1. Pernyataan Perang

2297 Kata
“Risa!” Panggilan itu membuatku menoleh. Senyumku langsung merekah begitu melihat Salma sedang berlari tergopoh menghampiriku. “Aku panggil-panggil enggak nyahut, kamu, ini.” Salma meninju pelan pundak kiriku. “Sorry, Ma. Di sini ramai. Aku juga lagi enggak fokus.” “Sebenarnya maklum, sih, tapi tetap kesel.” “Beneran maaf.” “Iya, iya, enggak papa.” Salma tiba-tiba tersenyum lebar. Itu membuatku bingung. “Kenapa, kamu? Tiba-tiba banget senyum kaya gitu?” Aku celingukan. “Enggak ada apa-apa, perasaan.” “Emang enggak ada apa-apa. Aku lagi bahagia aja.” “Lah? Bahagianya kenapa?” “Ya bahagia aja. Soalnya aku udah lulus dari tahun lulu, tapi at the end, bisa koas bareng kamu juga. Enggak jadi sendirian kaya orang ilang.” “Oh … karena itu.” Ya, Salma memang sudah lulus jauh sebelum aku karena dia lulus tepat waktu. Tanpa cuti pula. “Semua ini gara-gara dosen edan itu, Ris. Transkrip nilaiku bermasalah, jadi melebar ke mana-mana. Koasku sampai ketunda lama. Mana nunggu rotasi enggak beres-beres. Tapi enggak papa, aku udah berdamai. Yang penting bareng kamu, jadi ada temen yang aku kenal. Enggak bareng adik tingkat semua.” “Lagian angkatan kita masih lumayan banyak, kok, yang baru bisa koas sekarang. Selain lulus telat, ada juga yang over kuota. Banyak faktornya.” “Ya … pada akhirnya, manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang menentukan.” “Itu tahu, Bu Ustadzah!” “Aduh, ustadzah. Enggak kuat dengernya. Dah, lah! Ayo masuk!” “Oke.” Aku dan Salma jalan beriringan menuju aula tempat pembekalan diadakan. Entah kenapa, aku excited sekali. Mungkin karena aku tak sabar ingin segera berhadapan langsung dengan para pasien. Lewat koas ini, aku ingin belajar sebanyak-banyaknya. “Ngomong-ngomong, stase pertama kita stase bedah, kan, Ris?” tanya Salma ketika kami sudah duduk berdampingan di aula. Aula sudah ramai, tetapi masih jauh dari kata penuh. “Iya. Di pengumumannya, sih, gitu.” “Mana katanya ini stase terlama.” “Betul. Soalnya sama merangkap apa, gitu. Aku belum baca ulang.” “Bisa delapan minggu lebih, katanya.” “Yes! Sampai belasan minggu, malah.” “Semoga kita dapat pembimbing yang baik hati. Udah terlama, kalau dapatnya enggak baik, nangis.” “Aamiin. Semoga dapat yang enak.” Soal Dokter Pembimbing Utama ini aku juga agak ketar-ketir. Aku berharap mendapat dokter yang enak dan profesional. Sekalipun pada akhirnya aku tetap akan berinterkasi dengan banyak dokter— tidak hanya dokter pembimbing utama, tetapi tetap saja dia akan bertanggung jawab penuh atas koasku di stase ini. “Dokter pembimbing utama kita bakal sama atau beda, ya?” tanya Salma lagi. “Kemungkinan beda, tapi semoga kali ini sama.” “Iya, ih. Minimalnya awal-awal kita bisa bareng. Soalnya masih adaptasi. Kalau stase berikutnya beda, baru enggak papa.” “Nah, itu!” “Hari ini langsung keluar, kan, Ris?” “Enggak, dong. Kan hari ini baru hari pertama. Keluarnya habis selesai pembekalan hari terakhir. Mau langsung ada grup, katanya. Denger-denger, sih, gitu.” “Oke, deh.” Melihat Salma agak gugup, aku tersenyum. Anak ini selalu saja begitu. “Oh iya. Kata Mas Afif, kita harus deketin dokter pembimbing karena dia paling berjasa dengan kita.” Mas Afif yang Salma maksud adalah kenalan kakak tingkat yang saat ini sedang menjalani insternship. “Dokter pembimbing bukannya banyak? Kan ada pembimbing harian. Nah, Pembimbing Utama baru satu. Gitu, kan?” “Eh, iya, ding. Berarti deketin semua. Terutama yang utama.” Salma terkekeh. “Aduh, jadi deg-degan. Kita beneran harus akur sama mereka. Jangan bikin ulah dan bersikap sebaik-baiknya.” “Betul, betul, betul! Eh … udah mulai ramai, Ris!” Salma menyenggolku, membuatku langsung mengedarkan pandangan. Benar, aula tampak semakin penuh. Sepertinya, yang koas di rumah sakit ini akan banyak. Ya, bagaimanapun juga, ini rumah sakit besar. “Oh, iya. Kamu dengar kabar burung atau enggak, Ris?” Salma mulai membuka topik baru. “Kabar burung apa?” “Aku denger-denger aja, sih, dari kakak tingkat yang koas di sini.” “Soal apa?” “Ada dokter pembimbing fenomenal.” “Hah? Fenomenal apanya? Lebay amat.” “Ih, beneran! Katanya ganteng banget, tinggi banget, tapi judes. Cuma katanya baik.” “Tunggu! Judes dan baik itu bukannya kontradiksi?” “Nah, aku juga bingung, tuh! Atau mungkin tampilan luar agak bikin ngeri, tapi sebenarnya baik.” “Hm … bisa, bisa. Emang fenomenalnya gimana? Masa gara-gara fisik doang? Beneran lebay, itu, mah!” “Enggak tahu juga, ya. Kakak tingkat bilangnya gitu. Dia bilang, sekalipun harus kena marah, kalau dokter pembimbingnya si dokter ini, bakal tetap betah di rumah sakit.” Aku bergidik. “Idih! Fix, lebay!” “Tapi yang bilang gitu enggak cuma satu, Ris. Berarti fenomenal beneran.” “Dan kamu ngarep dapat dia?” “Iya, dong!” Salma meringis lucu. “Sekarang kita, kan, enggak tahu kalau dokter pembimbing lain galak atau enggak. Kalau sama-sama judes atau galak, mending dapat yang ganteng, kan? Minimal banget sambil cuci mata. Ehehehe! ” “Iya juga, sih. Tapi kalau pengenku, mah, yang baik, enggak judes, enggak galak, pokoknya yang enak. Cowok atau cewek enggak masalah. Aku ngejar ilmunya, bukan hanya soal cuci mata.” “Serius amat, lu!” “Jujur, Ma, aku deg-degan. Makanya aku pengen serangkaian acara ini cepat selesai, terus tahu dokter pembimbing utamaku siapa. Soalnya kemungkinan besar dia juga bakal sesekali ngerangkap jadi pembimbing harian. Rasanya tenang aja kalau udah tahu. Setidaknya aku bisa berekspektasi kira-kira gimana berhadapan sama dia.” Salma manggut-manggut. “Bener, sih. Aku juga enggak sabar. Bismillah ajalah, Ris. Kita anak baik, semoga dokter pembimbing kita juga baik.” “Buset! Pede banget muji diri sendiri baik.” Salma tertawa. “Ini afirmasi positif, ege!” “Udah, udah. Ini udah mau mulai.” Aku dan Salma berhenti bicara karena aku melihat pembawa acara mulai maju. Kami saling menatap sesaat, lalu tersenyum. “Pertempuran, dimulai!” *** Beberapa hari kemudian … “Grup udah dibikin, Ris! Kita satu dokter pembimbing utama!” senggolan Salma membuatku menoleh. Dia kini sedang tersenyum sangat lebar. “Gimana, gimana? Grup udah dibikin? Cepetnya!” Baru juga pembawa acara menutup dengan salam—tanda pembekalan resmi selesai, tetapi grup yang dirumorkan akan dibuat, ternyata langsung ada. Luar biasa cepat! “Iya. Baru beberapa menit yang lalu. Gila, sih, gercep banget! Bahkan belum ada lima belas menit sejak MC nutup acara.” “Gercep-nya enggak nanggung, emang. Siapa yang bikin, Ma?” “Enggak tahu. Entah pihak mana.” “By the way aja, waktu itu Wayan baru tahu dokter pembimbing utama saat dia mulai koas, lho.” Wayan adalah teman satu angkatan kami yang sudah koas sejak tahun lalu. “Kan beda rumah sakit, beda kebijakan. Beda tahun, aturannya bisa berubah lagi. Emang enggak paten. Sesuaikan aja sama situasi dan kondisi.” “Iya, sih.” “Eh, ini diperkenalkan sama yang buat grup. Berarti ada orang lain selain dokter pembimbing utama dan mahasiswa koas. Tapi aku enggak tahu dia siapa.” Aku mengecek ponsel, lalu membuka aplikasi w******p. Benar saja, grup memang sudah dibuat. Isinya ada delapan orang. Seperinya enam anak koas, dua lagi adalah dokter pembimbing utama dan asistennya. Soal asisten ini aku hanya menebak. Bisa jadi orang lain. “Coba baca namanya, Ma. Aku lagi pusing baca chat panjang dan kecil-kecil gini.” “Lebay! Ada di paling atas namanya.” “Ya buruan dibaca.” “Namanya … dr. Arga Shakil D., Sp.B. Wah! Udah tua berarti, ya? Artinya, bukan yang fenomenal itu.” “Atas dasar apa kamu menyimpulkan dia udah tua?” “Ya enggak. Biasanya kalau ada gelar spesialis itu udah berumur. Mana jadi dokter pembimbing utama. Perlu pengalaman, dong.” “Tadi bukannya yang kamu sebut fenomenal itu umurnya masih muda? Udah spesialis juga, kan? Artinya, enggak menutup kemungkinan kalau dia bisa aja si fenomenal itu. Walaupun masih muda, kalau kompeten, enggak ada salahnya. Artinya, rumah sakit udah percaya sama dia. Pasti mereka punya pertimbangan khusus.” “Iya juga, sih. Eh, tapi kenapa jadi kamu yang ngarep?” “Ngarep apanya? Aku meralat biar kamu jangan putus asa dulu! Kemungkinan itu masih ada.” Salma nyengir lucu. “Iya juga. Tahu aja, kamu.” “Akhir-akhir ini banyak dokter spesialis muda. Bahkan yang dua puluh tujuh atau dua puluh delapan udah lulus juga ada. Ya, sekalipun kurang umum.” “Iya, sih. Waktu itu aja kampus kita ada mahasiswa baru umur lima belas. Muda banget!” “Itulah! Banyak manusia spesial di luar sana. Kadang malah sampai agak enggak masuk akal.” “Baiklah. Aku terlalu cepat nyimpulin, berarti.” Salma tersenyum. Sepertinya, anak ini benar-benar berharap dibimbing si dokter fenomenal. Aku sendiri tidak terlalu tertarik. Siapa pun itu, asal baik. Cukup! “Ngomong-ngomong, dari tadi kamu udah nyinggung si dokter fenomenal terus. Kamu tahu namanya atau enggak? Kan tinggal dicocokin.” “Enggak tahu.” “Dih! Oneng! Terus mau tahu dari mana kalau dokter pembimbing kita nanti itu si dokter fenomenal atau enggak?” “Habis ini aku tanyain.” Salma terkekeh pelan. “Sorry, sorry!” Setelah aula terasa lengang, aku dan Salma keluar ruangan. Kami kelaparan, jadi kami makan snack yang disiapkan panitia. “Eh, Ris. Dokter Arga udah ngenalin diri di grup. Dia minta ketemu habis ini jam satu.” “Lah, sekarang aja udah jam dua belas lebih lima belas.” “Makanya kita makannya jangan lelet. Kita masih harus ke musala.” “Iya, iya. Aku udah bisa makan cepet sekarang.” Kisaran pukul satu kurang sepuluh menitan, aku dan Salma tiba di ruangan tempat bertemu dokter pembimbing utama. Ini jelas bukan pertemuan formal. Mungkin dokter pembimbingku ingin sedikit memberikan pengarahan. Who knows? “Eh, Ma … aku, kok, agak mules, ya?” “Mules kenapa?” “Apa jangan-jangan gara-gara sambel barusan?” “Enggak pedes, itu! Lagian baru makan belum lama, ya kali langsung berefek. Makan apa kamu tadi pagi?” “Lupa! Aku ke toilet dulu, deh. Nanti kalau dokter pembimbing datang dan misal dia ada absen, tolong bilangin. Tapi aku usahain cepet, kok.” “Ya. Buruan sana!” “Oke.” Aku berlari ke toilet ruangan ini. Perutku mulas sekali, padahal aku merasa tidak makan yang aneh-aneh. Ya … mungkin memang sudah saatnya keluar. “Ah, masih jam satu lebih dua menit. Pak Dokter enggak mungkin se-on time itu, kan?” aku menggumam sembari membasuh tangan dengan sabun. “Oke, cukup.” Setelah mengeringkan tangan dengan tisu, aku segera keluar. Aku agak kaget karena ternyata dokter pembimbingku sudah datang. Ini ditandai dengan peserta koas lain yang sudah duduk rapi. Salma melambaikan tangan, mengisyaratkan agar aku duduk di sampingnya. Aku menatap depan, Pak Dokter mengenakan masker dan kacamata. “Tahu enggak, Ris? Kata kakak tingkat, nama si dokter fenomenal itu Dokter Arga! Berarti kita beruntung banget! Ya Allah, amalan apa yang membuatku jadi seberuntung ini?” Salma mengelus dadanya bangga. Tentu, suara kami saat ini sangatlah pelan. “Tadi waktu masuk, buseeet! Tinggi dan ganteng banget!” “Mana ada ganteng? Dianya aja pakai masker. Cenayang, lu?” “Dari matanya aja kelihatan.” “Dih!” aku bergidik. “Biasa aja.” “Dia mungkin tahu. Kalau dia buka masker, kita bakal silau.” “Lama-lama aku pindah juga kalau kamu mau kaya gini!” “Iya, iya! Ini udah, aku berhenti.” Dokter Arga tiba-tiba berdiri. Dia melepas kacamatanya, lalu berdehem pelan. “Sebelumnya, maaf, saya sedang flu. Jadi saya mengenakan masker.” “Tidak apa-apa, Dok.” “Saya juga minta maaf karena minta ketemu sekarang. Pasalnya, hari pertama kalian koas saya ada urusan di luar kota. Jadi, saya pikir ketemu sekarang lebih baik.” “Iya, Dok.” Untuk sesaat, terjadilah salam dan pengenalan singkat. Baik dari pihak dokter pembimbing ataupun mahasiswa koas. Sudah pasti, satu per satu berdiri dan memperkenalkan diri. Kelompokku sendiri terdiri dari enam orang. Ada aku, Salma, Fikri, Mita, Faisal, dan Jani. Aku belum kenal keempat yang lain. Setelah pengenalan diri, lanjut membahas alur kegiatan, kesepakatan, tugas dan harapan, penilaian, dan beberapa lagi lainnya. Meski sederhana, tetapi cukup seru. Sepertinya, kelompokku semuanya aktif. Aku pun tak mau kalah. Saat sesi tanya jawab, aku terus bertanya ini dan itu. Dokter menjawab, bahkan rekan koas pun ikut menyahut. Untuk permulaan, menurutku ini sangat bagus. Aku menyukai semuanya. “Untuk siang ini, cukup sampai di sini. Selebihnya kalau ada yang kurang jelas, bisa tanyakan di grup.” “Bagaimana kalau chat pribadi, Dok?” tanya Salma. “Boleh, tapi saya tidak bisa menjamin cepat menjawab. Kalau di grup, ada asisten saya. Dia residen junior.” “Ah … baik, Dok.” Akhirnya, pertemuan siang ini benar-benar selesai. Aku puas, sementara Salma sepertinya kecewa. Bagaimanapun, dia belum juga melihat wajah Dokter Arga. Aku sebenarnya juga penasaran, tetapi aku bisa lihat nanti di profilnya. “Arisa Kalany Maheswara.” Aku tersentak ketika tiba-tiba namaku disebut. Aku menoleh, lalu mengangguk. “Saya, Dok?” “Kamu tetap di ruangan. Yang lain boleh keluar.” “Hah?” “Saya hanya manggil absen pertama. Saya ingin minta tolong soal absensi.” “O-oh … baik, Dok.” Salma menatapku. “Aku tungguin atau enggak, Ris?” “Kamu duluan aja.” “Oke, deh.” Setelah Salma pergi, kini tinggallah aku dan Dokter Arga di ruangan. Aku maju, lalu menarik kursi. “Gimana, Dok? Apa yang harus saya bantu? Absensi apa yang dokter maksud?” Saat aku masih menatap serius pada Dokter Arga, dia tiba-tiba melepas maskernya. Mataku langsung mengerjap, lalu aku mundur sampai tak sadar jatuh dari kursi. “K-kok Masnya—” Dokter Arga jongkok, lalu tersenyum miring. “Senang bertemu denganmu lagi, Arisa. Jadi harus dari mana saya membalas perbuatanmu pagi itu?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN