*Gisna Pov*
Aku terduduk diam di kursiku dengan kedua tangan saling menggenggam. Tanganku terasa basah karena keringat, dadaku berdebar tak beraturan. Rasanya tak menyenangkan. Ini adalah usaha terakhir yang bisa kulakukan. Semalam Haris telah mengatakan bahwa ia tidak bisa mendapatkan orang yang bisa memberikannya pinjaman dengan nominal sebanyak itu. Bahkan jika Haris mencari rentenir pun, nomilal yang akan diberikan oleh rentenir itu hanya seperenam dari jumlah yang kubutuhkan
Pilihan satu-satunya adalah menghubungi manager keuangan dan mencoba mengajukan pinjaman. Ya Allah, berikan hamba kemudahan.
Aku mendongak setiap kali lift berbunyi. Berharap managerku keluar dari sana dan aku bisa bertemu dengannya secara pribadi. Aku bahkan datang lima belas menit lebih awal hanya supaya bisa menjadi orang pertama yang bertemu dengan atasanku
Lima menit sebelum pukul delapan, atasanku itu muncul. Aku menncoba menghilangkan kegugupanku dan menyapanya di depan pintu ruangannya. "Bu.." ucapku dengan nada pelan, namun tampaknya telinga Bu Jessica sangat sensitif karena bisa mendengarkannya.
"Gisna, kamu datang pagi sekali." Ucapnya itu dengan heran. Bukan karena kehadiranku yang berkesan awal. Tapi pasti karena penampilanku yang bisa dimasukkan dalam kategori 'berantakan'.
"Saya perlu bantuan ibu." Jawabku masih dengan nada lirih. Bu Jessica menatapku intens sebelum memintaku masuk ke ruangannya.
Bu Jesicca meletakkan tas branded nya di atas meja dan duduk di kursi kebesarannya sementara aku masih berdiri mematung dengan kedua tangan saling menggenggam. "Katakan, apa yang kamu perlukan dari saya?" ucapnya tanpa basa-basi.
"Ibu saya harus di operasi, dan saya memerlukan uang banyak. Saya punya rumah sebagai jaminan, saya butuh pinjaman, Bu." Aku menjelaskannya dengan nada cepat, aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
"Berapa?"
"Tiga ratus juta." Jawabanku sepertinya cukup membuat Bu Jessica terkejut. Dia menatapku dengan begitu intens. Entah apa yang sedang dipikirkanya. Mungkin kepalanya sedang memindai semua masalah yang selama ini aku lakukan. Dan dia tidak akan menemukannya karena selama ini aku sudah bekerja dengan sangat baik. Bukan tanpa kesalahan. Tapi minim kesalahan.
Atau mungkin dia sedang menilai apakah aku orang yang bisa dipercaya. Mengingat semua ini ada hubungannya dengan uang yang nominalnya tak sedikit. Aku sendiri tahu, jangankan orang lain. Keluarga pun seringkali tak dapat dipercaya jika uang menjadi urusannya.
"Duduklah." Kudengar perintah Bu Jesicca dengan nada halus. Aku ingin mendesah lega. Mengingat sejak tadi merasa lututku gemetar. "Apa yang terjadi dengan ibumu? Setidaknya aku harus tahu penyakitnya sebelum aku mengajukan permintaanmu pada atasan. Kau tahu nominal yang kau minta tidak sedikit." Aku menceritakan mengenai penyakit ibuku, operasi yang harus dijalaninya dan nominal yang dibutuhkannya sampai ibunya benar-benar pulih dan diijinkan pulang dari rumah. aku juga mengatakan mengenai jaminan rumah yang kami miliki serta kesanggupanku membayar uang pinjaman dengan cara potong gaji setiap bulannya. "Uang yang kau pinjam dan juga nominal yang kau ajukan untuk membayar cicilannya akan lunas selama sepuluh tahun kau bekerja, kau yakin dengan itu?" tanyanya setelah aku mengakhiri ceritaku.
"Saya yakin, Bu. Tolong bantu saya. Saya tidak punya keluarga lain selain ibu saya, Bu." Pintaku dengan airmata yang sudah tidak bisa lagi ku tahan. Ya Allah, bukakan hati atasan hamba supaya dia bersedia membantu hamba. Pintaku dalam hati.
"Akan saya bantu usahakan." Aku mendongak, memandangnya dengan penuh harapan. "Tapi saya tidak bisa menjamin apakah perusahaan akan memberikan pinjaman sebanyak itu. Saya akan mengatakan kebutuhanmu langsung kepada pak Lucas. Kau tahu kan kalau sementara ini pak Lucas menggantikan posisi pak Adskhan?" Aku mengangguk. "Berdoa saja semoga pak Lucas berbaik hati membantumu." Ucapnya yang kembali kujawab dengan anggukan. "Kembalilah bekerja, atau kau akan kembali ke rumah sakit?"
"Tidak, Bu. Saya akan menunggu jawaban dari Ibu." Ucapku lalu pamit dan keluar dari ruangan. Aku tidak kembali ke kubikelku, aku justru berlari menuju toilet wanita dan memilih mengurung diri disana. Perutku benar-benar sudah terasa mual sejak pagi tadi. Bukan karena masuk angin atau tidak sarapan, tapi karena rasa tegang yang sejak tadi ku tahan. Aku menutup bagian atas kloset sebelum duduk di atasnya, bersembunyi di salah satu bilik terujung. Meredam tangisan kalutku dengan tisu, terus berdoa agar bos nya bersedia membantunya dan baru keluar sampai dirasa tangisku reda.
*Author Pov*
Lucas memandang pengajuan pinjaman di hadapannya yang langsung disodorkan oleh Manager Keuangannya.
Bu Jessica, wanita kaku dan irit bicara itu bukanlah orang baru di Coskun Company, wanita itu bahkan sudah bekerja di sini lebih lama dibandingkan Lucas. Ia tahu prestasi dan sepak terjangnya. Ia juga tahu bahwa Jessica bukan orang yang mudah dekat dengan karyawannya. Dia wanita berpendirian dan lebih memilih untuk menjaga jarak daripada mudah dipengaruhi bawahan. Dan melihat dia mengajukan pinjaman yang besar secara langsung untuk salah satu karyawannya cukup membuat Lucas terkejut.
Lucas mendongakkan kepala dan melihat wanita yang lebih tua di hadapannya dengan seksama. "Ini bukan nominal yang kecil, Bu."
"Saya tahu. Tapi gadis itu sudah menjaminkan rumahnya sebagai jaminan pinjamannya. Dan jika Anda menghitung nilai rumah itu di pasaran, nilai rumah yang dijaminkannya bisa dua kali lipat dari pinjaman yang ia ajukan, tanpa dia harus mencicil selama sepuluh tahun masa kerjanya." Jawab Jessica dengan nada datar. Ucapannya memang sangat masuk diakal. Sebagai pekerja konstruksi Lucas bisa menilai harga dari sertifikat rumah yang kini ada di tangannya.
"Apa Ibu bisa menjamin karyawan ini?" Jesicca mengangguk. Anggukannya berarti lampu hijau. Jessica jarang salah menilai karakter orang. "Baiklah, akan saya pertimbangkan." Jawab Lucas menutup dokumen pengajuan di hadapannya. Saya akan memberikan keputusannya paling lambat besok.
"Saya harap Anda menyetujuinya, Anak itu benar-benar membutuhkan bantuan." Ucapnya sebelum bangkit dan pamit meninggalkan ruangan Lucas. Setelah kepergian Lucas, ia memanggil Ganjar ke ruangannya. "Cari tahu info mengenai karyawan bu Jessica yang bernama.." Lucas membuka kembali map di depannya dan kembali membaca, "Agisna Permata."
"Agisna Permata? Kenapa dengannya, Sir?" tanya Ganjar ingin tahu.
Lucas mengerutkan dahi. "Kau mengenalnya?"
"Tentu, Sir."
"Apa dia gadis baik-baik." Pertanyaan itu membuat Lucas sendiri kaget.
"Sangat baik, Sir." Jawab Ganjar tanpa ragu.
"Bagaimana kau bisa mengenalnya?" kernyitan di dahinya semakin dalam. "Atau jangan-jangan kalian punya hubungan special?"
Ganjar menggelengkan kepala dengan keras. "Tidak, Sir. Tidak seperti itu. Saya mengenalnya karena dia adalah sahabat dari teman kencan saya." Ucapnya malu, tangan kanannya mengusap tengkuk dan kepalanya tertunduk.
"Ahh... sahabat dari pacarmu." Lucas mengangguk paham. "Jadi seperti apa dia?" Tanyanya tertarik.
"Setahu saya, dia anak yatim. Dia sudah bekerja disini selama tiga tahun dan pacar saya yang dulu menjadi mentornya. Dia anak yang baik, dia bahkan tidak pernah main mata dengan pria di kantor ini." Ucapnya yang heran sendiri karena mengatakan hal yang demikian. "Dia sopan, dan pekerjaannya juga baik. Dia rajin dan tidak pernah membuat masalah." Jawaban Ganjar keluar begitu saja. "Tapi kenapa Anda meminta data tentangnya?"
"Apa dia punya pacar?" Lucas balik bertanya. Tidak main mata dengan pria sekantor tidak berarti dia tidak punya hubungan dengan pria lain diluar sana, bukan? Atau siapa yang tahu kalau gadis itu mungkin sudah memiliki suami yang dinikahinya secara diam-diam seperti Lucas dan Jovita?
"Mmm... Itu saya kurang tahu, Sir. Dia orang yang cukup tertutup mengenai masalah pribadi." Jawab Ganjar lagi. Lucas hanya mengangguk. Rencana lain berkelebat dalam pikirannya. Bukan rencana jahat, tapi mungkin akan sedikit merugikan gadis yang bernama Agisna itu.
"Hubungi dia dan katakan padanya untuk datang kesini setelah jam pulang kerja." Lucas memberi perintah sekaligus mengakhiri pembicaraannya dengan asistennya itu.
Di tempat lain.
Gisna kembali meremas tangannya dengan gugup. Tadi bu Jessica dan juga Ganjar menghubunginya dan mengatakan bahwa atasannya ingin bicara padanya sepulang jam kerja. Dan sekarang dia sudah menunggu lebih dari setengah jam di ruang tunggu atasannya itu, namun baik Sir Lucas dan juga Ganjar belum juga muncul. Tadi memang Ganjar sempat mengatakan bahwa meeting yang dihadirinya dan Lucas terlambat karena ada satu dua hal yang harus mereka selesaikan. Gisna bukan cemas karena menunggu, dia bisa dibilang orang yang sabar. Hanya saja ia cemas kalau pinjaman yang diajukannya tidak akan disetujui dan ia bingung harus mencari pinjaman kemana lagi. Sementara jadwal operasi yang harus dilakukan ibunya besok. Jika hari ini ia tidak menyelesaikan administrasinya, maka peluang operasi ibunya harus diundur dan kembali mencari jadwal kosong.
Pintu lift khusus direksi terbuka. Gisna menegang. Suara sepatu yang menginjak lantai marmer terdengar menggema di telinganya. Ia berdiri dengan gugup, tidak berani mendongak dan memandang atasannya. Ia bisa melihat sepatu kulit mengkilat berdiri tepat di depan kakinya. "Masuk ke ruanganku." Perintah itu terdengar halus namun tetap saja tidak mengurangi rasa gugup Gisna. Gisna mengekori atasannya itu di belakang Ganjar. Ganjar menepuk bahunya perlahan, berusaha menenangkannya. Gisna mendongak dan melihat lesung pipi pria itu.
Sekretaris Lucas membukakan pintu. Lucas masuk, namun Ganjar berdiri di depan pintu dan membiarkan Gisna masuk lebih dulu. Pikirnya Ganjar akan ikut masuk ke dalam ruangannya, namun temannya itu malah pamit dan meninggalkan Lucas dan dirinya berdua di dalam ruangan.
Gisna berdiri mematung, masih meremas kedua tangannya. "Duduklah." Perintah itu membuatnya terkejut. Gisna menelan salivanya dan kemudian duduk di ujung sofa yang paling dekat. Selama hidupnya ia tidak pernah membuat kesalahan besar, kecuali kesalahan kecil yang akhirnya ia dapat hukuman dari kedua orangtuanya. Dan sekarang, entah mengapa rasanya Gisna merasa sangat gugup seolah ia telah melakukan suatu kesalahan besar dan sedang menunggu vonis berat dari hakim yang tidak lain adalah Lucas. Atasannya sendiri.
Lucas cukup terkejut ketika keluar dari pintu lift dan melihat sosok mungil berkulit putih dengan rambut hitam panjang berkuncir kuda berdiri dengan gugup di hadapannya.
Sosoknya mungil, lebih mirip seperti anak SMA dibandingkan wanita matang berusia 25 tahun. Apa gadis itu memalsukan ijasahnya? Pikiran konyol itu terlintas di pikirannya.
Ia berdiri di hadapan gadis mungil itu. perawakannya lebih pendek daripada Caliana, dan tentu saja jauh berbeda jika dibandingkan dengan tubuh proporsional Jovita. Tubuh gadis itu hanya mencapai setengah dadanya.
Sepertinya Ia harus kembali membaca profil gadis itu, supaya ia tahu jelas berapa tinggi tubuhnya. "Masuk ke ruanganku." Perintahnya pelan dan mendahului gadis itu berjalan menuju keruangannya. Di belakangnya ia bisa merasakan Ganjar bergerak entah melakukan apa kepada gadis itu. Sekretarisnya membukakan pintu dan membungkuk sopan ketika ia masuk dan Ganjar menahannya sampai Gisna mengikutinya masuk ke dalam. Asistennya itu kemudian menutup pintu dan membiarkan ia dan gadis mungil itu sendirian, sesuai dengan apa yang ia instruksikan sebelumnya.
Lucas duduk di sofa kulit yang ada di ruangannya dan memandang gadis itu yang masih tertunduk gugup dengan kedua tangan mungilnya saling menggenggam. Tidak ada perhiasan apapun yang dikenakannya, tidak ada cincin, tidak ada kutex. Dan ia pastikan dibalik blazer lengan panjang itu juga tidak ada gelang. Lucas mendongak dan melihat leher jenjang gadis itu dan memerhatikan dari balik kerah kemeja yang satu kancingnya terbuka bahwa disana juga tidak ada kilau perhiasan apapun. Apa gadis itu memang tidak suka mengenakan perhiasan atau memang tidak sanggup membelinya? Disaat semua wanita yang dia kenal selalu berlomba tampil cantik dengan mengenakan perhiasan mahal ataupun aksesoris imitasi, gadis di hadapannya ini tampak tidak mengenakannya sama sekali.
"Duduklah." Perintahnya lagi saat diperhatikannya gadis itu masih enggan beranjak dari tempatnya berdiri. ia bisa melihat kegugupan gadis itu saat melihat lehernya bergerak dan tampak menelan salivanya gugup. Dalam hati Lucas ingin tertawa. Ia sudah terbiasa melihat wanita yang merayunya, wanita yang menantangnya dan juga wanita yang berpura-pura malu di hadapannya. Namun ini pertama kalinya ia melihat wanita yang tampak takut terhadapnya dan enggan menatap wajahnya. Ayolah, wajahnya tidak semenyeramkan itu, bukan?
"Jadi, Miss Agisna Permata?" ucapnya memulai, dan ia melihat bahu gadis itu menegang.
"Y-Ya Sir." Jawabnya kaku. Lucas mengulum senyum. Sepertinya berhubungan dengan gadis itu akan semakin menyenangkan.
"Aku mendapat berita dari managermu mengenai pinjamanmu. Bukankah pinjaman yang Anda ajukan itu bernilai sangat fantastis?"
"I-Iya, Sir." Jawabnya panik. "Ta-tapi saya janji saya akan melunasinya. Saya juga sudah memberikan sertifikat rumah saya kepada bu Jessica sebagai jaminan. Bahkan saya sudah mengatakan nominal yang saya sanggupi untuk dipotong setiap bulannya. Saya janji saya tidak akan mengingkari utang itu, Sir. Saya akan membayarnya sampai lunas." Ucapnya dengan nada cepat seolah tidak memberikan jeda untuk bernapas sama sekali. Lucas mencoba menahan tawanya. Ia sangat gemas dengan wanita di hadapannya. Dia tampak seperti sahabat keponakannya, Carina.
"Tapi kita tidak tahu apakah sepuluh tahun kemudian Anda akan bekerja disini, atau tidak." Jawabnya berusaha menekan gadis itu. ia harus membuat gadis itu tidak punya pilihan lain dan berakhir pada pilihan yang diajukan Lucas.
"Sa-saya bersumpah, Sir. Saya tidak akan mengingkari utang saya, kecuali jika Tuhan mengambil nyawa saya. Dan saya juga tahu bahwa jaminan yang saya berikan totalnya bisa lebih dari dana yang saya ajukan." Kali ini gadis itu mengangkat kepala menatap ke arahnya. Matanya tampak sembab, terlihat bahwa ia sudah menangis cukup lama. Dan juga tampak pucat. Namun Lucas tidak bisa melihat kecantikan wajah itu terlalu lama karena sedetik kemudian gadis itu kembali menundukkan kepalanya dan tampak rona merah di kedua telinganya. Gadis itu jelas malu karena telah berani menatap langsung ke arahnya.
"Saya masih tidak yakin dengan jaminan itu. terlebih saya tidak bisa melihat kelayakan rumah itu. sebagai pebisnis saya harus merasa yakin apakah rumah yang Anda jaminkan memang memiliki nilai jual yang tinggi atau tidak." Ucapnya dengan datar. "Dan juga saya belum memastikan apakah rumah itu berada di arena yang memang strategis dan bisa terjual dengan mudah."
"I-itu."
"Saya tahu Anda tidak punya waktu untuk mengantar saya melihat rumah yang Anda jaminkan. Perlu waktu bagi saya menimang kembali permintaan Anda setelah saya melihat rumah Anda. Sementara kebutuhan Anda sangat mendesak, bukan?" tanyanya yang dijawab dengan anggukan pasti gadis itu. "Dan Anda tahu, karena nominal yang Anda ajukan tidaklah sedikit, saya menjadi khawatir akan pikiran karyawan lainnya. Saya tidak mau ada karyawan lain yang mengajukan pinjaman dengan nominal seperti Anda. Karena jelas itu akan merugikan perusahaan." Ucapan Lucas jelas membuat gadis itu sedih. Ia bisa melihat gadis itu mengusap sudut matanya. Gadis itu menangis tanpa suara. Lucas telah mengena pada intinya. Ia berhasil menarik ulur hati gadis itu. sekarang ia harus memulai rencananya. "Tapi saya bisa membantu Anda."
Gadis itu tampak terkejut dan menegakkan bahunya.