Kehilangan Kendali

1169 Kata
Dua hari telah berlalu sejak Andrean mengusik ketenangan Anisa. Pria itu terus mencari celah untuk mendekati Anisa. Mengerikannya, perilaku menyimpang tersebut dilakukan Andrean saat ada atau tidaknya Selina di dekatnya. Anisa hampir gila rasanya memikirkan kelakuan Andrean sekarang. “Dianter Daniel?” Anisa menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan dari Zidan. Wanita itu menghempaskan dirinya disamping pria yang tengah membaca novel ditangannya. “Tadi gue liat mobil Andrean di Patung Kuda.” Adu Anisa. “Dia mau ke kos lo?!” Zidan menutup novel ditangannya. Kini ia sepenuhnya memberikan atensi pada Anisa yang berkunjung ke apartemennya. “Iya! Dia ada chat soalnya. Bilang mau mampir. Gue kirain dia lewat Bukit Sari makanya minta Daniel jangan lewat depan, tapinya malah sisipan!” Zidan terkekeh mendengarnya. Pria itu mengacak gemas puncak kepala wanita yang memajukan bibirnya. “Niat banget Andrean gas pol..” Tanpa diucapkan, semua orang yang memiliki mata pun dapat melihatnya. Zidan teringat akan peringatan Daniel tempo hari di Mr. K. Pria itu dengan gentle meminta Andrean untuk tak mengusik hubungannya dengan Anisa, dan pintarnya Andrean mampu berkilah. Ia mengatakan jika hanya ingin membangun relasi yang baik mengingat sekarang Anisa telah memiliki Daniel sehingga kemungkinan terancamnya hubungannya bersama Selina akan sangat tipis. ‘Cewek gue aslinya juga cemburu sama Anisa.. Makanya gue nggak bisa begitu deket kemarin. Jaga perasaan dia, Bro! Sekarang kan udah punya lo, Selina bisa apa kalau gue pengen kongkow bareng kalian?! Alesannya nggak terbukti apa-apa.’ Licin sekali, seperti belut. Lucunya Daniel menelan mentah-mentah pernyataan tersebut. Zidan sendiri juga heran. Insting Daniel sepertinya sudah sangat tumpul. Kepercayaannya pada seorang sahabat, membutakan naluri kelaki-lakiannya dalam mempertahankan hubungan percintaannya. “Terus lo mau gimana, Sekarang?!” “Ya, gimana?! Harus kebiasa kan?!” dengus Anisa. Apalagi yang dapat ia lakukan di situasi seperti sekarang ini. Ia hanya harus terbiasa dengan perilaku-perilaku Andrean. Asalkan tidak membongkar apa yang mereka sempat perbuat dibelakang para kekasih masing-masing. Anisa masih tak tega melihat Daniel terluka, terlebih itu karena dirinya. Anisa dan Zidan melihat pada pintu apartemen. Baru saja ada seseorang yang memencet bel. “Andrean?” pekik keduanya menebak. Anisa buru-buru bangkit dan berlari menuju kamar yang biasa ia gunakan di unit Zidan. “Jangan bilang gue disini!” ujarnya pada Zidan agar menyembunyikan keberadaannya dari Andrean. “Dia juga pasti udah tau, Nis.” Zidan tak ingin memberikan janji palsu. Andrean bukan tipe yang dapat dihadapi terlebih laki-laki itu sudah mengetahui keberadaan Anisa. Peluang Andrean akan mempercayai ucapannya sangatlah kecil. “Masuk dulu, baru gue bukain. Siapa tau dia percaya.” Anisa menutup pintu yang tangannya genggam. Ia berharap Andrean akan segera berlalu. Ia takut pada dirinya sendiri yang belum dapat mencintai Daniel. Ia tak mau goyah, tapi perasaan dalam hatinya jelas tak dapat menipu dirinya sendiri. Andrean masih menjadi raja yang duduk abadi di singgasana hatinya. Ia masih sangat mencintai pria itu, terlepas sebaik apapun Daniel dalam memanjakan dirinya dan Anisa merasa bersalah atas hal tersebut. Wanita yang tengah bersembunyi itu menyandarkan dirinya pada kusen pintu. Matanya terpejam sembari meletakkan telapak tangan di atas dadanya. “Sayang.. Papamu bukan seseorang yang bisa Mama jadikan tempat untuk berlabuh. Banyak hati yang nanti akan terluka. Tolong berikan Mama kekuatan untuk menghindari dia, Nak.” Tak banyak yang Anisa pinta. Ia hanya menginginkan kehidupannya berjalan dengan baik tanpa menghancurkan kehidupan milik orang lain. Kehilangan orang terkasih merupakan momok paling kejam yang dapat meluluh-lantahkan hidup seseorang. Ia pernah berada di dalam posisi tak mengenakan tersebut hingga harus menjalani serangkaian pengobatan. Dua orang tercintanya mengantarkan dirinya pada hitamnya dunia yang tak bercahaya. Setiap malam ia harus meminum antidepresan agar tak terus meratapi dirinya yang malang. “Anisa ada disini?” “Nggak..” “Lo nggak bakat bohong, Dan. Dia dimana?! Ada hal yang perlu gue omongin.” “Gue bilang dia nggak ke sini, Ndre. Nggak percayaan banget jadi orang. Di kampus kali. Jumat kan dia masih ada jam.” “Jam kosong. Gue ikut juga kelasnya sekarang!” Perdebatan sepasang sahabat itu sampai ditelinga Anisa. Ia meringis sendiri, mendengar perkataan Andrean yang membuat Zidan akhirnya mengetahui jika pria itu memanfaatkan banyak momen agar dapat terus bersamanya. Ia belum mengatakannya pada Zidan perihal ini. “Maksud lo apaan?!” “Intinya gitu! Lo nggak perlu paham maksud gue!” “Dia di kamar?” suara tanya Andrean membuat Anisa panik. Ia menatap ke seluruh penjuru arah, mencari tempat sembunyi terbaru agar Andrean tidak menemukannya. “Ndre?!” “Jangan tahan gue, Dan! Gue nggak pake pengaman malem itu. Anisa bisa aja hamil anak gue.” Jantung Anisa berpacu cepat. Apa yang Andrean katakan tidak pernah terlintang dalam benaknya beberapa hari ini. Ia mengusap perutnya sebelum belaian lembut itu menjadi cengkraman kuat. “Nggak dia bohong!” racau Anisa sembari menggelengkan kepalanya. “Stop it, Ndre! Just stop! Lo nggak tau penderitaan dia selama ini. Jadi jangan lanjutin kata-kata lo!” “Urusan gue sama dia belum selesai Dan! Anisa!” “Gue bilang diem, Sialan!” bentak Zidan mulai tak dapat mengendalikan dirinya. Nafasnya berhembus tak beraturan dengan dadanya yang kembang-kemping. “Gue bisa robek mulut lo kalau masih ngelanjutin omong kosong ini!” Zidan meraup kerah kemeja yang Andrean kenakan, “berhenti gue bilang Ndre! Jangan sakitin dia lagi!” “Anisaaa! Aku tau kamu denger semuanya! NIS!” “Shut up, Dog!” Anisa membuka pintu kamar tepat bersamaan ketika sebuah tonjokan mendarat di pipi kanan Andrean. Pria itu terduduk di atas lantai sembari menghapus darah segar yang keluar dari sudut bibirnya. “Nggak percuma kita berantem. Kamu akhirnya keluar, Sayang.” Seringaian Andrean terlihat sangat menakutkan di mata Anisa. Terlebih kala pria itu mencoba bangkit dan bergerak ingin menggapai tubuhnya. Pergerakan Zidan lebih cepat. Sahabat Anisa itu menghalau, menghalangi Anisa dengan tubuhnya sendiri. “Go away from her!” desis Zidan. “Gue nggak kasih lo waktu buat ngobrol sama dia buat bahas kebodohan kalian! No Andrean!” Andrean terbahak. Kalimat Zidan terdengar menggelikan ditelinganya. “Siapa lo, Dan?! Ini privasi kami.” Jawabnya begitu santai membuat senyum Zidan mengembang. Ia sedang mengolok Andrean sekarang. “Jelas gue bisa. Gue satu-satunya orang yang ada disamping dia ketika lo buang dia kayak sampah. Gue satu-satunya manusia yang genggam tangan dia waktu dia ada diambang kematian karena lo! Gue malaikatnya dan lo iblis yang ninggalin dia!” Zidan membalikkan tubuhnya, ia menutup kedua telinga Anisa dengan tangannya. “Jangan dengerin apa yang dia omongin. Lo nggak akan hamil hanya karena kesalahan satu malam, Nis.” Zidan yakin, Anisa masih dapat mendengar kalimatnya. “Kemungkinan itu ada, Dan..” “PERGI!” Anisa menjerit. “Suruh orang itu keluar Dan. Gue nggak mau liat dia!” Anisa meronta kala Zidan ingin memeluk tubuhnya. Ia terus meneriakkan kalimat usiran hingga makian-makian untuk membuat Andrean meninggalkannya sendiri. “Nis, Anisa! Take a breath Nis.. Andrean udah pergi.” Zidan mencoba menyadarkan Anisa dari kendalinya tubuhnya yang lemah. “Lo aman sama gue.. Ada gue!” bisik Zidan mengatakan kalimat andalannya. “Dia udah nggak ada Anisa.. Cuman ada gue disini! Zidan Arkansyah Gibran.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN