6. Info Valid

1995 Kata
“Jadi, Dokter Arga dan Dokter Elin itu kakak dan adik tingkat waktu SMA. Terus, Dokter Elin itu suka banget sama Dokter Arga. Udah jadi rahasia umum saat mereka sekolah.” Info dari Salma terdengar sangat valid. Pasalnya, dia mengatakan itu sembari membaca pesan dari temannya. Anak ini memang selalu ada cara untuk mengulik informasi. Link-nya banyak sekali. “Ini beneran fix kaya gitu?” “Iya, fix. Aku udah cari tahu lewat teman dan temannya teman.” “Kok bisa, sih, kamu sampai tahu segitunya? “Itu enggak penting lagi. Yang penting, rasa penasaranmu terjawab. Jadi, dugaanmu sepertinya benar. Kemarin itu kamu hanya diperalat. Ya … meski cuma dikit, sih. Fikri juga termasuk diperalat sekalipun cuma nyebut nama.” “Hm … paham, paham. Artinya, cinta Dokter Elin bertepuk sebelah tangan. Dokter Arga enggak suka. Kalau suka, enggak mungkin, dong, buru-buru menghindar?” Soal Dokter Arga yang mendadak klarifikasi soal ‘cuma teman lama’, sengaja tidak kusinggung pada Salma. Toh intinya sama saja. “Kabarnya emang gitu, Ris. Sejak awal sampai detik ini bertepuk sebelah tangan. Dokter Arga itu tipe yang lurus banget, katanya. Dia punya ambisi besar mau jadi dokter spesialis bedah. Makanya dunia dia isinya hanya belajar, belajar, dan belajar. Berhasil, kan? Di saat umurnya belum tiga puluh udah lulus spesialis. Aku dengar, umurnya masih dua delapanan akhir— mau dua sembilan. Atau malah udah dua sembilan, ya? Intinya itulah. Dua delapan akhir atau dua sembilan awal.” “Satu tahunan di atas Mas Juna, dong? Dia dua tujuh, hampir banget dua delapan.” “Iya, kurang lebih beda setahunan sama kakakmu.” “Ya udahlah. Selisih umur dia dan Mas Juna enggak penting.” “Yeee! Yang nyinggung duluan kan kamu!” Aku meringis. “Refleks.” Setelah obrolan tentang Dokter Arga dan Dokter Elin selesai, aku melanjutkan makan satai lontong yang kebetulan tinggal sedikit. Satai ini dibeli Salma sekalian tadi dia berangkat. “Aku seneng banget hari ini!” Datang-datang, Fikri langsung menjatuhkan diri di kasur lantai yang ada di sudut. “Akhirnya, setelah penantian panjang, e*k-nya Pak Mijo enggak kaya batu lagi. Udah agak lunak.” “Itu yang kemarin kamu bilang udah enggak e*k berhari-hari, Fik?” tanyaku sembari mengambil satai terakhir dan mengunyahnya. “Iya, Ris. Lega banget, aku.” Ngomong-ngomong, Fikri ini tidak sekampus denganku, tetapi masih satu angkatan. Dia juga telat koas, entah karena apa. Seminggu ini kami menjadi dekat karena humornya sama denganku dan salma. Beda dengan teman lain yang notabene adik tingkat, entah kenapa jadi ada sedikit jarak. Bukan berati jauh. Hanya tidak sedekat itu saja. Mereka juga memanggil kami bertiga dengan sebutan ‘Kak’. Bisa jadi ini salah satu alasan jarak itu tercipta. “Ya baguslah. Ada progres, jadi ada yang dilaporin.” “DPJ-nya juga enak, sih. Setidaknya, ini awal yang bagus.” Setelah makananku habis, aku keluar ruangan. Aku ingin membeli air mineral di kantin sebelah. Air mineralku habis, sedangkan aku kurang cocok dengan air mineral yang ada di dispenser dalam ruangan. Aku baru saja selesai membayar dan hendak kembali ketika tiba-tiba aku melihat Dokter Arga keluar dari gedung sebelah. Gedung sebelah bukan gedung yang berhubungan dengan spesialis bedah, melainkan gedung forensik. “Ngapain dia di sana? Apa dia pernah bedah pasien kriminal— eh, beda jalur, ding!” Entah dorongan dari mana, tiba-tiba saja aku ingin menghampirinya. Aku berlari agar bisa menghadangnya di tikungan. Dokter Arga tampak kaget begitu melihatku. Aku sendiri langsung tersenyum. “Selamat siang, Dok!” “Selagi saya masih baik, jangan bertanya yang tidak ada hubungannya dengan koas.” Aku berdehem, lalu mengangguk. “Baik. Saya hanya menyapa.” “Jangan lupa, senin depan presentasi tugas yang sudah saya kasih. Penjelasan dari DPJ pasien harus dicatat lengkap.” “Baik, Dok. Saya akan sampaikan ke teman-teman.” Sejujurnya, ada grup lagi untuk kelompokku. Tentu saja, Dokter Arga dan Mas Gala tidak diikutsertakan. Grup kedua dibuat untuk membahas bahasan yang lebih santai saja. Ya, biasalah. Aku rasa, yang lain juga begini. Di grup itu, kami bisa berdiskusi dengan jauh lebih bebas. Dan aku yakin, Dokter Arga tahu tentang ini. “Ya sudah. Kamu minggir.” Aku sedikit mundur, tetapi aku sengaja memberi tatapan curiga. Aku menatap gedung forensik, lalu menatap Dokter Arga bergantian. “Apa maksudmu? Dokter Forensik di sini teman saya sendiri.” “Ah … jadi begitu. Saya enggak ngomong apa-apa, padahal.” “Jangan menebak yang tidak-tidak.” “Enggak, saya enggak menebak-nebak.” Dokter Arga tiba-tiba menatapku tajam, membuatku langsung menunduk dan mengangguk hormat. “Saya permisi, Dok.” Aku balik badan, lalu ngacir ke ruanganku. Sebelum benar-benar masuk, aku menyempatkan untuk menatap Dokter Arga. Dia masih bergeming di tempatnya dan masih menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Kenapa dia? *** Jakarta dan kemacetannya. Aku sudah sangat lelah, tetapi perjalanan ini membuatku semakin lelah. Badan sudah pegal di mana-mana, mata rasanya sudah sangat berat. Aku mulai berpikir lain kali lebih baik naik ojek saja. Kenapa ojek, bukan taksi? Karena ojek biasanya cenderung lebih cepat. Selain gerak lebih gesit, driver juga bisa saja cari jalan tikus asal mereka hafal jalan. Coba kalau mobil? Yang ada hanya pasrah. Seperti sekarang ini contohnya. Sudah setengah jam lebih aku masih terjebak di lampu merah panjang. Sejak tadi gerak macam siput. Bayangan berendam lalu tidur di ranjang yang empuk sepertinya masih lama. Aku harus sabar. Di saat aku masih diam menatap jalan, tiba-tiba ponselku bergetar. Ada panggilan masuk dari Mas Juna. “Hallo, Mas?” “Tadi bilang pulang jam delapan. Ini udah mau setengah sepuluh kok belum sampai juga? Mama udah nanyain kamu terus. Apa mobil beliau ada masalah?” “Mobil Mama aman, tapi jalanan maceeet! Malam minggu, nih!” “Oh, iya. Aku lupa kalau ini malam minggu.” “Besok-besok kalau aku berangkat pagi ikut Mas, deh. Pulangnya naik ojek. Kalau misal Mas kelamaan, pulang pergi aku naik ojek aja.” “Tiba-tiba banget jadi ojek? Udah kapok naik mobil sendiri? Enggak ngeyel lagi?” “Naik ojek lebih cepet, kurasa.” “Kenapa enggak naik motor sendiri aja? Kan ada yang nganggur. Kamu juga biasanya kaya pembalap.” “Poinnya adalah, aku udah capek, Mas. Jadi pengen disetirin plus yang cepet. Ya naik ojek udah paling oke.” “Hm … masuk akal. Tapi panas.” “Ya konsekuensi. Tapi kalau malam, kan, enggak panas.” “Tapi, Dek, ojek juga tetap kena macet—” “Tapi tetap enggak selama mobil yang cuma bisa pasrah. Driver biasanya cari celah.” “Iya, sih.” “Pengen nangis aja rasanya. Di rumah sakit udah capek, masih harus perang sama macet.” “Ya udah, kalau aku berangkat pagi, aku kabarin. Aku anter ke rumah sakit. Toh searah ini.” “Oke, Pak Bos.” “Kalau gitu, teleponnya aku matiin sekarang. Ini aku telepon cuma buat mastiin kamu baik-baik aja. Biar Mama enggak rewel.” “Kenapa Mama enggak telepon sendiri?” “Hape Mama lagi mati.” “Oh. Ya udah, ya udah. Ini mau jalan lagi.” “Oke.” Setelah terbebas dari kemacetan, aku baru bisa bernapas lega. Sebelum benar-benar pulang, aku berhenti di sebuah warung tenda yang menjual nasi goreng. Aku lapar, dan aku sedang ingin makan makanan satu ini. Nasi goreng ini langganan Papa. Papa sering beli kalau pulang dari kampus. Yang nasi goreng kambing enak sekali. Tidak bau. “Hallo, Pa?” Aku sengaja menelepon Papa barangkali beliau ingin. “Kenapa, Ris?” “Aku lagi beli nasi goreng langganan Papa. Titip atau enggak? Atau Papa udah makan?” “Udah makan, tapi enggak nolak kalau dibeliin. Perut Papa masih muat.” “Oke. Mau yang kambing?” “Lagi bosen itu. Yang seafood aja. Cabainya cabai hijau.” “Enggak pedas, kan, Pa?” “Enggak.” “Besok diganti uangnya, ya, Pa. Ehehehe ….” “Ya.” “Yang banyak, lho, Pa.” “Ya.” Aku tersenyum. Tidak usah berharap balasan panjang dan lebar dari Papa. Sekali beliau bilang ‘Ya’, ya sudah. Beliau akan menepati janji. Soal nominal, biar beliau saja yang menentukan. “Kamu suka beli nasi goreng di sini juga ternyata.” Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba suara itu terdengar cukup dekat di telingaku. Aku refleks menoleh, lalu mendongak. Buset! Dokter Arga lagi? Ini orang ada di mana-mana! “I-iya. Ini langganan Papa saya.” “Oh.” Dokter Arga mengangguk. “Pak, yang nasi goreng kambing nambah satu lagi sama seafood. Pakainya cabai hijau semua.” Aku meralat pesanan. “Siap, Kak!” “Saya nasi goreng kambingnya tiga, Pak. Dua pedas, satu enggak. Yang enggak pedas, cabai hijau.” “Seperti biasa, Pak Dokter?” Dokter Arga tersenyum. “Iya.” Dokter Arga mundur, lalu duduk di kursi yang lokasinya paling dekat dengan kasir. Aku sendiri memilih untuk tetap berdiri. Saat aku melirik Dokter Arga, dia menunjuk kursi di depannya dengan dagu. Dia melakukan itu sampai dua kali. Aku berdehem pelan, lalu duduk— mengikuti instruksinya. “Dokter Arga beli tiga untuk siapa aja?” tanyaku memecah keheningan. Sebenarnya, di sekeliling kami tidak sepi, hanya saja di antara kami benar-benar terasa sekali heningnya. “Saya, Ayah, dan Ibu.” “Dokter Arga anak tunggal, ya?” “Enggak.” “Terus?” Dokter Arga tidak menjawab. Yang ada, dia malah melempar pandangannya pada dua pembeli yang makan di tempat. Setahuku, pembeli nasi goreng di sini memang lebih banyak yang take away. Seringkali banyak antrian, tetapi tempat duduk tidak penuh. Dan aku bisa paham soal ini. Selain tempatnya kurang mendukung— karena kurang lebar, kalau dibungkus juga menurutku porsinya lebih banyak. “Dokter Arga punya kakak atau adik?” tanyaku lagi. Aku tidak betah kalau diam-diaman, padahal duduk sedekat ini. “Adik.” “Cowok atau cewek?” “Cowok.” “Seumuran siapa?” “Kamu.” “Oh, ya? Kalau gitu, pasti belum nikah. Kok enggak dibeliin sekalian—” “Kak Risa!” “Saya, Pak!” Aku langsung berdiri dan menghampiri kasir. Aku membayar, lalu kembali menghampiri Dokter Arga. Sebenarnya aku masih ingin dengar jawaban Dokter Arga atas pertanyaanku tadi, tetapi ya sudahlah. Keadaan sudah tak lagi memungkinkan. “Saya duluan, ya, Dok. Permisi …” “Ya.” Aku buru-buru menghampiri mobil, lalu masuk. Sesampainya di dalam, aku mendadak diam cukup lama. “Kok belinya cuma tiga? Adiknya enggak dibeliinkah— ah, paling adiknya ngekos atau tinggal di luar kota. Eh, kalau seumuranku— oh iya, paling lagi S2.” Aku menggeleng pelan. “Kenapa aku malah mikirin ini, sih? Enggak penting banget.” Aku belum sempat pergi ketika Dokter Arga keluar dari warung nasi goreng dan masuk mobilnya. Aku mendadak termenung melihatnya. “Waktu itu dia bilang akan balas dendam. Tapi, kok, sejauh ini aman aja?” Memang, beberapa kali Dokter Arga sengaja membuatku senewen. Salah satunya jelas soal dia yang memanggilku ke ruangannya hanya untuk mengatakan terima kasih, padahal jarak ruangan kami cukup jauh. Ada beberapa lagi keisengan yang lain, tetapi menurutku masih bisa ditolerir. “Apa ucapannya waktu itu beneran cuma gertakan? Atau memang belum aja?” aku kembali menggeleng. “Enggak, enggak. Udahlah! Jangan mikir yang aneh-aneh.” Kurang lebih sepuluh menit kemudian, aku sudah tiba di rumah. Sebelum turun, aku mengecek pesan. Ternyata ada pesan beruntun dari Salma. Pesan itu sudah dikirim sejak pukul delapan lebih sepuluh. Artinya, saat aku baru saja keluar gerbang rumah sakit. Salma 20.10 Lu pulang enggak bilang-bilang, woy! Aku ada kabar dari Mita Info valid, soalnya dia dapat dari kakaknya yang juga dokter di sini. Besok aku cerita. Aku merinding 20.21 Eh, sekarang aja, ding! Hallo, Ris? Masih di jalan? Kok enggak dibaca? Fix, aku cerita sekarang Kata Mita, Dokter Arga punya adik cowok Tapi udah meninggal Katanya kecelakaan kisaran empat tahun lalu Jujur, aku langsung inget kamu Kamu juga hampir kehilangan nyawa saat itu. Tiba-tiba saja, aku merasa dadaku seperti dihantam sesuatu. Dadaku terasa nyeri, jadi segera kupegangi. “Ih, Salma mah! Kenapa malah bahas kenangan menyakitkan itu malam ini? Udah bener cerita besok!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN