Malam ini adalah saat yang penuh emosi bagi Karina. Ini adalah hari keberangkatan Kanaya menuju Milan, dan di kamar mereka yang sederhana, Karina menatap putrinya yang sedang bersiap-siap. Kanaya, dengan cekatan, memasukkan barang-barangnya ke dalam koper, mempersiapkan diri untuk perjalanan jauh yang akan memisahkan mereka selama tiga bulan.
"Paspor sudah dimasukkan, Naya?" tanya Karina, suaranya terdengar tenang, meski hatinya bergetar.
Kanaya mengangguk, lalu berbalik menghadap Karina dan memberi isyarat dengan tangannya,
'Mama, aku pergi sendiri saja ke bandara. Mama tidak perlu repot-repot mengantarku nanti mama jadi harus pulang sendirian ke Bekasi.'
" Nggak apa-apa Naya, Mama akan antar kamu sampai airport, kita sama-sama belum pernah menginjakkan kaki ke Soekarno Hatta, ini pertama kalinya kita berpisah, jadi mama harus mengantarmu sampai terminal dan menyaksikanmu sampai menghilang dari pandangan mama. Jangan khawatirkan dengan biaya, kita toh dapat hadiah tambahan 10 juta, semua itu setelah dikurangi biaya pengurusan paspor dan biaya visamu, dan beli writing tablet digital agar kamu bisa berkomunikasi dengan orang yang tidak bisa bahasa isyarat." Karina berhenti berbicara dan menghapus air matanya " Uangnya masih ada sisa 1 juta, itu nanti bisa mama pakai untuk biaya taksi balik ke bekasi." Kata Karina.
Kanaya mendekati ibunya, tangannya bergerak memberi isyarat,
'Tapi mama harus naik taksi ya, langsung dari bandara ke Bekasi. Jangan naik kereta api, karena sudah malam. Jangan buat aku khawatir.'
Karina tersenyum dan memeluk anaknya erat, " Iya, mama tahu. Mama akan naik taksi " Jawabnya, berusaha menenangkan Kanaya sekaligus dirinya sendiri.
Meskipun Karina mencoba terlihat kuat, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Selama 15 tahun terakhir, mereka hanya hidup berdua, saling bergantung dan saling menguatkan dalam setiap masalah. Kini, perpisahan selama tiga bulan ini terasa seperti tantangan terbesar dalam hidup mereka. Namun, Karina tahu, dia harus melepaskan Kanaya dengan hati yang tegar, agar putrinya bisa pergi tanpa beban. Di balik tekadnya yang kuat, Karina bisa merasakan betapa berat hati Kanaya meninggalkannya sendirian di Bekasi. Tapi dia tahu, inilah saatnya untuk membiarkan Kanaya terbang menuju masa depannya.
+++
Ketika mereka tiba di bandara, Aliya dan mamanya juga Dewi beserta kedua orangtuanya sudah hadir. Dari pihak Perkasa Tekstil hanya ada Edwin. Lelaki itu tersenyum ramah ketika melihat Kanaya dan Karina.
" Ini tiketnya sudah saya cek in kan Naya. Kamu tinggal masukin kopermu ke baggage drop." Kata Edwin membantu Kanaya memasukkan koper hitamnya yang sederhana dan tampak lusuh
ke baggage drop.
Saat itu, suara Dian tiba-tiba memecah keheningan. "Pak Edwin, semua peserta naik kelas ekonomi?"
Edwin mengangguk, meski raut wajahnya menunjukkan sedikit kekesalan dengan pertanyaan yang dilontarkan Dian. "Iya, semua peserta naik kelas ekonomi. Hanya Denis yang naik kelas bisnis karena dia termasuk jajaran eksekutif perusahaan."
Dian mendengus, seolah tak terkesan. "Oh, kalau begitu, Aliyah saya upgrade saja jadi kelas bisnis. Anakku nggak biasa naik kelas ekonomi, apalagi untuk penerbangan 13 jam seperti ini," ujarnya dengan nada sombong.
Edwin hanya mengangguk pelan, "Terserah Ibu. Kami tidak bisa melarang, toh Ibu upgrade pakai uang Ibu sendiri."
Tak lama kemudian, suara ayah Dewi terdengar, "Kalau boleh upgrade sendiri, saya juga akan upgrade tiket Dewi ke kelas bisnis. Kursinya lebih lebar, jadi dia bisa lebih nyaman selama penerbangan."
Dewi mencoba menolak, "Nggak usah, Pa. Aku nggak apa-apa di ekonomi saja, biar bisa temani Naya."
Namun, ayahnya menggeleng dengan tegas. "Papa tahu maksudmu baik, tapi tubuhmu tidak akan nyaman duduk di kelas ekonomi selama 13 jam. Papa tidak mau kamu sakit, apalagi setibanya di sana kamu harus langsung belajar."
Dewi menatap Kanaya dengan perasaan bersalah. Dia ingin menemani Kanaya, tapi dia juga tahu tubuhnya tidak akan sanggup duduk di kursi sempit kelas ekonomi. Dengan berat hati, Dewi dan ayahnya bergabung dengan Dian dan Aliyah menuju counter check-in untuk meng-upgrade tiket.
Karina yang menyaksikan semua ini hanya bisa meremas tangannya, rasa gelisah menguasainya. Ia merasa hancur karena tak bisa memberikan kenyamanan lebih untuk Kanaya. Hatinya perih menyadari bahwa putrinya akan duduk sendirian di kelas ekonomi, sementara yang lain dengan mudah meng-upgrade tiket ke kelas bisnis. Saat ia berpaling, ia melihat Edwin menatapnya dengan penuh pengertian.
Edwin lalu bertanya dengan suara lembut, "Kanaya, kamu mau tiketmu di upgrade juga ke kelas bisnis?"
Namun, Kanaya segera menggelengkan kepalanya. Dia tahu bahwa tiket kelas bisnis bisa berharga puluhan juta, dan dia tidak ingin membebani ibunya dengan pengeluaran sebesar itu. Baginya, pengalaman pertama naik pesawat, apapun kelasnya, sudah lebih dari cukup.
"Kamu yakin, Naya?" tanya Edwin memastikan.
Kanaya mengeluarkan tablet digitalnya dan menulis, 'I am very sure, Mr. Edwin. Don't worry.'
Tablet itu dia tunjukkan kepada Edwin, yang kemudian tertawa kecil dan mengacungkan jempolnya. Tindakan Kanaya menulis dalam bahasa Inggris di tablet digitalnya menunjukkan bahwa dia telah siap lahir dan bathin , meskipun harus sendirian di kelas ekonomi.
Suara Denis yang merdu tiba-tiba terdengar, "Halo... Maaf aku terlambat, aku baru selesai shooting iklan shampoo. Tapi Om Edwin sudah check-in kan semua peserta dan diriku , kan?"
Edwin menepuk pundak keponakannya dengan lembut. "Gimana ini, penanggung jawab acara kok terlambat?"
"Maklum, Om. aku harus menyelesaikan semua kontrak kerjaku dulu karena harus tiga bulan tinggal di Milan untuk mengurusi para peserta." Denis lalu celingak-celingku " Mana peserta lainnya?" tanya Denis sambil tersenyum simpul ke arah Kanaya.
Meski sikapnya ramah, Denis tampak menjaga jarak dari para peserta, entah karena profesionalisme atau karena dia merasa berada di level yang berbeda.
"Mereka lagi upgrade tiket dari ekonomi yang disediakan perusahaan menjadi tiket bisnis," jawab Edwin.
Denis tertawa "Oh my God, ternyata dua peserta lainnya borju juga. Nggak nyangka deh mereka mau upgrade pake uang sendiri dari ekonomi ke bisnis. Kanaya, kamu nggak mau ikutan di-upgrade?"
Kanaya kembali menulis di tabletnya, 'Tidak usah, terima kasih. Aku baik-baik saja sendirian di kelas ekonomi'
Denis membaca tulisan itu dan mengangguk. "Oke, aku senang kamu nggak manja dan punya tekad kuat," katanya sambil tersenyum.
Melihat Kanaya yang begitu tabah dan penuh tekad menerima keadaannya, Karina merasa semakin kecil hati. Hatinya hancur, seolah dihantam rasa bersalah yang tak bisa ia hindari. Karina menahan air mata yang hampir tumpah, mencoba tetap tegar di depan anaknya. Namun, di balik senyum tenangnya, hatinya menangis. Ia merasa gagal sebagai orang tua, tidak mampu memberikan kenyamanan yang lebih untuk Kanaya, sementara orang tua lain dengan mudah meng-upgrade tiket anak-anak mereka ke kelas bisnis.
Perasaan cemas membanjiri pikirannya. Bagaimana jika Kanaya mengalami kesulitan saat dia sendirian duduk di kelas ekonomi itu? Bagaimana jika dia kelelahan dalam penerbangan panjang ini? Apakah ia cukup kuat menghadapi perjalanan sendirian duduk di kelas ekonomi? sementara ini adalah pertama kalinya dia naik pesawat ? Karina benar-benar khawatir, takut anaknya harus menanggung rasa tidak nyaman yang seharusnya bisa ia hindari, jika saja diri Karina memiliki banyak uang seperti kedua peserta lainnya.