Seperti yang sudah Dokter Arga perintahkan, pagi-pagi aku datang ke ruangannya dan mengambil map hijau berisi data yang harus diisi oleh kami para peserta koas di bawah bimbingannya. Aku langsung membagikan lembar di dalam map itu pada kelima temanku.
“Jadi kamu dipanggil waktu itu buat ini, Ris?” tanya Salma di tengah-tengah kami mengisi data.
“Iya, buat ini,” jawabku sekenanya.
“Mukamu kenapa, Ris? Asem bener.”
Aku menggeleng pelan. “Enggak papa. Lagi bad mood aja. Mau haid, paling.”
“Oh …”
Pagi ini entah kenapa mood-ku benar-benar buruk. Padahal Dokter Arga tidak menyuruh apa pun lagi selain soal map ini, tetapi perasaanku tidak enak. Aku takut kalau kedepannya dia akan lebih sering memanfaatkanku tanpa konteks.
Sebetulnya, aku tidak keberatan sama sekali jika dimintai tolong ini dan itu. Apalagi sekadar membantu mengumpulkan data teman-teman. Yang membuatku kesal adalah caranya yang semena-mena.
Tanpa minta tolong, sedikit memaksa, juga mengancam. Benar-benar menyebalkan!
“Oh iya, Ris. Aku udah berhasil nemuin i********: Dokter Arga. Buseeeet! Gantengnya luar biasa.” Salma mulai bersuara lagi. Sejak tadi suara kami pelan— nyaris seperti bisikan— karena teman sekelompok masih fokus mengisi data.
“Enggak usah lebay, deh! Aku yang lihat langsung aja ngerasa biasa.”
“Lihat langsung? Kapan?”
“Ya waktu dipanggil itu dia sempat lepas masker bentar.”
“Ih! Curang! Kamu nyuri start!”
“Nyuri start apaan, sih! Sono kejar. Toh masih single, kan?”
“Kamu enggak minat, emang?”
“Enggak! Sama sekali!”
Mata Salma seketika menyipit. “Bentar, bentar! Aku mencium sesuatu yang enggak beres kayaknya. What’s wrong with you, Darling?”
“Pengen banget cerita, tapi males karena panjang. Lagi enggak mood ngomong banyak.”
“Intinya aja, deh.”
“Sejujurnya, hari terakhir pembekalan itu bukan kali pertama aku ketemu Dokter Arga. Sebelum itu, kami pernah ketemu dan posisinya enggak banget. Intinya, aku bikin dia marah yang bener-bener marah. Jadi, dia kayaknya ada dendam sama aku. Nih, pagi ini contohnya. Belum-belum aja udah disuruh-suruh.”
“Lah! Disuruh gini doang, mah, aku juga mau. Sambil caper dikit.” Salma terkikik.
“Poinnya bukan itu, Ma!”
“Terus?”
“Kamu enggak akan paham kalau enggak tahu duduk perkaranya.”
“Ya makanya cerita.”
“Kita di sini buat belajar, bukan buat ngegosip. Ngerti?”
“Galak bener, lu!”
“Jangan bahas Dokter Arga lagi. Berharap ada sesuatu sampai aku dipindah kelompok.”
“Eh, jangan! Nanti aku sendirian. Aku dengerin kamu cerita, deh. Kapan?”
“Enggak tahu.”
“Kamu nginep aja di apartemenku nanti malam. Mau?”
Aku terdiam sejenak. Kulirik Salma, dia menaik turunkan alisnya.
“Apart-ku lumayan deket sama rumah sakit.”
“Besok malam, deh. Biar aku nyiapin amunisi dulu.”
“Oke, boleh.”
Kami baru saja diam di saat Dokter Ryan tiba-tiba datang. Dia juga dokter pembimbing utama, tetapi pembimbing kelompok sebelah. Barangkali Dokter Arga minta tolong Dokter Ryan untuk mengurus anak-anaknya hari ini.
Baiklah, aku harus mulai fokus. Lupakan soal kekesalanku. Aku tidak boleh melalui hari pertama koas dengan perasaan yang buruk.
***
“Hah? Serius, Ris? Kok bisa-bisanya kamu itu!”
Salma menatapku kaget, heran, dan tak habis pikir. Dia bahkan sampai menutup mulutnya, tetapi dengan jelas aku masih bisa melihat dia menganga.
“Kok kamu kepikiran buat nendang itunya?”
“Ya aku kesel aja. Soalnya dia sempet mau kabur. Terus aku enggak mau terkesan matre juga. Soal seratus juta itu aku cuma bercada. Ya asbun doang, gitu.”
“Terus kenapa enggak kamu terima aja dia yang mau benerin hape-mu? Enggak martre kalau itu.”
“Udah beda, ih, sparepart-nya. Mending minta hape baru lagi ke Papa. Eh, itu juga masih bisa dipakai, sih. Cuma retak aja. Lagian, Ma … kalau aku iyain, nanti berurusan lebih panjang dan ribet, sedangkan waktu liburanku terbatas. Itu aja aku ngeluangin waktu banget. Makanya milih ke Jogja yang aku bisa apa-apa sendiri. Daripada enggak kasih pelajaran, aku refleks aja nendang itunya.”
“Sumpah sakit banget, lho, kalau itunya ketendang.”
“Kok kamu tahu? Kaya punya aja.”
“Sepupuku pernah sampai nangis waktu itunya kena bola. Padahal enggak gitu keras. Lagian kamu kaya enggak pernah melajarin bagian itunya cowok aja. Di sana banyak saraf dan enggak ada pelindung tulang. Sakitnya bisa yang banget-banget. Jujur, nih, aku enggak heran kenapa Dokter Arga sedendam itu sama kamu.”
“Kok kamu malah belain dia?”
“Ya kamu keterlaluan karena nendang itunya. Coba kalau yang kamu tentang itu kaki, kek … perut, kek … atau tangan? Maybe dia enggak akan sekesal itu. Dan ya … itu area sensitif dia. Aset yang harus dia jaga dengan baik. Malah kamu tendang seenak jidat.”
“Aku udah minta maaf, tapi dia enggak ngindahin. Dan suruhan dia kemarin itu baru permulaan, katanya. Aku enggak tahu besok-besok dia akan sekejam apa.”
“Tapi aturan dia bisa profesional, sih. Kan tentang menendang itu urusan pribadi, sedangkan menjadi dokter pembimbingmu adalah urusan pekerjaan. Dia mengemban kepercayaan instansi.”
“Jadi gimana, Ma? Apa aku ngajuin ganti pembimbing aja?”
“Jangan! Belum tentu kalau ganti, dokter pembimbing yang baru lebih baik dari dia.”
“Terus gimana? Masa iya aku diam aja diperlakukan semena-mana?”
“Semena-mena gimana, sih? Dia baru nyuruh kamu sekali. Besok-besok belum tentu. Siapa tahu yang dia bilang ‘ini baru permulaan’ itu hanya gertakan aja.”
“Kalau misal, nih, kemungkinan buruknya dia makin menjadi-jadi, gimana?”
“Kita lihat dulu perkembangannya. Kalau dia kalem dan nyuruh kamunya masih batas wajar atau ngeselin dikit, kamu banyak sabar aja. Toh senior galak atau semena-mena enggak cuma dia. Malah ada yang suka semaunya sendiri tanpa alasan yang jelas. Tapi, kalau semakin lama dia semakin enggak terkendali, kamu baru protes. Protesnya pelan-pelan, ikuti ritmenya.”
“Kamu gampang ngomong gitu—”
“Jadi aku harus ngomong apa? Kita sebagai dokter koas, mau enggak mau harus tahu diri. Kamu butuh dia. Kamu harus bisa nurunin ego. Atau biar hatimu lebih lepas, lupakan kejadian di pantai dan anggap aja kamu apes dapat atasan galak. Jadi, alih-alih terus terbebani soal tendangan itu, kamu lebih fokus ke hal lain. Seenggaknya, satu bebanmu berkurang. Toh kamu udah minta maaf yang bener-bener tulus, tapi dianya aja yang belum bisa maafin kamu. Dia juga ada salah, enggak benar seratus persen.”
Aku mencerna baik-baik kalimat Salma, lalu mengangguk. “Baiklah. Untuk saat ini, aku ikuti saranmu. Lain kali aku pikir ulang, tergantung gimana dia bersikap kedepannya.”
***
Keesokan hari …
Pagi ini Dokter Arga sudah menyuruhku ke ruangannya. Aku yakin seratus persen, dia akan menanyakan soal data yang kemarin. Entah bagian mana yang akan dia bahas karena menurutku semuanya sudah beres. Aku sudah mengecek berulang kali, tidak ada yang kurang.
Aku mengetuk pintu, lalu terdengar sahutan ‘masuk’ dari dalam. Begitu masuk, aku mengangguk pada dokter lain yang juga berada di ruangan itu. Kebetulan, satu ruangan memang diisi beberapa dokter. Ruangannya cukup luas, jadi tiap dokter tetap punya space tersendiri. Pembatasnya pun jelas.
“Ehm!” Aku berdehem pelan. “Gimana, Dok? Ada yang bisa saya bantu?”
“Silakan duduk.”
“Baik.”
Hening sesaat. Dokter Arga sedang mengetik sesuatu di komputernya.
“Terima kasih untuk yang kemarin. Semuanya sudah lengkap.”
“Sama-sama, Dok.”
“Oke. Kamu boleh keluar.”
“H-hah?” aku melongo. “K-keluar?”
“Kenapa? Kamu mau berlama-lama di sini?”
“Dokter Arga manggil saya ke sini hanya untuk bilang terima kasih?”
“Kalau bukan? Memangnya untuk apa lagi?”
Aku semakin melongo. Tanpa sadar, tanganku refleks mengepal.
Bagaimana tidak? Untuk pergi ke ruangannya, aku harus jalan agak jauh dan mengenyampingkan pekerjaanku yang belum beres. Sebelum ke sini, aku sedang visit pasien di bangsal yang lokasinya ada di sudut. Dia bahkan menyuruhku untuk cepat dan jangan sampai telat. Kupikir ada tugas penting. Tak tahunya hanya begini!
“Kenapa ekspresimu gitu? Mau tetap di sini? Saya mau keluar—”
“Kenapa tidak disampaikan lewat chat saja, Dok? Itu sudah sangat cukup.”
“Saya sangat menghargai usahamu, Risa. Jadi saya ingin berterima kasih secara langsung.” Dokter Arga tersenyum, dan aku tahu kalau senyumnya itu penuh dengan kepuasan. Jelas dia dengan kesadaran penuh sedang mengerjaiku.
“Ya sudah. Sama-sama, Dok. Saya jadi terharu.”
“Memang harus. Jarang-jarang saya begini.”
Dokter Arga berdiri, lalu keluar begitu saja. Alhasil, aku ikut berdiri dan mengekor di belakangnya.
Dalam hati aku terus ngedumal dan menyumpah serapah. Sayang sekali, aku tidak bisa menyuarakannya.
“Oh, iya.” Dokter Arga tiba-tiba berhenti. Aku ikut berhenti dan memaksakan diri untuk tersenyum.
“Iya, Dok? Gimana?”
“Nanti jam satu saya ke ruangan kalian. Saya akan lihat laporan untuk dua hari lalu, kemarin, dan hari ini. Saya lupa memberi info di grup.”
“Sudah disampaikan Mas Gala, Dok. Tapi jamnya memang belum. Habis ini saya kasih tahu teman-teman.”
Bicara Mas Gala, dia adalah dokter residen junior. Dia juga asisten Dokter Arga yang waktu itu disinggung. Namanya Janggala Rakyandanu.
Soal asisten ini sepertinya bukan asisten resmi karena setahuku tidak boleh ada transaksi di luar rumah sakit. Namun, pada prakteknya, jika tugas asisten ini masih dalam ranah pendidikan dan tidak keluar jalur serta tidak ada unsur pemaksaan, biasanya tidak terlalu dipermasalahkan.
Yang menjadi masalah besar kalau ada unsur penyalahgunaan kekuasaan atau unsur bullying. Ini bisa kena teguran keras dari rumah sakit. Bahkan paling fatal bisa kena blacklist.
“Oh, oke.”
Dokter Arga masuk lift, aku pun ikut masuk lift. Aku tidak tahu manusia ini mau ke mana, tetapi sejauh ini kami masih searah. Dokter Arga menekan tombol satu, jadi aku tidak perlu menekan lagi karena tujuanku juga lantai satu.
Aku berdehem pelan, lalu melengos. Jujur saja, aku agak salah fokus dengan wangi yang menguar dari badan Dokter Arga.
Sebagai dokter, memakai wewangian memang diperbolehkan, tetapi ada batasan. Bahkan ada saat-saat tidak boleh sama sekali. Kebetulan, wangi yang menguar dari badan Dokter Arga sangatlah lembut dan enak. Tidak mengganggu sedikit pun. Bahkan menurutku sedikit lebih enak dari wanginya Mas Juna— meski sama-sama enak. Ini kalau menurutku.
Aku tidak tahu wangi ini muncul karena parfum, sabun, body mist, atau mungkin body lotion. Yang jelas, wanginya benar-benar menyita perhatianku.
“Ish, apa-apaan aku ini.” Aku menggeleng keras.
Saat aku melirik, Dokter Arga sedang menatapku tajam. Mungkin dia heran karena aku tiba-tiba geleng-geleng kepala.
Akhirnya, lift berhenti. Kami tiba di lantai satu. Dokter Arga keluar lebih dulu, baru aku menyusul kemudian. Ternyata, kami masih satu arah.
Mau ke mana dia sebenarnya?
Saat ini aku memutuskan untuk jalan pelan dan agak jaga jarak. Aku tidak ingin terkesan mengekorinya terus menerus.
“Mas Arga!” panggilan itu membuatku berhenti dan menoleh. Ternyata ada seorang dokter perempuan yang sedang melambaikan tangan.
“Eh, Dok.”
“Mau ke mana, Mas?”
“Mau ke ruangan Dokter Ravi. Kenapa?”
“Lho? Kok di sini? Kan ruangan dia di utara sana.”
“Mau ketemu Bu Yeti dulu, ambil obat punya Ibu. Biar nanti enggak bolak-balik.”
“Oh …”
Aku memutuskan jalan cepat dan melewati mereka berdua. Namun, tepat ketika aku lewat, Dokter Arga memanggilku.
“Risa!”
“I-iya, Dok?”
“Fikri sudah berangkat?”
Hah? Random sekali kenapa tiba-tiba menanyakan Fikri?
“Sudah sejak tadi, Dok. Dia malah datang lebih awal dari saya.”
“Saya mau ke ruangan kalian dulu kalau gitu.”
“Baik.”
Dokter Arga kini menatap temannya. Ternyata namanya Elin. Aku tahu dari name tag di jas putihnya.
“Saya duluan, ya. Saya baru ingat ada keperluan sama anak koas.”
“Oh … oke, Mas.”
“Dokter Elin, saya harap kalau lagi di rumah sakit jangan manggil Mas. Apalagi di depan anak koas. Pak Sapto juga sudah negur soal ini.”
“A-ah … iya. Saya lupa terus. Maaf, Mas— eh, Dok.”
“Ya.”
Dokter Arga kini menatapku, lalu menunjuk depan dengan dagunya. Aku menatapnya bingung.
“Kamu jalan dulu!”
“O-oh, iya.”
Sebelum pergi, aku menyempatkan untuk mengangguk pada Dokter Elin, sekadar basa-basi. Baru setelah itu, aku berjalan cepat meninggalkannya.
“Risa!”
“Iya?”
Dokter Arga menatap belakang, Dokter Elin sudah pergi. Dia tiba-tiba tersenyum, tetapi senyumnya itu lebih untuk dirinya sendiri.
“Kenapa, Dok?”
“Saya enggak jadi ketemu Fikri. Saya mau ke apotek.”
“Kenapa enggak jadi?”
“Kenapa harus jadi?”
“Tadi kenapa tiba-tiba mau ketemu Fikri, sekarang tiba-tiba berubah hanya dalam beberapa detik?”
“Bukannya hati manusia memang sangat mudah berubah?”
“Memang iya, tapi ini bukan saatnya bahas hati—”
“Terima kasih.”
“Hah?”
Dokter Arga sudah balik badan, lalu belok menuju lorong arah apotek. Kini, aku berdiri mematung dengan perasaan bingung.
“Apa maksudnya tiba-tiba bilang makasih— ah! Jangan-jangan aku cuma diperalat buat menghindar dari Dokter Elin? Memangnya apa hubungan Dokter Arga sama Dokter Elin? Kenapa Dokter Elin manggil dia Mas?”
Ponsel di saku jasku tiba-tiba bergetar. Aku segera meraihnya. Ternyata, Dokter Arga mengirimiku pesan.
Manusia Jerapah
Kenapa malah bengong di jalan?
Jangan mikir yang tidak-tidak.
Cepat kembali lanjutkan tugasmu!
Aku langsung menatap arah apotek. Dokter Arga sedang antri di sana.
Dari arahku berdiri saat ini, dia menunjuk arah bangsal. Seolah-olah mengisyaratkan agar aku cepat kembali bertugas. Akhirnya, aku menganguk.
Namun, belum sempat aku sampai tujuan. Pesan dari Dokter Arga kembali masuk.
Manusia Jerapah
Jangan berani bergosip tentang saya dan Dokter Elin
Dia bukan siapa-siapa saya
Hanya teman lama.
Aku membaca pesan itu sampai beberapa kali. “Terus kenapa kalau cuma teman lama? Aku bakal peduli, gitu?”
***