Taksi online mengantar Karina dan Kanaya menuju Hotel Fairmont, tempat berlangsungnya acara jumpa pers dan cocktail party Perkasa Tekstile Industries. Mereka turun dengan anggun di lobby hotel Fairmont yang merupakan salah satu hotel mewah di kota Jakarta . Berlokasi di jantung kota, hotel ini dikenal dengan arsitektur megahnya yang menggabungkan elemen klasik dan modern, menciptakan suasana yang memancarkan kemewahan dari setiap sudut. Dari lobi yang luas dengan lantai marmer berwarna gading hingga lampu gantung kristal yang berkilau di bawah langit-langit yang tinggi, segala sesuatu di hotel ini dirancang untuk meninggalkan kesan elegant untuk setiap tamu yang hadir.
Acara jumpa pers dan cocktail party akan berlangsung di ballroom utama hotel. Ballroom ini dihiasi dengan ornamen-ornamen emas, tirai-tirai beludru berwarna merah marun, dan karpet tebal berdesain klasik yang menambah kesan elegan dan mewah. Di salah satu sisi ruangan, meja prasmanan berisi berbagai hidangan lezat dari berbagai belahan dunia tertata rapi, sementara bartender di bar yang terletak di sudut ruangan siap menyajikan koktail pilihan bagi para tamu.
Sore itu acara jumpa pers untuk mengumumkan tambahan hadiah bagi ketiga pemenang lomba perancang. Hadiah tersebut berupa kesempatan emas untuk mengikuti summer course di Milan, Italia- sebuah pengalaman yang sangat berharga bagi siapa pun yang bercita-cita menjadi perancang busana ternama.
Kanaya dan Karina berjalan perlahan sambil bergandengan tangan memasuki ballroom dengan busana yang membuat mereka tampak berbeda di tengah lautan tamu yang mengenakan pakaian rancangan desainer internasional. Kanaya mengenakan rok tutu yang melambai lembut di sekitar kakinya saat ia melangkah, memberi kesan muda, ringan dan ceria. Atasannya dirancang dengan garis-garis elegan yang menonjolkan sisi modern namun tetap feminin, sebuah karya yang tak kalah dengan busana desainer kelas atas.
Karina, dengan pakaian yang serasi, tampil anggun dalam balutan rok A-line yang membentuk tubuhnya dengan sempurna. Potongan bajunya klasik namun modern, dengan detail yang sangat rapi, mencerminkan keahlian luar biasa yang dimiliki Kanaya dalam menjahit dan merancang pakaian. Bahan yang mereka gunakan mungkin sederhana dibandingkan dengan kain-kain mewah yang dikenakan tamu lainnya, namun desain yang indah dan ketelitian dalam pengerjaannya membuat pakaian mereka tampak elegan dan berkelas.
Ketika ibu dan anak itu berjalan menuju tempat duduk yang disediakan , semua mata tertuju pada mereka. Bisik-bisik terdengar dari para tamu undangan
" Gadis itu memakai rancangan siapa ya? Bagus sekali rancangannya, Rok tutunya itu bisa begitu ringan membalut tubuhnya." Kata salah seorang wanita yang memakai baju berlogo C yang besar.
" Pasti rancangan Dior tuh. Dior kan suka ngeluarin rancangana rok tutu begitu."Kata temannya dengan yakin
Tiba-tiba dari arah depan, tempat jejeran sofa-sofa berada, muncul Emma dan dengan suara cerianya dia berteriak " Kak Kanaya.. Kak Kanaya." Edwin yang berdiri di samping Kanaya juga berbalik dan wajahnya langsung tersenyum melihat Kanaya dan Karina, dia juga mengikuti langkah lebar Emma, berjalan menuju Kanaya dan Karina
" Baju Kakak bagus sekali. Kakak jahit dan rancang sendiri?" Tanya Emma, memutar-mutar tubuh Kanaya melihat bajunya dengan kagum " Kenapa nggak buatin satu buat Emma, sih Kak? Emma boleh minta buatin model ini kah untukku? Bagus banget." Kata gadis ceria itu sambil cemberut.
Dengan isyarat tangannya Kanaya berkata
'Iya, nanti sebelum berangkat Kakak buatin untukmu.'
Satu bulan belakangan ini, Emma belajar bahasa isyarat lewat youtube jadi dia bisa memahami apa yang Kanaya sampaikan " Benaran Kak?" Jeritnya
Kanaya mengangguk sambil tersenyum
" Uda-uda Emma, Kak Kanayanya baru hadir, uda kamu minta in baju. Bukannya dipersilahkan duduk." Kata Edwin menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan putrinya, lalu dia berpaling pada Karina " Ayo silahkan duduk dulu Karina dan Kanaya, acara jumpa persnya akan segera dimulai, nanti para pemenang akan duduk di depan, Kalau ada pertanyaan dari wartawan untuk Kanaya, tolong Karina bantu untuk menjelaskan kepada wartawan."
" Baik Pak Edwin." Kata Karina mengangguk
Edwin lalu mendekati Karina dan berkata "Panggil Pak nya hanya boleh di sini ya, keluar dari tempat ini, aku nggak mau lagi di panggil Pak Edwin. Edwin aja, Toh kita uda berteman dan bertemu beberapa kali saat pengurusan surat-surat keberangkatan Kanaya."
Selama empat minggu terakhir, Karina, Kanaya, dan Edwin memang sering bertemu untuk mengurus paspor, visa, dan persiapan lainnya. Edwin setia mengantar Kanaya mengurus paspor di Imigrasi Bekasi, juga mengantar mereka ke Kuningan City untuk pembuatan visa ke Milan. Hubungan mereka semakin dekat, seperti teman. Namun, bagi Karina, merubah panggilan dari ‘Pak Edwin’ menjadi ‘Edwin’ tidaklah mudah. Dia merasa dirinya tidak sebanding dengan Edwin, yang merupakan direktur operasional di perusahaan besar seperti Perkasa Textile Industries.
Mereka berempat mulai berjalan menuju tempat duduk yang telah disediakan, namun sebelum mereka sampai, suara baritone seorang pria tiba-tiba menyapa mereka.
"Edwin, ini Kanaya ya? Kok kamu nggak perkenalkan ke Papa?" suara itu milik Deni Perkasa. Komisaris PT Sejahtera Perkasa Group.
"Oh, maaf, Pa. Tadi aku pikir biar mereka duduk dulu, Papa kan masih ngobrol dengan Kak Sinta dan pemenang pertama," jawab Edwin sambil tersenyum.
"Papa juga ingin kenal dengan Kanaya, perancang yang rancangannya sangat luar biasa," kata Deni dengan antusias.
"Ini Kanaya, Pa. Perancang dari 'Anyelir Kuning di Balik Rembulan,' dan ini mamanya, Karina," Edwin memperkenalkan.
Karina dan Kanaya segera menjulurkan tangan untuk menjabat tangan Deni sambil mengangguk hormat kepada lelaki berkharisma itu.
Deni memandang Karina dari atas ke bawah dengan kekaguman. "Ibu hebat, bisa mendidik anak berbakat seperti Kanaya."
"Terima kasih, Pak," jawab Karina sambil tersenyum.
"Kanaya sudah siap berangkat ke Milan?" tanya Deni, kini menatap Kanaya.
Kanaya mengangguk dan tersenyum, kemudian dengan gerakan tangan yang lembut, ia memberi isyarat menunjukkan tangannya ke mulut dan meletakkannya di telapak tangan. "Opa, Kak Kanaya bilang terima kasih," Emma menerjemahkan bahasa isyarat itu untuk Opanya.
Di tengah pembicaraan mereka, Kanaya, yang pendengarannya semakin sensitif setelah menjadi bisu, menangkap percakapan dua wanita yang tidak jauh dari mereka.
"Bagaimana bisa, Sin? Gadis bisu seperti itu dimenangkan dan bahkan dikirim ke Milan? Memalukan saja," ujar seorang wanita dengan nada sinis.
"Ssst, bukan urusanmu itu, Dian. Anakmu, Aliya, juga diberangkatkan. Kenapa kamu malah menyindir gadis itu?" jawab Sinta, mencoba meredam temannya yang bernama Dian.
" Perusahaan Perkasa Tekstil kan bonafide, kok malah mengirim gadis bisu belajar ke Milan? Buat apa? Hanya buang-buang uang saja. Kalau dia nggak bisa ikut pelajaran, kalian bakal malu, dibilang perusahan sebonafide kalian masa mengirim gadis bisu belajar ke Milan yang merupakan sekolah para perancang ? Bisa-bisa perusahaan kalian dikira perusahaan sosial, bukan perusahaan tekstil bonafide. " cibir Dian lebih lanjut.
"Jaga mulutmu, Dian. Kalau kedengaran mertuaku, bisa habis kamu dimarahi," Sinta memperingatkan temannya dengan serius.
Wajah Kanaya tetap tenang, tidak menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun. Namun, di balik ketenangan itu, hatinya sudah kebal menghadapi ejekan yang seakan selalu menyertainya, meremehkannya, dan menganggap dirinya tidak berharga hanya karena keterbatasannya. Selama ini, dia sudah terlalu sering dipandang sebelah mata, dianggap tak mampu, dan diremehkan oleh mereka yang tidak mengenal siapa dirinya sebenarnya. Tapi, kali ini, Kanaya tidak lagi membiarkan ejekan-ejekan itu meresap ke dalam hatinya.
Kanaya tahu, satu-satunya cara untuk melawan semua keraguan dan hinaan adalah dengan membuktikan kemampuannya melalui karya-karyanya. Dia akan menunjukkan pada dunia, bahwa meski ia dibungkam oleh kata-kata, bakatnya tidak bisa dibungkam. Suatu hari, semua ejekan itu akan sirna, tertutup oleh gemilangnya prestasi yang ia raih. Kanaya akan menjadi seorang perancang busana yang hebat, dan saat itu tiba, tidak ada lagi yang berani memandangnya sebelah mata.