Perlakuan yang Berbeda

1107 Kata
Andrean mengetuk pintu kelas dihadapannya. Ia membuka pintu tersebut, menunduk sembari mengucapkan maaf karena terlambat pada dosen yang lima menit lalu ia ketahui masuk ke dalam ruangan yang sedari tadi dirinya incar. Dari tempatnya berdiri, Andrean dapat menangkap keterkejutan Anisa. Bayangan tubuh yang mendadak tegang tersebut tertangkap oleh ekor matanya. "Andrean.. Saya baru tau kamu mengambil kelas ini.." "Saya membutuhkan beberapa data untuk eksperimen saya, Bu." "Baiklah! Usahakan untuk tidak membolos. Kamu bisa duduk disamping Anisa.. Adik kelas kalian pasti terkejut melihat bintang kampus ternyata satu kelas dengan mereka." "Akan saya usahakan, Bu." "Duduklah Andrean. Jangan lupakan untuk datang di kelas tepat waktu. Saya tidak menyukai keterlambatan." "Diingat dengan baik, Bu." Setelahnya Andrean mengambil kursi kosong disamping Anisa. "Tasnya cantik. Aku disuruh duduk disini. Udah nggak ada kursi lagi." Andrean selalu mengetahui kebiasaan Anisa. Wanita itu selalu mengambil barisan paling belakang dengan satu kursi kosong di sebelahnya untuk meletakan tas. "Aku nggak keberatan kalau disuruh pangku kam," Andrea pura-pura kelepasan bicara. Ia menutup mulutnya sendiri menggunakan tangan, "tas kamu maksudnya, Nis." Ia terkekeh melihat raut panik Anisa. Wajah itu menjadikan kesenangan tersendiri baginya. “Ngapain kamu di sini?! Kamu kan..” Andrean mendekatkan kepala mereka berbisik ditelinga Anisa. Ia tahu wanita yang dirinya cintai tidak akan suka jika ia mengatakannya secara terang-terangan, “buat kamu.” ujarnya semakin membuat Anisa menegang di tempatnya duduk. Wanita itu langsung bergerak gelisah. “Fokus Nis.. Gue cuman mau nemenin aja. Jangan buat anak-anak curiga.” Akan sangat tidak baik membuat semua orang menaruh minat pada interaksi kelewat aneh keduanya. Ada nama baik Anisa yang dipertaruhkan bersama hubungannya dengan Selina. Belum saatnya untuk membuat kegaduhan. Anisa belum tentu masih mau bersamanya saat ini. Sepanjang mata kuliah berlangsung, Andrean sama seperti halnya Daniel– menjadikan Anisa pusat perhatiannya. Ia terus memandang lekat wajah wanita yang mencoba mengabaikan kehadirannya. Diam-diam, tanpa diketahui orang lain, tangannya yang menyender di tembok belakang melingkar di kursi Anisa. ‘Rasanya kayak lagi meluk dia,’ batin Andrean. Andrean menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata sejenak. Ia butuh tidur sebentar. Bangun terlalu pagi dan menemui realita tak sesuai ekspektasinya membuat dirinya dilanda rasa lelah. “Ndre.. Udah selesai.” “Gimana?” Andrena mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menatap sekeliling dan kelas memang kosong. Sekilas, seandainya Anisa peka– wanita itu pasti akan menemukan segaris senyum yang singgah di wajah tampan Andrean. Tanpa wanita itu sadari, sebenarnya ia masih menaruh perhatian untuk Andrean. Ia tidak meninggalkan Andrean sendirian di dalam ruang kelas yang kosong. “Awas! Aku mau lewat.. Kamu ngalangin, Andrean! Aku mau makan siang ini udah ditungguin Daniel!” Andrean menyingkir. Tujuan utamanya adalah membuat Anisa terbiasa dan kembali merasakan ketulusannya. Ia memberikan jalan, “silahkan Tuan Putri. Thanks ya udah bangunin aku. Bentar lagi aku ada kelas sama Selina.” “Iya aku tau.. Udah minggir yang lebar. Nanti kena!” Andrean membiarkannya. Ia melipat tangan ke atas dadanya, “kamu keceplosan Sayang. Seperhatian itu ya sama aku?! Kok masih nggak mau diajak balikan sih. Padahal backstreet dari pasangan masing-masing aku juga mau.” Racau Andrean bermonolog, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Tampaknya ia kembali tergila-gila pada Anisa. Sama seperti dulu ketika mereka masih remaja. Apa saja bisa ia lakukan demi mendapatkan wanita itu. Di luar Anisa berlari cepat. Ia sangat takut jika Andrean mengikutinya dan menggagalkan acara makan siangnya bersama Daniel. Ia pasti akan sangat canggung nanti jika berada di antara keduanya. Respon tubuhnya terlalu kentara menandakan terjadinya perselingkuhan. Ia tidak bisa seperti Andrean yang dapat mengontrol raut wajahnya. Ia bukan manusia yang memiliki seribu wajah. Kegugupan selalu mendominasi. Terakhir bertemu bersamaan di rumah sakit saja, Anisa keringat dingin– ketakutan sendiri. Padahal belum tentu mereka ketahuan. “Jangan lari-lari. Nanti jat.. Nisa!” teriak Daniel ketika kaki-kaki Anisa saling bertabrakan. Ia segera berlari dan beruntung, entah dari mana Zidan datang menolong mencegah agar Anisa tidak terjatuh ke depan. “Pelan-pelan aja, Bu. Daniel nggak mungkin kabur.” Zidan membantu menegakkan tubuh Anisa. “Semangat banget lo, Nis, Nis! Tuh ampe merah muka laki lo saking kagetnya.” “Yang! Hampir aja. Kamu ini!” amuak Daniel, “jangan lari-larian lagi. Siapa sih yang ngejar sampai segitunya?!” tanya Daniel sambil meneliti adakan yang memar dari kaki-kaki Anisa. “Ya Ampun, Niel. Ampe lo liatin segala. Nggak ada yang biru. Keserimpet doang cewek lo.” nyinyir Zidan. “Alay banget nih pasangan.” Padahal dalam hati Zidan juga terus merasa was-was jika seandainya ada luka yang bersarang di kaki dan tubuh Anisa. Sudah ada Pangeran Daniel yang menjalankan tugasnya. “Kali aja kakinya cewek gue bulu keteknya Samson Betawi.. Besi gitu.” “Jayus banget bercandaannya kalian.” omel Anisa. Bibirnya mengerucut dan langsung diraup oleh Daniel. “Jangan gitu, Yang. Jadi pengen cium aku nanti.” Kontan saja Anisa langsung membekap bibirnya membuat Daniel dan Zidan terbahak. Jika menurut kedua pria yang ada di sampingnya ia lucu, berbeda dengan Anisa. Otaknya memikirkan perkataan Daniel yang baru saja keluar dari mulut pria itu. Ia jadi teringat, selama satu mingguan lebih berpacaran dengan Daniel, laki-laki itu bahkan tak pernah melakukan batasan lebih. Paling banter hanya mencium kening dan pipi. Daniel tak pernah menjamahnya terlewat batas seperti Andrean. “Bro, ngikut aja sama kita. Biar nggak keliatan ngenesnya lo jomblo!” “Sialan!” maki Zidan menempeleng pundak Daniel. Ia lantas memperhatikan gerak-gerik Anisa yang mendadak terdiam. Wanita itu hanya menurut kala Daniel menggiring tubuhnya mendekati mobil. “Ya udah, gue join.” Putus Zidan. Ia mana mungkin tega membiarkan Anisa yang sedang bergelut dengan pemikirannya pergi seorang diri menangani Daniel. Bisa-bisa Anisa amsyong nanti. “Nebeng mobil gue aja. Kan Anisa masih ada kelas nanti.” Daniel menepuk lengan Anisa, “Yang, masuk.. Masih kaget sama tadi ya kok bengong aja?” tanya Daniel memastikan. “Ng-ngak kok. Aku cuman kepikiran ini,” Anisa mulai terlihat panik. Ia mengaduh sembari mengetuk-ngetukkan telapak tangannya di udara, “ada yang ketinggalan nggak di kelas. Iya itu..” Dusta Anisa lalu meringis. Mimik wajahnya sangat kentara jika sedang berbohong. “Zidan ikut?” Ia melirik Zidan sebelum memekik kesakitan karena keningnya mendapatkan sentilan. “Biar sadar!” tukas Zidan. Zidan terus mengawasi Anisa dari belakang. Mereka saat ini sedang menuju Jonas Studio. Di sebelah tempat pemotretan itu ada restoran yang sama-sama dikelola oleh perusahaan yang sama. ‘Dia kenapa?’ Zidan mulai bertanya-tanya. Ia merogoh saku celananya, mulai mengetikan pesan singkat melalui aplikasi perpesanan terkini. Zidan A Hey.. Tenang.. Ada gue Nis. Mikirin apa sampe nggak fokus gitu? Everything gonna be alright.. I’ll stay by your side, Sister. Tak menunggu lama, balasan datang membuat Zidan semakin bertanya-tanya tentang hal yang mengusik pikiran sahabatnya. Tak biasanya Anisa membalas hanya dengan satu kata. Dan itu, Anisa nothing..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN