4. Manusia Jerapah

1787 Kata
“D-dokter Arga?” Dokter Arga tiba-tiba mendorongku, aku pun langsung melepas kedua tanganku dari pinggangnya. Atmosfer kikuk dan canggung tak terelakkan lagi. “Rupanya kamu suka sekali menampakkan diri di depan saya.” “Hah? Suka? Suka apanya? Ini kebetulan.” “Tanpa kebetulan pun kita akan sering bertemu di rumah sakit.” “Ya mana saya tahu kalau kita akan bertemu di sini. Orang saya cuma mau ke toilet. Permisi—” “Tunggu!” Aku gagal kabur. Dokter Arga lebih dulu menahan lengan bajuku. “Saya mau ke toilet, Dok. Mau ikut?” Tatapan Dokter Arga menajam. “Kalau mau ngajak ngobrol penting, nanti saja—” “Saya enggak selonggar itu sampai mau ngajak ngobrol penting di sini. Saya cuma mau tanya satu pertanyaan dan kamu jawab dengan singkat saja. Enggak sampai sepuluh detik.” “O-oke. Apa?” Aku memang kebelet, tetapi tertunda sepuluh detik tak masalah. Aku masih bisa menahannya. “Apa yang kamu lakukan di makam sore itu?” “Makam? Oh, yang kemarin itu. Ya apa lagi? Sewajarnya ke makam, paling doa dan nabur bunga.” “Nabur bunga?” “Iya, kan? Masa iya, saya nabur berlian?” “Saya tanya serius—” “Saya juga jawab serius. Seyogyanya ke makam itu apa kalau bukan berdoa dan nabur bunga segar di atasnya?” “Ya sudah. Sana pergi. Sampai koas tiba, jangan tampakkan wajahmu di depan saya.” “Iya.” “Jangan hanya iya-iya saja.” Aku mendongak, lalu mencebik pelan. “Kalau bisa juga saya enggak mau ketemu Dokter di sini.” “Saya maafkan ngedumalmu itu karena ini bukan di rumah sakit.” “Kalau Dokter masih muak lihat saya, saya benar-benar berharap dilempar ke kelompok lain. Serius!” “Sudah saya bilang, tidak semudah itu. Semua sudah diatur.” “Kalau begitu, semoga Dokter Arga diberi kesabaran yang melimpah ruah karena sering lihat saya.” “Kamu—” “Permisi, Dok!” Aku menunduk sejenak, lalu ngacir ke toilet. Aku menyempatkan menoleh, Dokter Arga juga menoleh. Dia menatapku dengan tatapan yang masih tak bersahabat. Persis seperti saat di rumah sakit. Ah, sudahlah. Jangan pikirkan orang ini lagi. Lebih baik aku segera menuntaskan urusan toilet sebelum Mama marah karena aku terlalu lama. *** Beberapa hari ini aku selalu bertanya-tanya pada diri sendiri. Sebenarnya apa yang Tuhan rencanakan padaku sampai-sampai aku harus mengalami semua ini? Ini masih tentang serangkaian masalahku dengan Dokter Arga. Dari kena bola sampai tangan memar, memberi pembalasan yang agak berlebihan, sampai kini si ‘pelaku’ sekaligus ‘korban’ akan memegang peran penting dalam salah satu faseku menjemput gelar dokter. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapaaa? Aku meremas rambutku kuat, lalu memejamkan mata. Kuusap dadaku berulang kali agar lebih tenang. Aku masih teringat ekspresi kesal Dokter Arga, baik itu saat di rumah sakit ataupun saat di mall. Dia benar-benar terlihat sangat tidak suka padaku. Kira-kira, apa yang akan dia lakukan besok kalau kami sering terlibat? Apa mungkin dia akan bertindak semena-mena? Atau malah dia tidak akan menganggapku ada? “Jelek banget itu muka!” suara Mas Juna membuatku yang tadinya tidur telentang langsung berbaring miring menghadap sandaran sofa. “Lah, malah ngumpet!” “Siapa juga yang ngumpet!” “Kayaknya beberapa hari yang lalu kamu bahagia banget mau pembekalan koas terakhir. Kok sekarang kelihatan bad mood? Apa bad mood-mu bukan tentang koas?” “Tentang koas.” “Terus?” “Dikasih tahu pun Mas Juna enggak akan ngerti.” “Lah!” “Dah! Jangan tanya! Aku enggak mau jawab!” “Ya udah, terserah.” Bicara Mas Juna, dia adalah kakakku satu-satunya. Kami hanya dua bersaudara, dia sulung dan aku bungsu. Beda umur kami empat tahunan lebih— tidak sampai lima tahun. Kalau keluar dengannya, jarang yang mengira kami ini adalah kakak adik. Pasalnya, kami tidak terlalu mirip. Malah dia lebih mirip dengan sepupu. Jangan tanya kenapa, aku pun tidak tahu. “Eh, Dek …” “Apa?” “Balik badan dulu.” “Enggak mau—” “Cepet! Penting!” Akhirnya, aku patuh. Kini Mas Juna sedang tersenyum. “Besok malam anter aku kondangan di rumah temen, ya?” “Lima juta per jam.” “Anjiiir, perhitungan banget!” “Juna, language!” suara Papa terdengar lantang. “Kurang-kurangi ngomong kaya gitu. Enggak baik dikit-dikit ngeluarin umpatan.” “I-iya, Pa. Kelepasan.” Aku bangun, lalu menjulurkan lidah. Aku menoleh, Papa sedang mengambil buah di kulkas. Begitu selesai, beliau langsung kembali ke kamar “Mas, aku tahu. Pasti aku disuruh jadi pacar lagi, kan? Makin sering, biaya makin mahal.” “Aku cuma males dideketin cewek enggak jelas. Orang akan lebih percaya kalau kamu itu pacarku daripada adikku.” “Ya makanya lima juta per jam. Kecil-lah itu.” “Lima juta dari berangkat sampai pulang. Aku beliin baju sama sepatu baru.” “Okay, deal! Mumpung koasku belum mulai. Kalau udah mulai, nyaris enggak bisa.” “Makanya itu. Terkahiran.” “Aku aminin, deh. Semoga lain kali Mas udah ada pujaan hati. Enggak jadiin aku tumbal terus.” “Hm!” “Mas ini JJJ.” “Hah? Apa itu je-je-je?” “Jelek-jelek, jomblo.” Mas Juna sudah bersiap menyerangku, tetapi aku langsung melompat pergi. “Papa! Mas Juna, Pa! Aku dijewer, Pa!” “Junaaa!” teriak Mama yang membuat Mas Juna mendelik. “Enggak, Ma! Fitnah! Aku enggak ngapa-ngapain. Serius!” Mas Juna bangkit dan mengepalkan tinju padaku. Aku sendiri menjulurkan lidah seperti tadi, lalu bergegas naik menuju kamarku yang ada di lantai dua. *** Aku jadi mengantar Mas Juna kondangan. Dia bilang, yang punya acara ini kakak tingkatnya saat kuliah. Dulu kenal cukup baik, katanya. Makanya dia diundang. “Tuh, lihat, Dek. Saking gantengnya Masmu, baru masuk bentar aja langsung dilirik.” “Jijay benget dengernya. Mana, mana, pada lirik? Enggak ada!” “Matanya dibuka lebar, makanya. Jangan merem terus!” “Ya mana? Orang enggak— eh, iya, ding.” “Alasan kenapa aku bawa kamu, aku risih kalau belum-belum aja mereka pada dateng kaya semut lihat gula.” “Bangga banget, Adek, Bang. Punya Abang ganteng paripurna.” “Baru sadar, emang?” Aku mencibir. “Salah banget muji orang narsis.” Selama acara kondangan berlangsung, tidak banyak yang kulakukan. Aku hanya mengikuti intruksi Mas Juna saja. Dia makan, aku ikut makan. Dia menemui temannya, aku mengekor di belakangnya. Pokoknya, aku sudah seperti itik yang takut jauh dari induknya. “Aku kebelet, Dek. Bentar, pengen ke toilet.” Mas Juna tiba-tiba berdiri. “Buat BAB?” “Iya.” “Ih, Mas ini lho! BAB enggak kenal tempat.” “Sebenarnya ini yang kutunggu. Dari kemarin sembelit.” “Ya udah. Jangan lama-lama!” “Enggak. Secepatnya aku balik.” “Ya.” Baru beberapa detik Mas Juna pergi, aku sudah melihat orang yang tidak ingin aku lihat. Dia menatapku dari kejauhan. Seketika, aku melengos. “Kok bisa kebetulan lagi? Kenapa pula Dokter Arga di sini? Yang nikah siapanya dia?” saat aku melirik ke arah Dokter Arga, dia sedang menghampiriku. Aku refleks menunduk, lalu bermain ponsel. Aku akan pura-pura tak sadar kalau dia sedang mendekat ke arahku. “Yang barusan itu kakakmu?” “Hah?” Aku mendongak. “Eh, Dokter Arga. Ketemu lagi kita. Kebetulan, ya. Hehe …” “Enggak usah pura-pura begitu. Jelas-jelas kamu sudah lihat saya tadi.” Aku meringis. “Ada perlu apa, ya?” “Yang barusan itu kakakmu?” “Kenapa?” “Atau pacar?” “Hah? Kenapa mau tahu? Apakah info ini penting?” “Tinggal jawab.” “Emangnya ada apa kalau dia kakak saya atau pacar saya? Ngaruh, gitu?” “Cepat jawab.” “K-kakak,” jawabaku jujur. “Baguslah.” “Loh?” “Itu teman saya nanyain. Kalau kamu mau sama dia, saya maafkan semua kesalahanmu.” “T-teman? Yang mana?” “Yang duduk di dekat vas bunga besar. Yang sedang tersenyum lebar ke arah kita.” Aku menoleh, dan detik itu juga mataku langsung mendelik. Sebenarnya aku tidak ingin body shaming, tetapi serius, fisik dan penampilan laki-laki yang dimaksud Dokter Arga agak ‘memprihatinkan’. “Gimana, Ris? Dia lagi cari calon istri. Kebetulan, dia lihat kamu dan tertarik. Karena saya kenal kamu, saya ingin membantunya. Kalau kamu mau sama dia, saya maafkan kamu tanpa syarat.” “Dokter menghina saya, ya?” “Loh! Tunggu! Ini secara tidak langsung justru kamu sedang menghina teman saya. Kenapa kamu tiba-tiba merasa dihina?” Aku memejamkan mata kesal. Membicarakan fisik orang memang kasar, tatapi ayolah, Dokter Arga keterlaluan sekali kalau sampai mau menjodohkanku dengan temannya itu. “Saya enggak mau!” “Oke. Jadi, kamu perlu siap-siap. Malam ini, saya masih bisa baik. Jika di rumah sakit, jangan harap kamu selamat.” “Ini pelanggaran, ya! Saya aduin—” “Silakan saja mengadu.” Kalimatku barusan jelas hanya gertakan. Mana mungkin aku berani langsung mengadu? Siapalah aku dibanding dokter yang sudah spesialis dan dipercaya instansi? Sungguh ironi! “E-enggak cukupkah saya minta maaf, Dok? Saya minta maaf untuk pagi itu. Saya udah bilang berkali-kali. Saya minta maaf—” “Karena kamu menolak, baiklah. Saya pergi.” “Tunggu!” aku refleks meraih tangan Dokter Arga, tetapi buru-buru melepasnya. “Kenapa? Kamu berubah pikiran? Mau sama dia?” “Enggak! Saya m-mau ngomong aja. K-kalau Dokter Arga mau semena-mena sama saya, akan saya l-lawan. Memangnya saya t-takut?” Dokter Arga malah tersenyum miring. “Sejak kapan orang mengancam dengan suara bergetar? Kalau kamu takut, ini belum seberapa.” “Dok—” kalimatku terputus karena Dokter Arga sudah pergi. Dia kembali duduk di samping temannya. Jujur, melihatnya saja membuatku merinding, in a bad way. Rasa kesalku belum hilang saat Mas Juna kembali. Aku langsung minta pulang karena tidak tahan berlama-lama di atap yang sama dengan dokter menyebalkan itu. Andai dia bukan dokter pembimbing utama, aku benar-benar akan melawannya. Masalahnya, posisiku saat ini membuatku tidak bisa berbuat banyak. Atau kalau nekat, sama saja cari mati. Di tengah-tengah perjalan pulang, tiba-tiba ada pesan masuk dari nomor baru. Mataku langsung melebar begitu membaca pesannya. 085xxxxxxxxx Hari senin kamu ambil map di meja saya Map warna hijau Isinya bagikan ke satu kelompok, sorenya kembalikan dalam kondisi sudah terisi Saya enggak berangkat karena ada urusan, dan saya sudah bilang ini sejak awal Saya periksa selasa pagi. Ini tugas pertama. Lebih baik kamu patuh —Arga. “Apa-apaan!” seruku kesal. “Semena-mena banget!” “Kenapa, Dek?” Mas Juna menoleh dan menatapku heran. “E-enggak, ini temenku. Enggak papa, kok.” “Oh.” Aku membaca deretan pesan itu lagi, lalu mulai ngedumal. Dengan perasaan dongkol setengah mati, aku menyimpan kontak Dokter Arga. Manusia Jerapah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN