“Risa, temenin Mama belanja, yuk? Mumpung kamu belum mulai koas. Nanti kalau udah mulai, pasti bakal susah banget. Kamunya super sibuk. Jangankan ngajak belanja, bangunin tidur aja Mama belum tentu tega.”
Aku tidak bisa menolak permintaan Mama kali ini. Mama benar. Jika koas sudah dimulai, menemani Mama belanja akan sangat sulit. Aku pasti sudah kelelahan, belum lagi bisa jadi aku akan menginap di rumah sakit sesekali.
Lagi pula, malam ini aku juga sedang tidak ada kegiatan. Persiapan koas sudah sepenuhnya selesai, tinggal berangkat dalam beberapa hari.
“Oke, Ma. Aku yang nyetir, kan? Atau Mama aja?”
“Kamu aja. Mama lagi enggak pengen nyetir.”
“Yakin? Enggak takut?”
Mama tersenyum. “Enggak. Mama pengen disetirin kamu.”
“Beliin mobil kalau gitu—”
“Enggak mau. Itu beda urusan. Pakai punya Mama aja. Toh mobil Mama sering nganggur.”
Aku mencebik pelan. Jawabannya selalu begitu. Sudah template dari dulu, sejak aku punya KTP untuk pertama kalinya.
Ya, di sisi lain aku sadar. Di garasi sudah ada tiga mobil. Satu milik Papa, satu milik Mama, dan satu lagi milik kakakku.
Mama yang paling jarang bepergian dengan mobil sendiri— karena lebih sering ikut Papa, jadi aku disarankan untuk memakai mobil beliau. Sekalipun menurutku mobil Mama sudah ketinggalan zaman dibanding dua lainnya, tetapi aku hanya bisa pasrah. Pada dasarnya, kedua orang tuaku belum sepenuhnya percaya kalau aku bawa mobil sendiri tiap hari.
Soal kecelakaan juga membuat mereka semakin trauma. Mereka bukannya melarangku sepenuhnya, hanya tidak membebaskan saja. Entah sampai kapan mereka akan begini.
“Tapi aku ganti baju dulu, ya, Ma. Kan enggak mungkin aku pakai kaos kaya gini.”
“Dandan jugalah, Ris. Siapa tahu ketemu calon mantu—”
“Mulai lagi. Mama ini mulai terobsesi sama istilah calon mantu. Mas Juna dulu!!!”
“Ya enggak perlu ngegas gitu.”
“Ya Mama mulai duluan, kok.”
Sebelum debat berlanjut, aku berlari menuju kamar. Selain ganti baju, aku juga dandan tipis. Setidaknya aku keluar dalam kondisi wajah yang tak terlalu pucat.
Saat aku turun, Papa sudah pulang. Beliau memang bilang akan pulang telat karena ada acara bersama teman dosen.
“Jangan ngebut, Ris,” ujar Papa sembari mengambil air mineral di kulkas. “Hati-hati nyetirnya. Yang santai.”
“Iya, Pa. Aku akan hati-hati. Papa mau titip sesuatu atau enggak?”
“Enggak. Nanti Mamamu kalau pengen apa juga beli. Yang Mamamu suka, Papa pasti suka.”
Aku bergidik. “Tolong jangan tunjukkan ke-bucin-an di depanku!”
Papa hanya tersenyum tipis, lalu masuk kamar. Sementara itu, Mama sedang tersenyum lebar.
“Sebentar lagi kedua sudut bibir Mama nyetuh pipi!”
“Apa, sih! Kamu ini harusnya seneng kalau orang tua rukun. Di luar sana banyak yang broken home. Mereka sangat mendambakan keluarga utuh.”
“Ya Allah, Ma. Aku bukannya enggak seneng. Aku sangat amat bersyukur Papa sama Mama selalu rukun. Tapi please, jangan tunjukkan ke-bucin-an di depanku sama Mas Juna. Geliii!”
“Yang belum punya suami mana paham rasanya.”
Mendengar itu, aku hanya bisa memutar bola mata malas. Ya, aku kalah. Aku dan Mama akan berdebat lagi kalau aku membalas. Alhasil, aku memilih untuk diam dan segera keluar rumah.
Akhirnya, aku dan Mama pun berangkat. Kami menuju mall terdekat. Mama minta mall karena belanja kali ini akan beragam. Ya baju, ya sepatu, juga mungkin alat mandi dan lain sebagainya.
“Bagus yang mana, Ris?” tanya Mama sembari membandingkan dua kemeja. Satu warna hitam, satu lagi warna navi.
“Ma, itu sama persis beda warna aja. Papa udah punya semua. Nanti kaya enggak ganti. Masa pakai warna itu lagi, itu lagi?”
“Terus bagusnya pakai apa?”
“Papa ganteng pakai apa aja, tapi jangan hitam sama navi terus. Udah banyak. Yang lain, kek.”
“Ya apa, makanya?”
“Biru muda bakal kelihatan lebih muda, sih—”
“Enggak boleh. Nanti para mahasiswanya naksir.”
“Ya ampun, Ma. Aku akui Papa emang ganteng banget waktu muda. Aku aja naksir lihat di foto. Tapi dengan wajah Papa yang sekarang, gantengnya ganteng udah berumur. Mahasiswa mana minat? Enggak ada!”
“Eh, jangan salah. Justru mereka ngincar buat dijadiin sugar daddy.”
“Mereka pengen sugar daddy pun kalau Papa enggak minat, ya, enggak jadi. Dan aku percaya, Papa setia.”
“Tapi jangan biru mudalah, Ris. Kemudaan. Biru muda pas buat kakakmu.”
“Ya udah, ambil buat Mas Juna.”
“Terus Papamu warna apa?”
“Kalau cream atau marun? Bagus, nih!” aku mengambil dua kemeja. “Kayaknya pas juga di badan Papa. Mana ada motif dikit di bagian depan kerah. Buat bapak-bapak, cocok. Manis juga warnanya.”
“Iya, ya? Bagus, ini, Ris.”
“Kalau polos banget buat yang muda-muda under empat puluh, cakep. Tapi Papa udah setengah abad lebih. Mending ada motif dikit. Enggak norak, kok.”
“Kalau gitu, kamu yang pilihin.”
“Oke!”
Untuk sesaat, aku memilihkan baju untuk Papa. Setampan-tampannya Papa waktu muda, untuk saat ini belau tetap sudah tua. Tampannya jelas sudah berbeda.
Menurutku juga, tiap usia memiliki standar ketampanan dan kecantikan tersendiri. Sama halnya dengan Papa, secantik-cantiknya Mama saat ini, cowok normal seumuranku dan kakakku juga tidak akan tertatik. Mereka cantik dan tampan sesuai generasi mereka masing-masing.
“Udah cukup, Ma. Jangan banyak-banyak. Yang ada Papa malah negur.”
“Iya, udah. Ini aja.”
“Mama enggak beli?”
“Enggak. Mama habis dibeliin baju sama Papamu waktu dia ke Thailand bulan lalu. Bagus, bajunya.”
“Oh … jadi ini lagi ngebales?”
“Ya, begitulah. Baju yang dibeliin pasangan itu beda.”
“Pamer terus aja, Ma.”
“Oh, jelas. Jangan bosan, ya!”
Setelah belanja, Mama mengajakku makan di salah satu resto korea yang cukup terkenal. Mama pesan olahan daging sapi, sementara aku pesan mie.
“Ma …” panggilku pelan, tepat di tengah-tengah makan.
“Apa?”
“Aku mau cerita sesuatu.”
Sejujurnya, aku tidak yakin akan membahas ini. Namun, aku agak buntu. Sepertinya, aku perlu saran dari Mama.
“Soal apa?”
“Aku pakai analogi aja, ya? Biar Mama enak nangkepnya. Langsung aku pakai nama samaran.”
“Ya, boleh. Cerita aja.”
“Jadi, anggap aja aku ketemu orang bernama Tono.”
“Oke, lalu?”
“Di pertemuan pertama kami, kondisinya enggak bagus. Tono bikin salah ke aku, dan aku malah balesnya agak keterlaluan. Aku kebawa emosi soalnya.”
“Terus?”
“Eh, jeda sebulan, misalnya … kami ketemu lagi. Tono malah jadi tutor les olimpiadeku. Dia harus ngajarin aku intens buat ikut lomba bergengsi. Mau ganti tutor udah enggak bisa karena Tono udah dipercaya sama sekolah. Urusannya akan repot. Nah, aku langsung minta maaf banget sama Tono karena aku udah keterlaluan sama dia waktu bales kesalahannya. Tono ini kaya enggak ikhlas banget maafinya. Mungkin juga, sama sekali belum maafin. Sedangkan, lomba ini penting banget buat aku karena kalau juara bakal dapat beasiswa yang besar. Aku jelas butuh banget sama Tono, tapi Tono-nya gitu. Aku harus gimana, ya, Ma? Minta maaf, udah. Mau meralat kesalahan di masa lalu juga enggak bisa. Nasi udah jadi bubur. Mau buat buburnya jadi enak, aku enggak tahu harus pakai bumbu apa.”
“Bikin Tono jatuh cinta sama kamu.”
Aku melongo. “Mama enggak salah bilang gitu? Ya ogahlah! Aku enggak mau!”
“Kenapa enggak mau? Emang si Tono jelek?”
“Enggak jelek, tapi aku enggak mau! Kalau aku suka dia, bikin dia suka balik, itu enak. Motivasinya gede juga. Tapi kalau akunya enggak suka, enggak maulah. Orang kita aja kalau disukain orang yang enggak kita suka balik, rasanya risih.”
“Kamu minta maafnya udah bener atau belum?”
“Udah, ya, Ma. Aku bahkan sampai bungkuk-bungkuk gitu. Beneran minta maaf banget-banget. Tapi kelihatannya dia kaya judes, cuek, dan enggak mau ketemu aku. Padahal, aku butuh banget dia. Kasarannya, kemenanganku hampir di tangan dia. Kalau dianya gitu, gimana aku mau konsen les coba? Yang ada, ilmu dari dia juga enggak aku cerna dengan baik.”
“Laporin ke sekolah aja kalau Tono judesin kamu. Oke, kesannya akan egois. Tapi harusnya Tono profesional, dong. Kalau di luar kelas dia judesin kamu enggak papa, tapi kalau di dalam kelas ya enggak boleh. Dia dibayar buat ngelesin kamu, bukan buat judesin kamu.”
“Iya juga, sih, Ma. Tapi takutlah.”
“Takutnya?”
“Takut panjang. Ibaratnya, Tono udah dipercaya banget sama sekolah. Aku, kan, baru peserta lomba yang belum tentu menang juga. Nanti dikiranya aku yang berlebihan.”
“Ya udah. Jangan langsung laporin kalau Tono belum keterlaluan judesin kamunya. Kalau keterlaluan, mau enggak mau wajib lapor. Karena dia sama sekali enggak profesional. Sekolah rugi bayar orang kaya gitu. Nah, tapi kalau misal sampai akhir dia hanya nunjukin enggak suka dan enggak terlalu macam-macam plus tetap ngelesin kamu dengan baik, ya udah. Kamu nikmatin aja. Anggap aja, ini balasan karena kamu udah jahatin dia. Kan tadi kamu juga sadar kalau kamu keterlaluan, makanya Tono sampai kaya gitu. Kalau enggak keterlaluan, dia mungkin enggak begitu. Sekalian buat pelajaran kamu kedepan, Ris, harus bisa nahan emosi. Emosi emang wajar, tapi jangan sampai meledak. Kita harus pandai kontrol diri.”
“Oke, deh, Ma.”
Aku diam, mulai melamun.
Sebetulnya, saran dari Mama ada benarnya. Ya, meski aku tidak tahu itu saran terbaik atau tidak. Soal membuat jatuh cinta, aku sama sekali tidak tertarik. Jangankan membuat jatuh cinta, yang ada, aku lebih dulu merasa ciut.
“Malah ngelamun, Ris!” tiba-tiba, tangan Mama mengibas di depanku.
“Hehe, enggak papa, Ma. Cuma masih mikir aja. By the way, aku mau ke toilet dulu, ya, Ma. Pengen pipis.”
“Ya. Jangan lama-lama, tapi. Masih banyak yang harus dibeli.”
“Enggak, kok. Lagian makanan Mama toh masih. Punyaku udah habis.”
“Ya udah. Buruan!”
“Oke.”
Aku bangkit, lalu keluar resto. Aku celingukan mencari plakat bertuliskan toilet.
“Oh, itu.”
Aku jalan cepat menuju toilet. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku kebelet. Padahal, beberapa saat yang lalu masih belum. Semakin dekat dengan toilet, aku semakin mempercepat langkahku.
Tepat di saat aku belok menuju lorong trakhir, aku menubruk orang dengan benturan yang cukup kuat sampai aku terpental ke belakang. Namun, orang itu refleks menarikku sampai badan kami kembali bertubrukan. Kali ini dia langsung menahanku dengan rengkuhan, sementara aku refleks melingkari pinggangnya.
“Maaf, maaf, saya tidak sengaja. Kamu baik-baik saja?” pertanyaan tegas itu membuatku mendongak.
Mataku seketika melebar, mata orang itu pun melebar. “D-dokter Arga?”
***