Menaruh Curiga

1116 Kata
“Gimana urusan lo di Jakarta?! Udah kelar?! Zidan mengangkat gelas es kopi yang dirinya pesan sesuai request-annya, ia meneguk cairan manis tersebut sebelum menggelengkan kepala. “Belum jadi. Gue keburu panik liat chat lo.” Ujarnya membuat Daniel tergelak. “Lo paling gerak cepet emang kalau soal Anisa kenapa-napa. Thanks banget udah jadi malaikat penolong dia selama ini, Bro.” Seandainya Daniel tahu apa yang dirinya lakukan tadi, pria itu mungkin akan menari rasa terima kasih yang baru saja diucapkan. Zidan tak yakin, Daniel akan satu tujuan dengan dirinya. Sahabatnya terlihat menyukai Anisa sejak sahabat wanitanya itu bersama dengan Andrean. Zidan pikir, Daniel pasti murka melihat keberadaan Andrean di dalam ruang perawatan Anisa. Terlebih mereka meninggalkannya hanya berdua. Andrean lo nyampek mana Dan? Udah di Semarang?! Anisa udah siuman ini. Gue nggak ngabarin Daniel, nggak enak sama dia. Baguslah! Andrean masih memiliki perasaan sungkan. Zidan membalasnya, memberitahukan jika ia dan Daniel ada di cafetaria. Ia berharap Andrean segera berlalu pergi, atau seolah-olah menampakkan dirinya kembali seperti orang yang baru saja sampai. Bagaimanapun juga mereka tetap harus mempertimbangkan posisi Daniel di hidup Anisa sekarang. Zidan Nyusul aja ke sini. Bikin apaan kek, mendadak lo dateng-dateng pengen ngopi apa beli sesuatu dulu. Tidak berselang lama Andrean mengiyakan. Ia akan memberi pengertian kepada Anisa terlebih dahulu karena sejak tadi Anisalah yang menahan kepergiannya. Membaca pesan Andrean, Zidan meringis. Ia seperti seseorang yang tengah melindungi aksi perselingkuhan sahabatnya. “Chatingan sama siapa sih lo? Sibuk bener?! Ada cewek ya lo, Dan?” “Nyokap gue. Gue balik nggak ada bilang jadi dia nyari-nyariin.” Dusta Zidan. “Parah, Bro! Kasihan Tante.” Gue lebih kasihan ke lo sih Niel aslinya. Tapi Niel, ini demi Anisa. Beberapa menit menunggu, Andrean datang dengan wajah tenangnya. Pria paling sialan menurut Zidan sekarang itu mengulurkan tangan pada Daniel. “Gimana kabar Anisa?” tanya Andrean seketika membuat Zidan mendengus. Sungguh pelakon yang sangat handal, Zidan hampir saja terkecoh kalau dirinya bukan pemeran lain dalam setingan cerita yang mereka buat. “Kata Zidan she is fine. Ada dokter yang lagi cek dia di kamar.” Di sela-sela Daniel menjelaskan kondisi Anisa, Andrean berlagak meminta minuman Zidan. Pria itu mengatakan jika dirinya haus karena perjalanan rumahnya dengan rumah sakit yang Anisa tinggali cukup jauh. “Nggak sama Selina, Ndre?” Andrean terbatuk dan Zidan mensyukuri respon menyakiti tenggorokan tersebut. “Nope Niel. Gue buru-buru tadi abis di telepon Zidan. Kok bisa sakit gimana ceritanya?!” Jangan sok peduli Ndre, jelas-jelas lo penyebabnya— Andrean hanya bisa mengatakannya dalam hati. Tak mungkin juga ia menceritakan malam panasnya bersama Anisa hingga menyebabkan wanita itu sakit disiang harinya. Selain masih begitu menyayangi nyawanya sendiri, Andrean cukup menghargai Anisa. Ia tidak ingin Anisa dicap buruk lalu diperlakukan layaknya wanita hina. Walaupun tidak ada kemungkinan Daniel akan melakukan hal tersebut, tetap saja Andrean berpikir demikian. Ia harus melindungi martabat wanita yang pernah menjadi kekasihnya. “Di kampus nggak lagi ada tugas yang berat banget kan, Ndre?” “Nggak ada.. Kenapa?!” Andrean diam menyimak tatkala Daniel menjelaskan jika sebagian faktor yang menyebabkan Anisa jatuh sakit salah satunya adalah stres. “Bisa jadi dia kepikiran tentang kampus. Soalnya nggak pernah ada bahas aneh-aneh apalagi sampe curhat yang gimana-gimana ke gue. Ke lo ada nggak, Dan?” kali ini sasaran pertanyaan Daniel mengarah pada Zidan dan sayang sekali Zidan juga menggelengkan kepalanya. “Becandaan mulu ke gue malah. Cerita betapa bucinnya lo.” Jawab Zidan santai. Bagi Zidan, masa Andrean telah habis. Tidak ada keharusan dirinya untuk menjaga perasaan Andrean pada lingkup hubungan asmara Anisa dan Daniel. Sudah sepatutnya Andrean mengetahui betapa tenangnya hari-hari Anisa setelah kedatangan Daniel dalam hidup wanita itu. Tanpa kedua sahabatnya ketahui, di bawah meja yang mereka gunakan jari-jari Andrean mengepal. Ia telah menemukan dalam paling pasti yang membuat Anisa masuk ke dalam perawatan medis— bukan lain adalah dirinya sendiri. Selain itu, hatinya yang resah kini semakin terbakar oleh informasi yang Zidan paparkan. Anisanya telah memiliki tambatan hati yang membuat hari-harinya lebih berwarna. Sama seperti pada kisah mereka dulu, lebih banyak tawa yang hadir ternyata. Betapa miris hatinya mendengarkan keantusiasan Daniel mencerna cerita Zidan. Jujur saja, Andrean cemburu karenanya. “She is mine, Bro, sekarang.” Daniel meninju pelan bahu Andrean, membuat pria itu akhirnya memaksakan tawanya yang sumbang. “I know, Niel.. Dia punya lo!” Tapi tidak semudah itu. Andrean akan memastikan jika Anisa kembali menjadi miliknya yang utuh. Andrea tak peduli pada pandangan orang lain. Semua manusia berhak memperjuangkan hal yang dirasa perlu untuk diperjuangkan. Diam-diam ia akan masuk dalam kehidupan Anisa lagi. Melihat respon Anisa tadi, tekad dalam diri Andrean menjadi semakin penuh. Daniel tidak mungkin bisa mengelak jika seandainya Anisalah yang memilih dirinya dan meninggalkan pria itu. Katakan Andrean jahat, namun kejahatan yang dirinya lakukan akan sebanding dengan hasil yang dirinya dapat. Andrean tak menyesal menjadi sahabat yang b******k sekalipun asal bisa kembali meraih kebahagiaannya. “Dokternya udah cabut kali ya.. Kita nyamper Anisa. Kasihan kalau dia sendirian.” Ajak Zidan memecah hawa permusuhan yang sebenarnya terasa diantara kedua sahabatnya. Ia menarik nafasnya dalam, mencegah Andrean untuk mengikuti Daniel, “duluan Niel.. Gue ada yang perlu dibeli. Biar ditemenin sama Andrean.” Ucap Zidan, “harus ada yang nemenin dia satu.” “Aku.. Gue kesana dulu ya..” Hening.. Sejak kepergian Daniel, Zidan tak kunjung membuka suaranya sampai sebuah hantaman mengenai pipi Andrean. “Gue yakin lo punya andil besar yang bikin Anisa begini. Jadi mau gue nanya ke lo, atau gue mojokin Anisa?” tantang Zidan. Jika Andrean memiliki jiwa laki-laki yang besar, pria itu pasti membuka suara dan mengakui kesalahannya. Selama ini Zidan belum pernah salah menilai situasi. Kedekatan Anisa dengan Andrean tadi jelas membuktikan jika telah terjadi sesuatu diantara keduanya. Jawabannya tentu hanya Andrean yang mengetahuinya secara pasti. “Kita ngelakuin itu lagi.. And kayaknya dia nyesel!” “Anjing!” Zidan tak bisa melayangkan pukulan lagi. Tidak ketika nanti mereka akan bertemu dengan Anisa dan Daniel. Mereka pasti menaruh curiga yang besar jika ia menimbulkan keributan yang meninggalkan bekas di wajah tampan Andrean. Zidan tidak ingin memancing tanda tanya besar di benak mereka, terlebih itu Daniel. “Urusan kita belum selesai, Ndre. Nanti lo balik sekalian nganterin gue. Gue pengen buat perhitungan sama nanya-nanya ini lebih jauh!” Semua mengenai Anisa, Zidan akan menyelesaikannya. Karena pada pundaknya lah wanita itu menyandarkan diri sepenuhnya. Zidan harus mengetahui secara mendetail, apakah Anisa dipaksa dalam melakukan ‘itu’, satu pertanyaan yang Zidan tahu dengan benar makna sebenarnya. Ia bukan remaja kemarin sore yang dapat menyalah artikan maksud dari perkataan Andrean. "Jangan berharap lo bisa kabur Ndre.. Lo lagi mertaruhin persahabatan kita semua, terutama sama gue!" Ancam Zidan membuat Andrean tak bisa lagi berkutik untuk menghilang sejenak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN