Ego Andrean

1076 Kata
Andrean mengepalkan jari-jari disisi tubuhnya. Ia memalingkan wajah, tak ingin melihat seberapa perhatiannya Daniel pada wanita yang dirinya cintai. Andrean lantas memijat pelipisnya, menghalau pening yang perlahan singgah akibat menahan gejolak panas yang tercipta di hatinya. “Pusing kepalanya, Sayang?” Sayang?! Panggilan itulah yang beberapa waktu lalu sempat ia peruntukan bagi sang kekasih hati. Seharusnya hanya dirinya yang bisa memanggil Anisa dengan sebutan istimewa tersebut. Harusnya ia, satu-satunya laki-laki yang dapat menyebutkan kata indah itu. “Nggak kok.. Aku udah jauh lebih better. Makasih ya, Niel.” Anisa tersenyum– sebuah respon yang tak Andrean sukai ada dalam wajah wanitanya untuk orang lain. “Kalau nggak ada kamu, aku nggak tau akan jadi apa.” Ribuan jarum tak kasat mata menancap pada jantung Andrean. Setelah Zidan, ada malaikat baru lagi yang menaungi keselamatan Anisa, dan itu bukan dirinya. Tuhan tak pernah memberikan kesempatan yang baik sehingga ia dapat mengekspresikan rasa sayangnya. Hanya lukalah yang selalu ia torehkan. “Aku tau Nis, aku khawatir banget. Jangan kayak gitu lagi ya. Kalau udah ngerasa nggak enak, kamu harus kabarin aku secepetnya.” tangan Daniel mengusap lembut puncak kepala Anisa. Melihat itu, Andrean rasanya ingin mematahkan lengan-lengan sahabatnya. Ia cemburu. Sangat cemburu. Andrean berdehem. “Gue mau nyebat dulu.” ujarnya memutus interaksi Anisa dan Daniel. Ia benar-benar sudah tidak sanggup untuk menyaksikan kemesraan kecil keduanya. Jika terus berada dalam satu ruangan yang sama, Andrean tak bisa menjamin apakah dirinya dapat menahan amarah yang telah bergejolak ingin mengeluarkan laharnya. “Ndre.. Disini?” Andrean tersentak. Jadi Anisa sedari tadi berpura-pura tak melihat keberadaannya?! Wanita itu juga sedang berperan sekarang?! Andrean tak mengerti. Sejak kapan Anisa pintar sekali berakting. Pantas, ketika ia menganggukkan kepala untuk menyapa tadi, mantan kekasihnya itu tak membalas sapaannya. Ia terus fokus pada Daniel yang memeluk dirinya erat. “Iya Nis.. Baru aja, bareng Zidan masuknya. Lo terlalu fokus sama Daniel jadinya nggak liat kita.” Baiklah! Andrean akan mengikuti skenario yang ada. Demi kebaikan bersama. Anisa juga tak sedang berada dalam kondisi yang memungkinkan jika ia memulai konfrontasi. Ada banyak hal yang wajib Andrean pikirkan sebelum merebut kembali wanitanya. Salah satunya kebaikan wanita itu sendiri. “Gue nggak apa-apa. Ini lagi minta suster buat siapin rawat jalan aja. Thanks udah jenguk. Dan, nanti gue nginep apartemen lo ya. Udah izin Daniel, katanya boleh.” “Oke.. Kalau gitu kita balik duluan aja. Sekalian gue siapin kamar lo, Nis.” tanpa banyak kata, Zidan menyeret paksa tubuh Andrean yang belum berpamitan. Niatnya tadi ia ingin ada sampai Anisa pulang dan mengantarkan wanitanya ke tempat kos. Andrean lupa jika Anisa sudah memiliki Daniel sekarang. “Gue belum ngomong apa-apa Dan ke Nisa.” “Nggak perlu. Urusan kita jauh lebih penting.” ucap Zidan. Ia meminta kunci mobil Andrean. Memaksakan diri untuk menyetir agar Andrean tak bisa lari dari tanggung jawab yang harus pria itu jelaskan padanya. “Lo duduk aja yang tenang, ikut gue ke apartemen dulu.” Zidan membawa mobil milik Andrean dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia sudah tidak sabar mendengar kronologi mengapa Anisa dapat masuk ke dalam rumah sakit padahal sebelumnya baik-baik saja. Tak akan ada asap jika Andrean tak menyalakan api. Sampai di basement apartemen, Zidan menarik paksa tubuh Andrean untuk turun dari mobil. Ia melayangkan pukulan bertubi-tubi. Memaki Andrean meski pria itu belum membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Zidan. Masalahnya, Zidan sendiri belum membuka sesi tanya jawab. Pria itu mendadak kalap dan menghantamkan kepalan tangannya. “Lo maksa Anisa?” Andrean mencoba bangkit, ia menggelengkan kepalanya cepat. Meski berada di bawah kendali alkohol, ia yakin benar jika tak pernah ada paksaan dari dirinya malam itu. Mereka melakukannya atas dasar sama-sama mau. Saling melebur menjadi satu tanpa adanya satu pihak yang mendominasi. “Gue nggak perkosa dia, Dan. Demi Tuhan. Kami juga nggak tau kenapa bisa sampai kelepasan kontrol. Hari itu gue nganterin dia.. Kami emang ada cekcok sebentar sampai dia mutusin balik sendiri.” Andrean terdiam sejenak, setelah ini mungkin semua kalimatnya menjadi tak dapat dipercayai oleh sahabatnya. Terlebih ia datang ke tempat Anisa dalam kondisi mabuk. “Gue ke bar.. Minum.. Satu-satunya di otak gue malem itu cuman Anisa. She said semuanya udah terlambat dan gue nggak punya kesempatan lagi Niel. Disini,” Andrean memukuli dadanya, “sakit banget. Gue nggak berhenti nangisin ketololan gue yang ninggalin dia dulu. Ngerutukin kebodohan gue yang masih nggak bergeming waktu kalian datang ke sini.. Gue dateng baik-baik. Awalnya gue cuman tidur sampai jari Anisa nelusurin wajah gue. Kita ciuman dan lo tahu momen selanjutnya..” Andrean menunduk. Ia merasa seperti pria terkeji di hadapan sahabatnya sendiri. “Kalau cuman kayak gitu, nggak mungkin Anisa sampai sakit ANDREAN!” Zidan tidak peduli pada penghuni apartemen yang lewat. Ia biarkan orang-orang yang terkenal dengan keramahan kotanya ini menyaksikan pertengkaran mereka. “Terakhir gue disana pagi tadi, dia ngusir gue dari dalem kamar mandi. Setelah itu gue nggak tahu lagi Dan. Gue mau ngehubungin dia, gue belum berani. Maybe dia masih perlu waktu buat nyerna semua yang udah terjadi sama kami.” “Ndes, kalian…” Zidan meremas rambutnya. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tak becus dalam menjaga Anisa– seorang wanita yang diamanatkan untuk ia jaga seperti bagian dalam hidupnya. Kepergiannya ke Jakarta nyatanya menjadi awal dari jurang yang membuat Anisa terperosok jatuh pada lembah dosa untuk kedua kalinya. Andai Zidan tahu kepergiannya berdampak buruk, ia tidak akan pergi. Ia akan menjemput Anisa dan tak meninggalkan wanita itu didekati Andrean. “Jangan sampe ini ke ulang Ndre. Gue mohon. Dia lagi nyoba move on! Jangan deketin Anisa lagi dengan konteks selain persahabatan. Lo harus mikirin nasib Daniel juga, Ndre. Dia sahabat kita.” Andrean membuang muka. Jujur saja ia tak bisa berjanji di saat hatinya ingin kembali pada sang pujaan hati. Permintaan Zidan terlalu sulit untuk dikabulkan. Ia bahkan telah bersiap menentang keluarganya sendiri. “Ndre!” sentak Zidan. Ia menunggu jawaban Andrean. Berharap pria itu dapat mengerti arti dibalik ketulusannya. Ini demi persahabatan mereka yang akhir-akhir ini kembali berjalan dengan baik seperti sebelumnya. “Dan, seandainya Anisa juga pengen balik ke gue.. Apa lo akan nentang hubungan kami?” “Lo beneran udah gila!” maki Zidan keras sebelum kembali meninju rahang Andrean. Ia meluapkan kemarahannya atas jawaban sinting pria di depannya. Percuma sudah meminta Andrean memikirkan persahabatan jika nyatanya ego masih menguasai diri pria itu. “Gue kenal lo, Dan. Lo pasti pengen yang terbaik buat Anisa. Apa aja asal dia bahagia, lo pasti dukung.” ujar Andrean sembari menyeringai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN