Bad Feeling

1111 Kata
“Makasih ya,” ucap Anisa mengadahkan kepalanya usai Daniel meletakkan tubuhnya ke atas sofa di ruang tamu apartemen Zidan. Pria itu memaksa karena tak ingin Anisa kembali kelelahan. “My pleasure, Nis. Cuman gendong kamu. Seumur hidup pun aku sanggup.” Zidan yang tengah minum langsung terbatuk mendengar gombalan Daniel. Receh sekali. Ia menghapus air yang membasahi kaos bagian atasnya, sebelum mencibir sahabatnya. “Nggak banget, sumpah, Niel.” Kepalanya menggeleng berulang kali. “Iri bilang, Bos.” Zidan terkekeh— terpaksa sebenarnya. Alih-alih iri dengan penuturan Daniel, ia lebih kasihan pada sahabatnya tersebut. Pria itu tidak tahu jika dibelakangnya, kekasih yang dirinya puja setengah mati ternyata menyerahkan tubuhnya pada laki-laki lain. Zidan berharap semoga saja Daniel tidak akan pernah mengetahui perselingkuhan keduanya. Andrean yang gila, sepertinya berniat mengusahakan segala cara. Melihat interaksi Andrean dan Anisa, Zidan tak yakin jika wanita yang mereka perebutkan tak akan terbawa arus. Zidan paham benar siapa pemilik hati wanita itu. “Udah jam segini. Lo mending balik aja. Anisa juga butuh istirahat.” “Yang,” pekik Daniel sembari menunjuk Zidan, “liatin sahabat yang kamu anggep Abang ini! Dia ngusir aku. Padahal kita baru nyampe.” Decaknya lalu mengacakkan lengan dipinggang. “Parah banget sih lo, Dan. Biarin gue pacaran dulu kek. After dari Surabaya, gue belom ada momen berduaan sama pacar gue tauk!” Zidan memutar bola matanya. “Udah!” sentaknya tidak terima. “Tadi pas gue sama Andrean cabut kan lo berduaan. Lumayan ada tiga jaman.” Segala argumennya tidak dapat diganggu gugat. Apalagi dilawan. Zidan selalu tahu cara memojokkan lawan bicaranya. “Just for information, besok lo masih bisa ke sini. Waktu banyak, Bro!” “Pulang aja. Besok kan kerja. Abis kerja kamu temenin aku ya.. Zidan biasanya nongkrong sama temen-temennya.” Daniel kalah.. Ia melepas kedua tangannya ke udara sebagai tanda menyerah. “Anisa yang nyuruh, gue bisa apa..” ucapnya sebelum memandang Anisa dengan senyuman yang melekat dibibirnya. “Oke Sayang.. Aku pulang.” Daniel mengelus puncak kepala Anisa, “jangan lupa minum obatnya. Kalau perlu sesuatu, kamu bisa telepon aku. Anytime.. I'm ready for you.” Tengah malam pun akan Daniel lakukan demi Anisa seorang. “Aku pulang dulu ya, Sayang.” Terakhir Daniel mengecup kening Anisa lama sebelum berjalan menghampiri Zidan. “Udah nggak ada Andrean kan, Dan?” bisiknya pelan agar Anisa tidak mendengar pembicaraan mereka. Matanya mengedar, mencari sosok yang dirinya tanyakan ke setiap sudut unit apartemen Zidan. Jujur saja, Daniel selalu merasa was-was jika ada Andrean. Hatinya tidak pernah tenang walau ia tahu Anisa kini miliknya. “Aman Niel.. Udah gue suruh balik juga setengah jam lalu. Liat sendiri kan mobilnya dia nggak ada tadi pas naik.” Meski ragu, Daniel menganggukkan kepalanya. Ia tidak memutari seluruh basement yang ada, jadi kemungkinan untuk tahu apakah mobil Andrean masih terparkir di gedung yang sangatlah tipis. Mungkin ia harus mencobanya nanti ketika turun. Bukan apa-apa, hanya agar hatinya tak diliputi gelisah saja ketika nanti sampai rumah. “Gue pasrahin Anisa ke lo, Dan. Lo taukan gue nggak pernah bisa percaya ke Andrean. Gimanapun juga mereka..” “Kalian ngomongin apa sih kok bisik-bisik?!” Pembicaraan keduanya terpotong oleh kalimat tanya Anisa. Hal tersebut membuat Daniel membalikkan tubuhnya, “nggak, Yang. Cuman mastiin kalau dia bakalan jagain kamu bener-bener. Aku takutnya Zidan..” Anisa mendelik, “Zidan selalu jaga aku Daniel. Sebelum kamu ada, dia yang selama ini disisi aku!” nada tak suka Anisa membuat Daniel mengajukan permohonan maaf. Pria itu berkata bahwa dirinya percaya dan langsung berlalu pergi setelah menepuk pundak Zidan. Wajar.. Zidan tak menyalahkan tindakan Daniel. Pria itu patut curiga pada Andrean terlebih Anisa memang pernah memiliki sejarah bersama sahabat mereka tersebut. Seandainya menjadi Andrean, Zidan rasa ia juga akan berlaku demikian. “Mau berbagi sesuatu?” tanya Zidan sembari mendudukan dirinya di sofa. Zidan benar-benar memastikan Daniel sudah pergi sebelum membuka suaranya. “Gue nggak tau lo siap atau nggak, tapi gue udah tau dari Andrean, Nis.” Zidan sudah menduganya. Ia tak menemukan keterkejutan dari mimik wajah Anisa, jadi dapat ia simpulkan jika Anisa telah mengetahui segalanya. “Gue nggak masalah Nis.. Karena yang terpenting dalam hidup gue cuman kebahagiaan lo. Cuman sebagai sahabat,” ucapan Zidan terhenti. Ia terngiang-ngiang perkataan Andrean tadi di tempat parkir. “Dan..” panggil Anisa dan Zidan berdehem. Pria itu memang akan mengikuti segala kemauan Anisa tapi tidak dengan membiarkan Anisa terjerumus pada kesalahan yang sama. Cukup satu kali Anisa boleh merasakan lara dan pedihnya ditinggalkan. “Sebagai sahabat gue cuman pengen ingetin Nis, coba lo lebih dengerin akal sehat dibandingin hati. Nggak selamanya apa yang hati lo rasain, bakalan bawa lo ke akhirnya yang bahagia. Apalagi kalau urusannya sama laki-laki yang buat merjuangin lo aja nggak bisa.” Zidan membuatnya setransparan mungkin. Ia tidak menutupi keberatannya namun juga tak melarang Anisa. Kelak hanya dirinyalah yang menjadi satu-satunya pihak, yang berada tepat dibelakang Anisa. “Gue nggak tau..” Anisa meraup wajahnya. Ia terisak sembari memejamkan matanya. Hatinya yang lemah tak dapat menolak kehadiran Andrean. Tapi disisi yang lain, ia tak tega mengkhianati pria sebaik Daniel. “Apa yang harus gue lakuin, Dan?” tanya-nya lirih hingga mampu menyayat hati pendengarnya. “Gue bingung. Demi Tuhan, ketika gue nerima Daniel, gue nggak pernah ngira Andrean bakalan dateng lagi.. Sebelumnya dia juga fine aja sama Selina.. Tapi malem itu..” Anisa tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia merasa sangat kotor dihadapan Zidan. Dirinya sekali lagi ternoda, oleh orang yang sama namun dengan situasi yang berbeda. “Nggak ada yang perlu lo lakuin Nis.. Lo udah kebakar, satu-satunya cara ya keluar dari tempat pembakaran atau terusin semuanya sama Andrean.. Dengan konsekuensi yang lo tau sendiri apa.” Pundak Zidan terangkat. “Ibarat kata, lo ada di tengah-tengah samudera.. Udah basah. Ngeringinnya butuh waktu dan matahari. Gue nggak yakin lo bakalan milih nyari pulau terdekat bernama Daniel.. Lo terlalu takut sama dia kalau mendekat, tapi lo juga nggak berani pergi dari lautan. Airnya udah bikin lo terlalu nyaman sampai panggilan kalian aja udah berubah.” “Gue nggak setega itu ngomong ke Daniel tentang gue sama Andrean, Dan. Dia pasti kecewa banget.” “Jadi lo pilih rahasiain semua ini dan bakalan masuk ke permainan Andrean selanjutnya?” Pemikiran keduanya saling terkoneksi. Keduanya berpikir pada hal yang serupa, dimana bisa saja Andrean menggunakan kisah satu malam yang terjadi untuk menekan Anisa. Pria itu bisa berlaku semaunya, termasuk menjajah kehidupan Anisa yang mulai berjalan damai. “Andrean nggak mungkin kayak gitu kan, Dan?” “Who knows, Nis.. Lo yang paling tau sifat Andrean.” Dan Anisa dibuat takut setengah mati oleh feeling tak baik yang muncul di dalam benak mereka saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN