2. Tatapan Penuh Tanda Tanya

2061 Kata
“Senang bertemu denganmu lagi, Arisa. Jadi harus dari mana saya membalas perbuatanmu pagi itu?” Mataku mengerjap, napasku pun tercekat. Mata di depanku kini menatap sangat tajam, seolah siap menelanku hidup-hidup. Ya! Dokter Arga ternyata adalah laki-laki yang kutendang di pantai dua minggu yang lalu. Saat itu aku memang dengar temannya memanggil ‘Ga’, tetapi siapa yang tahu jika Ga adalah Arga? “Kamu punya mulut, kan? Tadi aktif sekali menjawab pertanyaan saya dan teman-teman. Kenapa sekarang diam saja?” Aku berdehem, lalu pura-pura terbatuk. Aku berdiri, Dokter Arga pun ikut berdiri. “M-maksud Dokter Arga apa, ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Saya enggak paham.” “Sejak kapan ingatan mahasiswa kedokteran seburuk ini? Kenapa bisa sampai lulus?” Aku berdehem lagi. Aku bingung harus bagaimana, makanya aku pura-pura tidak ingat. “Saya beneran enggak paham, Dok.” “Yakin? Kamu betulan tidak ingat saya?” Aku menggeleng. “M-maaf, ya, Dok. Di beberapa titik, saya memang agak payah dalam mengingat wajah dan nama orang.” Tentu saja ini hanya alibi. Aku tidak sepayah itu. “Terus kenapa reaksimu barusan agak berlebihan? Sampai jatuh, pula. Kamu sangat kaget, kan? Kamu juga sempat menyebut kata ‘Masnya’—” “Saya salah mengenali. Dan itu, saya e-ee … ah, saya terpesona sama ketampanan Dokter. Ehehehe!” Aku tahu ini gila, tetapi aku tidak punya pilihan lain. “O-oh iya, tadi mau minta bantuan apa, ya, Dok? Saya harus apa?” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. “Sudahlah, lupakan!” “Baik. Kalau begitu, s-saya keluar dulu—” “Tunggu!” Aku hanya bisa memejamkan mata pasrah saat kerahku ditahan dari bekalang. Sebenarnya ini tidak sopan, tetapi aku tidak berani protes. “Saya yakin kamu hanya pura-pura, Arisa.” “Pura-pura apa?” “Pilih ngaku, atau saya buat koasmu seperti di neraka?” Mendengar itu, seketika aku balik badan dan menunduk dalam-dalam. “Maafkan saya, Dokter Arga. Maafkan saya! Saya akan mengerahkan semua kemampuan saya agar koas saya berjalan dengan baik dan lancar.” “Minta maafmu ini untuk yang mana? Mau ngaku atau tidak?” Aku menegakkan badan, lalu mendongak. Manusia ini tinggi sekali. Tinggiku bahkan tidak sampai sedagunya. “T-tapi Dokter Arga juga salah pagi itu! Kenapa malah mau kabur? Coba kalau enggak dipaksa teman, pasti Dokter udah kabur. Wajar, dong, saya marah?” “Sudah mengaku?” Aku menunduk. “Jadi kamu niat minta maaf atau tidak?” “Kita s-sama-sama salah pagi itu.” “Salahnya?” “Dokter Arga hampir enggak bertanggung jawab, sedangkan saya …” “Saya apa?” “Agak keterlaluan.” Aku menjawab lirih, nyaris seperti bisikan. “Bukan agak lagi! Kamu sangat keterlaluan!!!” aku berjengit kaget karena suara Dokter Arga langsung meninggi. “Bedakan antara hampir dan sudah terjadi. Toh pada akhirnya, saya tetap bertanggung jawab, tapi kamu yang menolak dan berkelit ke mana-mana. Setelah semua itu, kamu malah melukai …” Kalimat Dokter Arga berhenti. Tentu, kata berikutnya tidak perlu dilanjutkan. Karena kalau nekat, itu akan membuat canggung dan aneh. “Ya sudahlah! Yang jelas, perlu kamu ingat. Kamu harus membayar tuntas atas tindakanmu pagi itu!” “Dengan?” Tidak ada sahutan. Dokter Arga malah memilih pergi dan keluar dari ruangan dengan langkah lebarnya. Seketika, aku kembali terduduk di lantai. Aku meraup wajah kasar, lalu mulai merutuki diri sendiri. “Apes banget, kamu, Ris! Apeees!” *** Koas belum mulai, tetapi aku sudah ingin mengakhiri. Ini semua karena pembimbing utama yang kuharapkan sangat jauh dari ekspektasi. Tidak masalah andai pembimbingku galak dan sulit ditangani, tetapi minimal bukan orang yang pernah ada masalah denganku. Kalau sudah begini, aku bisa apa? Jelas-jelas aku telah melukainya, tetapi aku malah butuh bimbingannya. Sungguh ironi! Kini, aku sedang duduk di taman rumah sakit. Teman-teman sudah pulang, bahkan Salma sekalipun. Aku sengaja di sini lebih lama karena ingin mengunjungi sebuah tempat, tetapi menunggu hari agak sore. Kebetulan, lokasinya lebih dekat dengan rumah sakit ini daripada rumahku. Di tengah-tengah aku melamun, mataku menangkap orang yang tadi membuatku tak berkutik. Siapa lagi kalau bukan Dokter Arga? Saat ini dia sedang berdiri bersama seorang perawat. Entah apa yang mereka diskusikan, tetapi tampaknya sangat serius. “Kenapa aku harus cari masalah sama dia, sih? Kenapa pagi itu pakai ada masalah smash voli segala?” aku mengepalkan tangan, merasa gemas dengan diri sendiri. “Andai aku lebih sabar, andai aku lebih terima dan enggak terlalu kebawa emosi, pasti enggak akan kaya gini.” Tiba-tiba saja, Dokter Arga menoleh dan mata kami bertemu. Seketika, aku langsung menunduk dan menelungkupkan kepala di atas meja yang tebuat dari semen. “Dia enggak ke sini, kan?” Satu detik, Dua detik, Tiga detik, … Sepuluh detik. Pelan-pelan aku mengintip. Begitu melihat seseorang sudah berdiri di depanku, aku langsung tersenyum seramah mungkin. “Sore, Dok ….” Bibirku boleh saja mengembang, tetapi sebenarnya jantungku berdebar karena takut. Dokter Arga yang barusan masih berdiri jauh, kini sudah berdiri tepat di depanku— hanya dibatasi meja. Dia menjulang tinggi seperti pohon kelapa. “Semakin kamu memperlihat diri di depan saya, semakin saya ingin segera membalasmu—” “Saya pergi sekarang, saya pulang sekarang. Dokter jangan khawatir!” Aku buru-buru meraih tasku dan beranjak. Namun, karena terlalu buru-buru, kakiku malah tersandung kaki meja. Alhasil, aku jatuh terjerembab. “Aduh!” Aku bangkit, tetapi gagal. Lututku nyeri. “Dokter kok diam saja? Itu Mbaknya enggak dibantuin?” terdengar suara lansia perempuan yang agak bergetar. Detik berikutnya, Dokter Arga meraih tanganku dan menarikku untuk berdiri. Dia melakukan itu tanpa bicara sedikit pun. “T-terima kasih,” ujarku lirih. “Dokter rumah sakit ini terkenal ramah. Baru dokter yang enggak.” Lansia itu kembali bersuara. “Saya terlalu kaget, Bu. Jadi telat sadar kalau dia jatuh.” Dokter Arga akhirnya menjawab. Dia juga tiba-tiba merangkulku, lalu mengusap pundakku kuat. Iya, usapannya kuat. Jauh dari kata lembut. Alih-alih merasa diperhatikan, usapan ini terasa seperti tekanan. Dia jelas sengaja melakukannya. Tangannya berat! Yang ada, pundakku jadi sakit. “Oh, begitu.” Lansia itu akhirnya bangkit dan berjalan tertatih. Saat Dokter Arga hendak membantu, beliau menolak. “Tolong saja Mbak itu, Dok. Saya bisa jalan sendiri.” “Baik, Bu.” Dokter Arga menatapku lagi, sementara aku langsung melengos. Mau langsung kabur pun sedang tidak bisa. Lututku masih nyeri. Aku akan menunggu beberapa saat lagi. Kupikir Dokter Arga akan pergi, tetapi ternyata dia malah menghampiriku. Tatapannya masih sama seperti tadi. Tajam dan tidak bersahabat. “D-dok …” kuberanikan diri memanggil. “Apa?” “Kalau kiranya Dokter Arga keberatan ketemu saya, gimana kalau saya dipindah ke kelompok lain saja?” Dokter Arga malah tersenyum. “Mau melarikan diri?” “Oh, enggak, enggak. Saya cuma usul. Kan tadi Dokter bilang kurang suka ketemu saya. Mending saya pindah, kan?” aku meringis. “Ke mana perginya cewek dengan seribu nyawa waktu itu? Yang tanpa canggung menaikkan suara dan berani main fisik ke lawan jenis. Kenapa jadi melempem begini?” Aku menunduk. Aku bukannya melempem, tetapi aku hanya sadar diri. Andai Dokter Arga bukan dokter pembimbing utamaku, aku tidak akan setakut ini. Aku bisa tetap melawannya dengan berani. Kondisi yang membuatku mau tak mau harus mengalah. Nasibku koas stase pertama ada di tangannya. Jangan sampai ini memengaruhi penilaian. “Saya tadi sudah minta maaf berulang kali. Masih kurang, ya, Dok? Saya harus minta maaf dengan cara apa lagi?” “Sudahlah. Sana pulang. Hari ini saya muak lihat wajahmu.” Apa? Muak, dia bilang? “Kalau muak, tolong pindahkan saya—” “Tidak semudah itu, dan jangan harap kamu bisa lari dari saya.” “Jadi gimana?” “Yang penting, sekarang menyingkir dulu dari hadapan saya.” “B-baik. Saya pulang sekarang. Permisi, Dok ….” Lagi-lagi aku menunduk, lalu pergi dengan langkah pelan. Lututku masih agak sakit, meski tak sesakit tadi. Sebelum belok menuju lorong panjang, aku menyempatkan balik badan untuk menatap Dokter Arga. Ternyata, dia masih bergeming di tempat dan menatapku. Tatapannya masih saja tak bersahabat. Jelang tiga detik, akhirnya dia pergi. Aku sendiri langsung memejamkan mata, merasa miris. “Masa iya aku nyerah di saat belum mulai?” *** Pulang dari rumah sakit, aku pergi ke pasar bunga. Lokasinya tidak terlalu jauh, hanya agak ke dalam. Aku harus masuk jalan kecil yang hanya muat untuk satu mobil dan satu motor saja. Aku ingin membeli bunga untuk kutabur di makam seseorang. Seseorang yang bagiku cukup spesial. Dia sahabat, juga orang yang pernah kusukai. Bagian ‘suka’ ini sebetulnya tidak terlalu penting. Ada alasan lain kenapa dia memiliki tempat tersendiri di hatiku. Dia meninggal di hari yang sama saat aku kecelakaan. Ya, kami kecelakaan bersama karena berada dalam satu mobil. Aku masih selamat, sementara dia tidak. “Terima kasih, Bu,” ucapku pada penjual Bunga setelah mendapat kembalian. “Sama-sama, Kak.” Langit sedang mendung saat aku tiba di area makam. Aku buru-buru masuk, lalu berlari kecil menuju sudut. Lututku sudah tak sakit lagi. Aku sudah bisa gerak dengan bebas. Kini, aku berhenti di makam yang tanahnya kering kerontang, tetapi cukup terawat. Aku rasa, keluarganya masih rutin mengunjungi. Bicara keluarga sahabatku, aku belum kenal. Kami berteman dekat memang belum lama. Namun, karena kami sangat amat nyambung dan satu frekuensi, kedekatan kami tidak bisa dipandang sebelah mata. “Aku datang lagi, El.” Aku jongkok, lalu duduk di batu kecil yang ada di sebelah makam. “Hari ini aku datang karena mau curhat. Enggak papa, ya, aku kaya orang gila lagi?” Aku tersenyum tipis. Kutatap batu nisan yang tulisannya sudah memudar. Elangga Bayuaji. Banyak yang memanggilnya Angga, tetapi aku lebih suka memanggilnya El. El juga suka dengan panggilan dariku. Dia bilang, yang memanggil El hanyalah keluarganya saja. Untuk sesaat, aku berdoa lebih dulu. Hanya seperlunya, tidak harus panjang-panjang. “Hari ini aku selesai pembekalan koas, El. Aku harap, semoga koasku nanti berjalan dengan lancar. Aku udah enggak sabar pengen jadi dokter sungguhan.” Aku mulai bicara sendiri. Hal seperti ini tidak pasti kulakukan. Aku datang ke makam El jika sedang ingin saja. Jika terlalu sering, aku juga tak sempat. “Aku apes banget, tahu, enggak? Aku dapat dokter pembimbing yang enggak aku inginkan. Bener-bener orang yang enggak mau aku temui. Mana dia ada bibit mau semena-mena. Aku harus gimana, El?” Aku mulai menabur bunga. Bunga yang kubeli cukup banyak. Alhasil, makam El tampak penuh. “Emang salahku, sih. Waktu itu terlalu emosi dan impulsif. Main nendang aja enggak pakai mikir kalau lain kali bisa ketemu lagi dan orangnya balas dendam. Siapa yang nyangka kalau orang itu bakal jadi atasanku sekaligus guruku di rumah sakit? Orang tua juga, sih, karena dia yang akan bimbing aku.” Aku menarik napas berat. “Tapi ya udahlah, udah terlanjur. Mau gimana lagi, kan? Disesali pun percuma.” Bunga yang kubawa sudah habis. Aku mundur dan duduk tegak. “Aku datang kalau lagi butuh aja, ya, El? Maaf. Aku sibuk. Setelah ini bakal sulit ke sini. Tapi aku usahain, lain kali aku akan tetap datang.” Aku mendongak, lalu tersenyum. “Udah sore, El. Aku mau pulang.” Aku berdoa sekali lagi, lalu berdiri. Aku berjalan pelan keluar area makam. Baru saja aku melewati gapura masuk, tiba-tiba ada mobil yang berhenti tidak jauh dariku. Saat si empunya keluar, aku sangat kaget karena orang itu adalah Dokter Arga. Aku langsung mengangguk dan menunduk dalam-dalam. Kenapa dia ke makam ini? Apa ada keluarganya yang dimakamkan ke sini? “Sore, Dok.” Tidak ada balasan. Dokter Arga hanya menatapku dengan tatapan dingin, lalu segera melewatiku. Tentu saja, saat ini aku mencelos. Aku memegangi dadaku yang mendadak nyeri. “Koas bahkan belum dimulai, tapi udah gini amat!” aku memukuli kepalaku. “Gimana nasibku besok, coba? Gimana kalau dia enggak bisa profesional?” Akhirnya, aku bergegas menuju mobil Mama. Hari ini aku dibebaskan memakai mobil beliau, jadi tidak dibatasi kapan harus pulang. “Oke, saatnya balik.” Aku baru sempat menyalakan mobil ketika kulihat Dokter Arga sudah keluar lagi. Dia berdiri di dekat gapura masuk tempat tadi aku berhenti. Mataku langsung menyipit saat menyadari kalau Dokter Arga sedang menatapku dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Entah memang begitu, atau aku saja yang kurang bisa menangkap ekspresinya dengan jelas. Bagaimanapun, jarak kami saat ini agak jauh. Tapi tunggu! Tatapannya terasa tak sedingin tadi. Akhirnya, aku hanya mengangguk untuk basa-basi, lalu segera menjalankan mobilku. Sepanjang perjalanan pulang, aku terus bertanya-tanya. Kenapa Dokter Arga keluar lagi secepat itu? Kenapa pula dia menatapku dengan tatapan yang agak berbeda? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN