Gisna berjalan setengah berlari melewati lorong rumah sakit menuju kamar inap ibunya. Ia panik, ia takut. Bik Minah tadi menghubunginya dengan tangis yang masih bisa ia dengar meskipun wanita itu berusaha menahannya. Ibunya kritis, dan dia diminta untuk segera datang ke rumah sakit. Dengan tergesa, ia meminta ijin pada atasannya dan mengatakan dengan jujur bahwa ia harus melihat kondisi ibunya.
Gisna sampai di ruang rawat ibunya. Dia tidak bisa memberikan perawatan ekslusif pada ibunya sehingga ibunya terpaksa dirawat dalam satu ruangan bersama dengan tiga pasien lainnya. Bukan ruangan vip atau vvip.
Ia sangat ingin memberikan ibunya kenyamanan. Tapi mau bagaimana lagi, keuangan mereka kini menipis. Ia juga merasa malu pada ibunya, karena suara para pengunjung yang keras memang tidak dipungkiri akan mengganggu ibunya yang sebenarnya sangat butuh istirahat. Tapi apa daya, untuk memindahkan ibunya ke kamar vip ia tidak memiliki uang. Semua uang dari santunan ayahnya sudah habis digunakan berobat ibunya selama ini, begitu juga dengan tabungan Gisna selama tiga tahun terakhir ini.
Gisna sampai ke ranjang ibunya yang berada di paling sudut dan langsung berhadapan dengan bik Minah. "Bagaimana keadaannya, Bik?" Tanyanya berusaha bicara setenang mungkin.
"Dokter bilang, pendarahan di bagian hati dan ginjal ibumu sudah parah. Mereka harus melakukan operasi sesegera mungkin."
"Operasi?" Matanya terbelalak lebar. Ibunya kini tengah tertidur. Rambutnya yang entah bagaimana berubah putih dalam waktu tiga tahun terakhir ini tampak berantakan. Kerudung yang biasanya ibunya kenakan terpaksa harus Gisna lepas supaya tidak menghalangi selang oksigen yang kini terpasang di bawah hidungnya. Gisna mendekat, mengusap kening ibunya yang terasa dingin sebelum mengecupnya pelan. Gisna kembali mengalihkan perhatian pada Bik Minah. "Operasi apa, Bik?"
"Bibik gak terlalu paham. Tapi dokter bilang mereka harus mengangkat gumpalan darah yang ada di hati ibu kamu dan ginjal ibu kamu yang sudah rusak." Lanjutnya dengan sedih.
Gisna hanya bisa mematung. Operasi? Pikirnya. Apakah kondisi ibunya memang separah itu? Kenapa baru diketahui sekarang? Bukankah selama dua tahun ini ibunya rajin melakukan kontrol ke rumah sakit? Lalu selama ini, obat yang dikonsumsinya itu untuk apa?
"Siapa dokter yang bertanggung jawab, Bik?" Bik Minah menyebutkan nama dokternya dan segera Gisna pergi ke resepsionis untuk mencari keberadaan dokter tersebut. Setelah diberi instruksi oleh bagian resepsionis, Gisna akhirnya menemukan dokter itu di bagian dokter bedah dan ahli dalam. Gisna mengetuk pintu yang langsung dijawab oleh suara di dalamnya.
Seorang dokter berumur sekitaran lima puluhan memandangnya dari balik kacamata perseginya. "Saya Gisna, putrinya ibu Lisna." Ia memperkenalkan diri yang dijawab anggukan sang dokter.
"Duduklah." Pintanya dan lalu setelah Gisna duduk dokter itu menyalakan mesin pembaca hasil rontgen dan meletakkan sebuah gambar hitam putih di atasnya. "Kami sudah melakukan rontgen yang kemudian kami perdalam dengan CT-Scan, dan kami mendapatkan hasil yang mengejutkan. Bahwa di dalam hati ibu anda, terdapat flek yang ternyata semakin membesar. Bukan tumor, melainkan darah yang menggumpal akibat benturan kecelakaan yang terjadi pada ibu anda dua tahun yang lalu." Dokter itu menunjukkan satu titik yang sebesar biji kacang tanah. "Dan ginjal ibu anda, mengalami kerusakan yang lebih parah." Lanjutnya menunjukkan pada titik lain yang ukurannya lebih besar.
"Tapi selama ini ibu saya rutin kontrol dok, bagaimana ini bisa terjadi?"
"Ada dua kemungkinan. Apakah dokter ibu anda salah memberikan vonis. Atau kemungkinan kedua, ibu anda sudah tahu kondisinya tetapi lebih memilih diam. Karena pasti saran kami, para dokter, ini harus dilakukan tindak operasi. Mungkin untuk bagian hati, masih bisa dilakukan dengan mengkonsumsi obat pencair darah. Tapi mengingat usia ibu anda, itu sangat rentan. Dan untuk ginjalnya, ini tidak bisa kami tangani lagi. Harus benar-benar diangkat karena memang sudah malfungsi." Lanjut dokter itu dengan sedih.
"Bagaimana dengan kondisi ibu saya? Apa memungkinkan?"
"Kami masih melakukan evaluasi. Usia ibu anda sudah tidak muda terlebih memang kondisi fisiknya yang tidak fit. Kami juga harus melihat keadaan jantung ibu anda, konsentrasinya terhadap obat bius perlu kami pertimbangkan."
"Lalu keberhasilannya."
"Kami memiliki tim terbaik di kota ini. InsyaAllah kami akan berhasil melakukan operasi ini, jika diperhitungkan secara medis. Tapi selebihnya hanya Allah yang tahu. Selama pasien berkeinginan kuat untuk sembuh, InsyaAllah tidak akan ada halangan apapun."
"Lalu biayanya?"
"Untuk perkiraan kasarnya, anda perlu biaya sekitar seratus juta. Tapi lebihnya, pihak administrasi yang tahu. Anda bisa membicarakannya dengan mereka "
"Kapan operasi itu perlu dilakukan?"
"Setelah melihat kondisi ibu anda, jika dalam dua hari ini stabil, maka dua hari lagi kami bisa melakukan operasi." Gisna mengangguk.
"Baiklah, dok. Lakukan yang terbaik untuk ibu saya. Saya hanya punya beliau. Saya mohon." Pintanya dengan memelas. Dokter itu menangkup kedua tangan Gisna dengan perlahan.
"Kami selalu berusaha melakukan yang terbaik semampu kami. Selebihnya perbanyaklah doa untuk keselamatan dan kesehatan ibu anda." Ucap pria itu penuh wibawa. Gisna mengangguk mengamini. Setelahnya ia bangkit dari ruangan dokter itu dan mencari ruang administrasi.
Setelah berbincang dengan bagian administrasi, akhirnya perkiraan biaya yang harus Gisna tanggung bisa seharga satu buah mobil keluaran terbaru. Biaya operasi, belum obat dan perawatan ibunya memang fantastis. Ibunya tidak memiliki asuransi, dan jaminan kesehatan pemerintah pun tidak menanggung operasi semacam ini. Sementara itu Gisna tidak memiliki apa-apa lagi yang bisa ia jual. Selain rumah yang ia tempati saat ini. Namun meskipun ia menggadaikan rumah itu pada bank, ia akan butuh waktu untuk menunggu uang itu cair. Dengan segala t***k bengek sistem administrasinya.
Meminjam pada rentenir? Pikiran itu langsung membuatnya menggeleng keras. Gisna tidak yakin apakah rentenir akan meminjamkan uang ratusan juta seperti itu? Dan rentenir mana pula yang ia kenal. Ia tidak pernah mengenal orang-orang seperti itu.
Pikiran Gisna terarah pada satu orang. Mas Haris. Ya, dia bisa mencoba menghubungi Mas Haris dan meminta bantuannya. Setidaknya pria itu bisa membantunya mencarikan pinjaman yang ia butuhkan. Bahkan jika waktu pelunasan yang dibutuhkannya seumur hidup, Gisna akan lakukan. Selama ia bisa mendapatkan kesembuhan untuk ibunya.
Gisna meraih ponselnya dan menghubungi Haris. Dalam deringan yang keempat, barulah pria itu menjawab.
“Hallo?” sapanya dengan suara berbisik.
“Mas, aku butuh bantuan. Bisakah kita bertemu?” tanya Gisna.
“Penting sekali? Apa tidak bisa ditunda?” tanya pria itu setelah hening sejenak.
“Tidak, Mas. Ini darurat.” Jawabnya lagi.
“Baiklah. Temui aku di atap kantor saat jam makan siang.” Ucap pria itu lagi. Gisna mengiyakan sebelum menutup teleponnya. Gisna melirik jam tangannya, setengah jam lagi jam makan siang. Jika dia naik ojek menuju kantor, dia tidak akan terlalu terjebak macet. Dan mudah-mudahan pria itu masih ada disana menunggunya.
Dengan gerakan cepat Gisna mencari tukang ojek yang ada di pelataran parkir rumah sakit. Tanpa berunding harga dia menaiki motor bebek itu dan meminta si empunya untuk menjalankannya dengan kecepatan yang lebih dari biasanya.
Gisna tergesa berjalan menuju lift menuju lantai 19, dari sana dia akan menaiki tangga darurat menuju lantai 21. Kakinya mengetuk-ketuk lantai lift dengan tak sabar. Tepat di lantai 19 pintu lift terbuka, Gisna merasa bersyukur karena sepanjang perjalanan tidak ada orang yang ia kenal yang menyapanya. Karena ia bingung jika harus memberikan mereka penjelasan akan keberadaannya di kantor sementara dirinya tadi mengajukan ijin pulang.
Gisna mendorong pintu atap yang terbuat dari besi tebal itu dengan sekuat tenaga. Angin yang bercampur polusi panas Jakarta menerpa wajahnya dan mengibaskan rambutnya. Sebenarnya tempat ini bukan tempat yang terlalu disukainya. Gisna tidak suka ketinggian, dan meskipun berada di pintu yang berada jauh dari dinding pembatas atap, Gisna masih saja gemetar melihat pemandangan kota yang ada di hadapannya meskipun mungkin menurut sebagian orang itu terlihat indah. Apalagi di malam hari dimana lampu kota menyala seperti lautan bintang ditengah langit yang gelap. Bagi Gisna, itu tetap menakutkan.
Gisna berjalan ke sebelah kanan, tepat ke gudang dimana alat-alat yang sudah tidak berfungsi atau sedang dalam proses perbaikan disimpan. Dia dan Haris biasa bertemu disana jika keadaan mendesak. Ya, Haris. Pria yang disukainya sejak lama, yang menjadi salah satu alasan kenapa Gisna masuk ke Coskun Company selain karena mimpinya dan mendiang ayahnya.
Pria itu memunggunginya dengan sebatang rokok yang menyala setengahnya terjepit diantara kedua jarinya. Suara deru angin menyamarkan langkah Gisna. Sehingga pria itu tersadar ketika Gisna sudah berada di belakangnya dan menepuk pelan bahunya. “Mas.” Ucapnya dengan suara yang lebih keras.
Pria itu berbalik, tidak ada senyum di wajahnya. Hanya sebuah kernyitan. Yang tidak bisa Gisna artikan kenapa. Entah mungkin karena Gisna yang telah mengganggu jam kerjanya, atau memang ada hal lain yang sedang dipikirkan pria itu.
“Apa yang darurat sampai kamu tidak bisa menunggu jam pulang, Na?” tanya pria itu tanpa basa-basi. Ya, Haris memang orang yang kaku. Dibalik wajah tampannya, dia tidak pernah bersikap lemah lembut yang berlebihan. Sedikit cerita mengenai Haris. Dia adalah tetangga Gisna yang juga merupakan kakak kelasnya di kampus. Gisna menyukai pria itu karena pria itu pekerja keras. Dan dulu pria itu seringkali belajar bersama mendiang ayahnya. Sehingga sedikitnya Gisna menyukai pria itu dan ia berusaha mendekatinya. Tapi selama setahun ini ia berusaha, Gisna tidak pernah mendapatkan respon yang baik dari pria itu. Pria itu begitu dingin. Dan sepertinya begitu mencintai pekerjaannya sampai memilih untuk tidak berhubungan romantis dengan siapapun. Dan untuk menghindari gosip yang beredar. Haris meyakinkannya untuk bersikap seolah mereka tak saling mengenal selama di tempat kerja. Dan Gisna tidak keberatan, toh divisi mereka juga berbeda.
“Mama harus di operasi, dan aku butuh uang untuk itu. Aku perlu bantuan Mas.” Ucapnya tanpa basa-basi. Kernyitan di dahi pria itu semakin dalam.
“Apa yang terjadi?” pria itu membuang rokoknya yang tersisa setengah dan menginjaknya sampai apinya mati.
“Ada penggumpalan darah di hati mama dan ginjalnya rusak, harus segera diangkat. Mas tahu Mama tak punya asuransi. Aku juga sudah tidak punya simpanan lagi. Aku butuh bantuan Mas. Tolong carikan aku pinjaman.”
“Memangnya berapa yang dibutuhkan Mama? Aku punya simpanan, tapi tidak seberapa.” Jawab pria itu lagi.
“Tiga ratus juta, Mas.” Ucapnya dengan lirih. Haris terbelalak. Wajahnya memucat. Dia menggeleng perlahan. Mungkin dalam otaknya dia tidak menduga bahwa nominal yang Gisna sebutkan sebesar itu. Atau dia menggeleng karena nominal uang yang ada dalam tabungannya tidak sebanyak itu. “Aku butuh itu untuk lusa. Mama harus segera di operasi, jika tidak akan membahayakan dirinya. Aku mohon Mas, bantu aku cari pinjaman.”
Haris mengusap wajahnya dengan frustasi. “Baiklah, aku akan bantu carikan pinjaman. Nanti malam aku kabari. Sekarang kembalilah ke ruanganmu. Nanti teman-temanmu mencarimu.”
“Aku sudah ijin siang ini, Mas. Aku kembali ke rumah sakit, nungguin Mama disana.”
“Ya sudah, kembali saja ke rumah sakit. Nanti aku kabari kamu.” Ucapnya. Lalu setelah menepuk kepala Gisna pria itu pergi begitu saja.
Gisna memandang Haris. Dalam hatinya dia ragu apakah Haris akan membantunya. Bukan Gisna tidak percaya, hanya saja pria itu terkadang lupa hal yang menurut orang lain penting dan mengedepankan kepentingannya sendiri.
Gisna menyandarkan bahunya ke dinding gudang. Kembali memikirkan opsi lain jika saja Haris tidak berhasil mendapatkan pinjaman untuknya. Dia tidak mungkin meminta tolong pada keluarga mendiang ayahnya, mengingat mereka tidak menyukai Gisna sama sekali. Dan jika dilihat dari segi ekonomi, bukannya merendahkan. Justru selama ini merekalah yang sering meminjam uang pada mendiang ayahnya. Yang tentunya tidak pernah mereka kembalikan dengan alasan kekeluargaan.
Dengan lemah, Gisna berjalan kembali menuju tangga darurat. Ia akan kembali ke rumah sakit saja dan menunggu kabar dari Haris. Jika nanti malam dirinya masih tidak mendapat kabar. Dia akan mencoba opsi lain. Mungkin benar-benar pergi ke pegadaian untuk meminjam uang, atau benar-benar harus mencari rentenir untuk menggadaikan rumahnya.
Saat mencapai lantai sembilan belas, dia berdoa semoga di dalam lift ia tidak bertemu dengan orang yang dikenalnya, sama seperti saat dia naik tadi. Dan beruntung, doanya dikabul. Sepertinya semua orang sudah berangkat untuk beristirahat.
Gisna berjalan sambil merenung. Berbagai hal berkecamuk dalam otaknya. Ia tidak ingin berandai-andai pada satu kemungkinan yang buruk. Karena ayah dan mamanya selalu mengajarkannya untuk selalu optimis dan berpikiran positif akan apapun yang terjadi. Namun dengan keadaan seperti saat ini. Mau tak mau Gisna merasa sendirian. Ayah, apa yang harus Gisna lakukan sekarang? Bahkan seandainya ia menjual organ tubuhnya pun, tidak akan semudah itu dia mendapatkan uang.
Tanpa sadar, Gisna sudah sampai di rumah sakit. Bik Minah yang menjaga Mamanya memandangnya dengan sorot kasihan. “Mama kamu dibawa ke ICU. Kondisi nya tadi memburuk.” Ucap Bik Minah sedih. “Bagaimana sekarang? Kamu sudah dapat pinjaman?” tanyanya lagi. Gisna kembali menggeleng. “Sudah coba pinjam ke perusahaan?” tanya wanita paruh baya itu lagi. Gisna kembali menggeleng. Bukan hal itu tidak ada dalam pikirannya. Tapi meminjam uang dengan nominal sebanyak itu, Gisna tidak yakin perusahaan akan memberikannya. Dia hanya karyawan baru, dan gajinya bahkan tidak seberapa. “Coba saja dulu, siapa tahu berhasil.”
Gisna hanya menatap Bik Minah sedih. “Gisna menunggu kabar dari Mas Haris, Bik.” Jawabnya lemah.
“Kamu yakin dia bisa bantu? Bibik sendiri kurang yakin, Na.” jawab wanita itu dengan ragu. Ya, Gisna sendiri tidak yakin kalau Haris bisa membantunya. Tapi ia tidak punya pilihan lain selain menunggu. Sampai nanti malam. Putusnya dalam hati.
Gisna berjalan ke arah ICU. Dari kaca transparan dia bisa melihat ibunya tergolek lemah dengan beberapa alat bantu rumah sakit yang tidak Gisna tahu fungsinya. Dua monitor tampak berdiri di kedua sisi tubuh ibunya. Hidungnya sendiri dipasangi selang oksigen. Ibunya tidak pernah tampak selemah itu. Wajahnya yang pucat dan bibirnya yang pecah membuat Gisna ingin memeluknya. Disepanjang hidupnya, ia tidak pernah mendengar keluhan ibunya. Bahkan saat mengetahui ayahnya meninggalpun, Ibunya hanya menangis sejenak dan setelahnya kembali tersenyum dan meminta Gisna untuk selalu mendoakan ayahnya.
Gisna duduk di kursi yang ada di lorong. Tubuhnya lelah, begitu juga pikirannya. Dia menyandarkan kepalanya pada dinding kaca pemisah ruang luar dan ICU. Ya Allah, hamba rela memberikan segalanya, bahkan jika bisa biarkan hamba menggantikan beliau disana. Biarkan beliau sehat di sisa umurnya ya Allah. Doanya dalam hati yang tanpa sadar diiringi air mata yang sejak semalam berusaha dibendungnya.