan untuk mengintepretasi data secara asal-asalan. Kamu butuh diskusi dengan saya. Ngerti?” suara Dokter Arga semakin tinggi. “Iya, Dok. S-saya minta m-maaf.” “Maaf, maaf! Ini juga bukan soal minta maaf lalu selesai. Ini soal tanggung jawab. Kalau ada apa-apa sama pasien, kamu mau bertanggung jawab penuh?” Aku menunduk dalam-dalam. Aku hanya bisa diam. Saat ini tanganku agak gemetaran karena Dokter Arga benar-benar langsung memarahiku tanpa basa-basi. “Ini tanggung jawab bersama, Arisa. Kalau belum tahu atau enggak yakin, wajib tanya! Bukan malah menyimpulkan seenaknya.” “B-baik, Dok. Lain kali saya akan l-lebih hati-hati dan teliti.” “Ya sudah. Sekarang kamu balik urus pasien itu. Cek ulang tanda vitalnya. Pastikan juga antibiotiknya jalan. Jangan sampai enggak jalan! Lapor saya dalam lima belas sampai dua puluh menit kedepan. Jangan diulangi!” Aku mengangguk. “Baik, Dok.” “Kamu boleh keluar, Mita suruh cepat masuk.” “Baik, Dok.” Sebelum pergi, aku menyempatkan melirik Dokter Arga. Dia tidak balas melirik. Dia sedang sibuk memeriksa lembaran di depannya. Begitu keluar, Mita langsung menghampiriku. Wajahnya panik. “Kak Ris, matanya merah banget! Dokter Arga marah, ya?” “Udah, jangan peduliin aku. Kamu disuruh cepet masuk—” “Takut, ih!” “Buruan! Makin dimarahin kalau kamu lama.” “O-oke.” Setelah Mita masuk, aku langsung berjalan cepat untuk kembali ke bangsal. Air mata yang tadi masih bisa kutahan, akhirnya menetes juga. Namun, aku buru-buru mengusapnya. Dokter Arga mulai mengeluarkan taringnya. Aku benar-benar takut mendengar marahnya. Akan tetapi, di sisi lain, aku sangat paham dengan kekeliruanku. Marahnya berdasar. Jadi, aku tidak akan kesal padanya hanya karena dia memarahku. Namun, tetap saja. Rasa takut ini nyata. Baik Papa atau Mas Juna belum pernah memarahiku sampai seperti ini. “Eh, Ris?” Salma tiba-tiba muncul di belokan. “Kamu habis dari mana—” “Jangan tanya aku dulu, Ma. Aku mau nemuin pasien.” “Matamu merah banget—” “Anggap aja enggak lihat. Duluan, ya!” Aku berlari kecil meninggalkan Salma. Aku menarik napas panjang sebelum masuk bangsal. Aku menggumam pelan, memberi afirmasi positif pada diri sendiri. “Kamu pasti bisa, Ris. Sesekali salah, enggak papa. Yang penting aku harus terus memperbaiki diri.” *** “Akhirnya, selesai sudah untuk hari ini.” Aku merebah di matras, meluruskan punggung yang rasanya seperti akan copot. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, padahal harusnya aku selesai sift sejak beberapa jam yang lalu. Sudah biasa. Mahasiswa koas tidak mengenal jam kerja. Tidak menginap di rumah sakit saja sudah bagus. “Habis ini mau langsung pulang, Ris?” tanya Salma ketika dia masuk ruangan. “Iya, Ma. Aku mau langsung pulang. Kamu pulang besok pagi, ya?” “Iya. Aku ada gantiin Faisal soalnya.” “Kok mau? Maksudku, kan kamu kemarin baru aja jaga malam.” “Soalnya aku mau ada urusan, jadi gantian jadwal sama dia. Win-win solution.” “Oh.” Setelah merasa lebih baik, aku segera bangkit dan berkemas. Aku ingin pulang lebih awal. Mumpung sedang tidak ada hal yang membuatku harus pulang terlalu telat seperti hari-hari sebelumnya. Sudah cukup untuk hari ini. “Ma, aku duluan, ya!” seruku sembari menutup loker. Saat ini gantian Salma yang sedang merebah di matras. “Yoi! Naik ojek lagi?” “Iya, dong. Setelah aku pikir-pikir, enakan pakai ojek. Beneran, deh. Soalnya sat-set.” “Pagi tadi sama Mas Juna apa ngojek juga?” “Sama Mas Juna, soalnya dia berangkat pagi. Kalau enggak, ya, aku ngojek. Nyesuaiin aja. Enggak harus dianter dia.” “Oke.” “Ya udah. Bye! Sampai ketemu besok.” “Yuhuuu!” Aku berjalan menuju pintu keluar sembari menggerak-gerakkan leher. Rasanya sakit sekali. Sepertinya, pulang nanti aku akan minta tolong Mama untuk memijitku. Semoga beliau berkenan. Aku baru saja sampai di halaman ketika tiba-tiba mobil Dokter Arga lewat. Aku sudah hafal dengan mobilnya karena beberapa kali lihat dia datang dan pergi dengan mobil itu. Aku bahkan sampai hafal dengan nomor platnya. Aku agak kaget ketika mobil Dokter Arga mendadak berhenti tepat di depanku. Aku sendiri ikut berhenti, lalu mundur satu langkah. Mau apa, dia? Entah kenapa, aku langsung ingat lagi cara dia memarahiku kemarin. Meski aku bilang aku baik-baik saja dan tidak kesal, tetapi marahnya masih membuatku takut. Aku agak enggan melihatnya di luar kepentingan studiku. “Malam, Dok.” Aku menunduk sejenak untuk basa-basi. Aku tidak berniat bertanya kenapa dia tiba-tiba menghentikan mobilnya di depanku. Itu bukan urusanku. “Mari, Dok …” Aku langsung berlari keluar gerbang dan berjalan menuju halte taksi. Di sana, selain tempat menunggu taksi, biasanya juga untuk menunggu ojek. Aku segera pesan dan langsung dapat driver. Sebelum driver datang, mobil Dokter Arga kembali berhenti di depanku. Aku mengusahakan untuk tetap tersenyum. “A-ada apa, ya, Dok?” “Ikut saya. Cepet masuk!” Aku buru-buru menggeleng. “Saya sudah pesan ojek, Dok. Rumah kita juga belum tentu searah—” “Beli nasi goreng di tempat yang sama saat pulang kerja, itu artinya rumah kita searah. Karena nasi goreng itu agak jauh dari rumah sakit ini.” “Terima kasih untuk tawarannya. Tapi, tidak perlu. Driver-nya sudah on the way.” Hanya jeda beberapa detik, ojek yang kupesan sudah datang. Aku tersenyum lega dan buru-buru berlari menghampiri si driver. “Kak Arisa, ya?” “Iya, Pak. Buruan, ya! Jangan lama-lama.” “Oke.” Aku segera pakai helm dan naik motor. Sebelum benar-benar pergi, aku menyempatkan untuk mengangguk pada Dokter Arga. “Buruan, Pak!” “Iya, iya.” Begitu motor sudah melaju agak jauh, aku baru bisa mengembuskan napas lega. Entah kenapa, hatiku agak gelisah. Mengenai penyebab utamanya apa, aku juga tidak yakin. “Lagi marahan sama pacarnya, ya, Kak?” tanya driver tiba-tiba. “Hah? Marahan sama pacar gimana, Pak? Saya enggak paham.” “Ya tadi itu, Mas di mobil lihatin kakaknya terus. Dan Kakaknya juga nyuruh saya buruan. Pasti lagi marahan. Masnya mau anterin Kakaknya pulang, tapi kakaknya enggak mau. Biasanya gitu.” “Eh … enggak, Pak, enggak. Dia bukan pacar saya. Dia dokter pembimbing saya. Ibaratnya, senior saya di rumah sakit. Eh, bisa disebut gitu atau enggak, ya? Intinya dia atasan sayalah.” “Oh, kirain. Soalnya saya beberapa kali nganterin orang berantem. Cowoknya ngintilin saya pakai mobil karena ceweknya milih ikut saya.” Si Driver tertawa. “Mereka yang berantem, saya ikut terlibat. Saya jadi takut kena imbas emosi mereka.” “Kalau itu mah so sweet, Pak. Artinya si cowok perhatian. Kalau kasus saya, mah, beda. Beda jauh banget malah.” Motor tiba-tiba berhenti karena lampu merah. Jeda beberapa detik, ada mobil yang berhenti tepat di sebelah kiriku. “Ehm!” Deheman itu membuatku menoleh. Mataku langsung melebar begitu sadar kalau mobil itu adalah Dokter Arga. Aku langsung pasang senyum wajah tanpa dosa. “Eh, Dokter Arga.” “Benar, kan, rumah kita searah?” “Rumah saya masih belok-belok dan jauh, kok—” “Enggak jauh, Kak. Di map bentar lagi. Lurus sampai mentok, belok kiri, lalu masuk perumahan,” sahut si Driver yang membuatku refleks mencubit pelan lengannya. “Pak!” “Mari, Dok!” Si driver malah menyapa Dokter Arga. Lampu menyala hijau, jadi motor kembali tancap gas. Aku menoleh belakang, Dokter Arga belok sementara aku tetap lurus. Ternyata, perbedaan jalan menuju tempat tinggal kami ada di lampu merah terakhir. “Yang barusan itu juga so weet, lho, Kak. Sepertinya, atasan bukan sembarang atasan, ya?” “Bapak itu, lho! Kalau saya kesal, nanti saya bintang jelek. Mau?” “Ya jangan. Maaf, Kak, maaf. Saya bercanda aja barusan.” “Enggak lucu, ya, Pak!” “Maaf, maaf. Habisnya baru aja cerita soal cowok ngejar cewek, eh tiba-tiba Masnya itu datang. Kebetulan banget. Saya jadi kebawa aja.” “Tapi kasus kami beneran beda, Pak. Enggak ada hubungan romantis. Murni atasan dan bawahan, kasarannya gitu.” “Belum aja, mungkin, Kak. Masih proses. Enggak pakai pacaran, langsung jadi suami istri.” “Ih, Bapak ini! Lama-lama beneran saya bintang jelek, ya!” “Eh, jangan-jangan. Kakak ini enggak bisa diajak bercanda.” “Habisnya lagi capek gini sensitif, Pak. Apalagi dia kemarin baru aja marahin saya habis-habisan. Jadi kesel.” “Nah, kan! Pasti ada sesuatu. Sesuai perkiraan saya.” “Enggak! Udah, ah!” Akhirnya, ojek pun tiba di depan rumah. Si driver langsung tersenyum begitu aku melepas helm. Ini helm-ku, jadi tidak kuberikan pada driver. Aku tetap bawa helm sendiri karena lebih terjaga kebersihannya. “Sekali lagi saya minta maaf, ya, Kak. Saya enggak bermaksud ngeledek. Tadi berbagi cerita aja yang kebetulan agak mirip sama kakaknya dan dokter itu.” “Enggak papa. Tapi Bapak jangan sembarangan kaya gitu ke orang lain. Untung saya lumayan santai. Tadi saya juga cuma bercanda soal rating jelek. Kalau ketemu orang yang beneran serius, Bapak bisa kena rating jelek beneran.” “Hehe .. iya, juga, ya? Maaf, maaf. Ngomong-ngomong, rumah kakak sebesar ini, kenapa naik ojek?” “Biar cepat.” “Oh … gitu. Ya sudah, Kak. Saya pulang dulu.” “Terima kasih, Pak.” “Sama-sama.” Akhirnya, aku membuka pintu gerbang dan segera masuk. Namun, baru beberapa langkah, aku sudah ingat kalimat driver ojek tadi. “Belum aja, mungkin, Kak. Masih proses. Enggak pakai pacaran, langsung jadi suami istri.” Aku buru-buru menggeleng. Aku juga refleks bergidik. “Enggak, enggak. Amit-amit punya suami galak tukang marah-marah! Mana tingginya kaya jerapah!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN