Korban Lain (2)

844 Kata
"Mau temenin aku beli minuman dingin?" Steve melirik adiknya yang sudah berceloteh tentang ruangan penyekapan kepada Farel, juga tentang menyeramkannya penculiknya tadi. Dia tersenyum samar ketika mengalihkan pandangan, lalu mengangguk pelan ke Riani. "Aku juga agak haus nyariin seniman gila itu." "Hahaha... Gila gila gitu tetep adikmu." Steve mengedikkan bahu saat menyamakan ritme jalannya dengan Riani. "Jilbabmu kenapa?" Riani refleks melihat bagian depan jilbabnya juga bajunya. "Tadi Farel terpleset gara-gara lari nggak lihat jalan. Pas aku mau bantu, malah aku ikutan jatuh ke depan. Nih, lihat, rok sama bajuku juga kotor." Sebenarnya dagu gadis itu juga sedikit tergores batu, tapi dia tidak mengeluhkan rasa sakitnya. "Cieh, jatuh ke dalam kubangan lumpur berduaan. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan, Ri?" "Dasar Steve! Aku jatuh malah kamu cie-in." Ketika mereka jalan bersama menuju mini market depan rumah sakit, seseorang memotret keduanya. Riani memerhatikan Steve ketika mengambil minuman dingin di mesin pendingin, lalu membayar di kasir. Dia sendiri ke bagian samping mini market, tepatnya ke apotek. Sekembalinya, gadis itu sudah membawa se-plastik obat merah, kapas, dan alkohol. "Buat apaan?" tanya Steve, tak paham. Riani tersenyum, menarik tangan Steve ke atas meja, yang buku jarinya terluka. "Kamu sampai nggak sadar udah terluka demi adikmu. Lila beruntung banget ya, punya abang kayak kamu." Selama Riani berceloteh ini, dia sudah membersihkan luka di buku jari tangan Steve. "Aku juga beruntung punya sahabat yang perhatian kayak kamu," balas Steve. Riani tersenyum, lalu menaruh obat merah ke kapas dan mengoleskan ke buku jari tangan Steve. "Kebetulan aja aku lihat." Steve bertopang dagu dengan tangan kiri, menikmati olesan obat luka dari Riani. "Masa sih? Dari tadi aku udah sengaja nunjukin luka ini ke Lilo, tapi dia malah nggak peka. Bahkan nggak ngelirik tanganku sedikit pun." "Hahaha... Please, deh, Steve, jangan bandingkan sama Lila. Dia itu super nggak peka. Logika nggak mempan sama dia." "Dia benar-benar ajaib! Aku kasihan sama Farel." Senyum Riani hilang. "Farel juga b**o. Udah tahu Lila nggak peka, tapi nggak berani gerak duluan." Steve merasakan perbedaan nada suara Riani, tapi dia pikir itu karena Riani kesal dengan kebodohan Farel. "Kamu dorong, dong, biar dia berani maju buat nembak adikku." "Kenapa nggak kamu aja? Kamu, kan temennya. Sama-sama cowok lagi." "Kamu pikir aku nggak pernah dorong dia? Dia aja yang susah dibilangin." "Apa bedanya sama aku, Steve? " "Kamu, kan, mahir banget ngeyakinin orang lain. Pasti berguna juga buat Farel." Riani selesai mengoles obat merah, lalu menatap Steve, wajahnya serius. "Kamu yakin mau aku dorong Farel buat nembak Lila?" Wajah Steve pias, ada keraguan di netranya. "Kenapa nanya gitu?" Riani tersenyum misterius, netra gelapnya mengindikasikan kejahatan tersembunyi. "Entar sayangnya Lila terbagi loh. Yakin nggak nyesel kalau nanti Lila lebih sayang pacarnya daripada abangnya?" Steve mendengkus, berdiri. "Kamu ngelantur. Udah malam, lebih baik kamu pulang." "Ecieh, ngambek, ya?" Riani menusuk pinggul Steve dengan jemari telunjuknya, tertawa renyah. "Seneng banget ya, kayaknya?" Steve menarik tangan Riani, tertegun ketika memerhatikan senyum manis gadis di depannya. "Jangan kelamaan lihatin aku, Steve, entar naksir loh." Steve melepas tangan Riani, mendengkus lagi. "Naksir sama cewek jahat kayak kamu? Nggak mungkin!" "Kok jahat? Kapan aku jahat?" Steve lanjut jalan ke rumah sakit saat berkata, "Kamu penyebar nomor hp-ku, kan?" "Ka-kapan aku nyebarin nomor kamu?" Steve diam saja. "Oi, Steve! Jawab dulu!" Riani kesal, langkahnya lebih cepat demi menyusul Steve. Steve hanya tertawa pelan melirik Riani yang tergesa ke dekatnya.   ***   Dalam perjalanan pulang, Riani dan Farel duduk diam di dalam mobil. Tak ada yang berniat membuka percakapan karena Farel tampak memikirkan Lila, sementara Riani memikirkan perkataan Steve tentang mendorong Farel untuk nembak Lila. Sampai Farel mencapai gerbang depan kediaman Riani, keduanya masih diam. "Thanks, Rel," kata Riani ketika turun dari mobil. Farel hanya menjawab, "Ehm..." "Hati-hati di jalan, Rel." Farel bahkan tidak mendengarkan itu karena pikirannya berlarian ke penculik Lila, tapi kemudian dia melirik wajah gadis yang melambaikan tangan di depan gerbang. Dia langsung turun, meraih wajah itu. "Dagumu kok luka gini, Ri?" Riani refleks menepis tangan Farel, lalu mundur sampai punggungnya menabrak gerbang hijau di belakangnya. "Aku nggak apa-apa." Terburu-buru, gadis berhijab itu langsung masuk ke rumahnya tanpa menoleh ke belakang lagi. Farel mengacak rambutnya. "Aishh! Aku lupa kalau lagi berhadapan sama Riani. Mana boleh aku sembarangan pegang-pegang muka dia. Entar aku diceramahin, bilangnya, 'bukan muhrim' lagi." Dia terkikik ketika masuk ke mobil, lalu melirik sekali lagi ke bangunan satu lantai itu. "Tapi kalau sama Steve, kayaknya dia baik-baik aja." Senyum jenaka menghiasi wajah Farel ketika dia menekan pedal gas. Sementara itu, gadis yang dipikirkan Farel sedang tersipu sambil memegang pipinya ketika masuk ke rumah. Seorang pria setengah abad sedang membawa minuman di tangan saat dia terkejut dengan suara keras pintu rumah yang ditutup oleh Riani. Air di gelasnya sampai tertumpah ke lantai keramik. Saat dia akan memarahi siapa pun orang yang masuk rumah tanpa mengucap salam itu, dia sekali lagi dikejutkan dengan sosok mungil yang memegang pipi, yang seluruh bagian depan baju dan jilbabnya kotor. "Kenapa Ri?" tanya ayah Riani, namanya Bagas. "Enggak apa-apa, Yah." Riani hanya menunduk memegang wajahnya, lalu ke kamarnya di  lantai atas. Bagas menatap heran putri angkatnya itu.   ***   Setengah jam setelah Riani dan Farel pamit pulang, Lila pun tertidur. Steve yang sedang memikirkan pria pincang di dekat jendela pun dikejutkan dengan dering teleponnya. Itu panggilan dari Smith. "Steve, kamu tahu dari mana kalau di sana ada korban pembunuhan?"   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN