Edwin memperhatikan Kanaya yang duduk di samping ibunya. Berbeda dengan Karina yang tampak gelisah, Kanaya menatap Edwin dengan sorot mata penuh tekad dan ketenangan. Dia menunggu dengan sabar apa yang akan disampaikan oleh Edwin, siap menghadapi apapun yang akan terjadi.
"Kanaya, saya datang ke sini bukan untuk meragukan bakatmu," kata Edwin dengan lembut. "Perusahaan kami sangat menghargai bakat-bakat muda seperti kamu. Karena itu, pimpinan kami berniat memberikan hadiah tambahan kepada ketiga pemenang lomba berupa kesempatan untuk mengikuti summer course di Milan, Italia. Apakah kamu bersedia ikut program ini?"
Mata Kanaya seketika berbinar, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan rasa gembira yang meluap-luap. Namun, saat ia melihat ke arah ibunya, ekspresi gembiranya memudar. Karina menggeleng pelan, menyadarkan Kanaya bahwa meski kesempatan itu luar biasa, mereka mungkin tidak mampu menanggung biaya hidup di Milan yang pasti sangat mahal.
Dengan penuh pengertian, Kanaya menghela napas dan menundukkan kepalanya. Tangannya mulai bergerak, mengisyaratkan kata-kata dengan bahasa isyarat dari tangannya
' Maaf, mungkin saya tidak bisa ikut.'
Karina, yang memahami bahasa isyarat putrinya, segera memberikan penjelasan kepada Edwin.
"Kenapa? Jika kamu khawatir soal biaya, tidak perlu risau. Perusahaan kami akan menanggung semua biaya tiket pesawat, biaya kursus, bahkan uang saku selama tiga bulan di sana. Kanaya, ini kesempatan besar untukmu agar bisa berkembang lebih baik lagi," kata Edwin dengan nada membujuk, berharap bisa meyakinkan Kanaya dan mengatasi kekhawatiran Karina.
Karina menatap Edwin dengan mata penuh kekhawatiran, sementara tangannya secara refleks menggenggam tangan Kanaya yang duduk di sampingnya. Ia merasa berat untuk menolak tawaran luar biasa ini, tetapi rasa takut dan rasa bersalahnya sebagai seorang ibu tak bisa diabaikan.
"Maaf, Pak Edwin," Karina akhirnya bicara dengan suara yang sedikit bergetar. "Bukan kami tidak menghargai niat baik perusahaan Bapak, tapi saya khawatir. Kanaya belum pernah pergi jauh dari saya. Kami jarang keluar dari Bekasi, paling jauh hanya ke Jakarta untuk mengikuti lomba. Tapi ini Milan, Pak, sangat jauh. Saya takut sesuatu terjadi di sana, dan saya tidak bisa berada di sampingnya."
Karina menarik napas panjang, menunduk merasa bersalah. Keterbatasan ekonomi dan kondisi fisik Kanaya telah menjadi penghalang besar bagi putrinya untuk meraih mimpi-mimpi besar. Ia sadar, bahwa bahkan sebelum keberangkatan, akan ada banyak biaya yang harus dipersiapkan—mengurus paspor, visa, dan lain-lain, yang tidak mungkin ditanggung oleh perusahaan. Ini adalah kekhawatiran yang semakin menghimpit hatinya.
Edwin menatap Kanaya yang kini tertunduk, seolah-olah harapannya untuk meraih bintang sudah hancur sebelum sempat disentuh. Edwin bisa merasakan betapa Kanaya sebenarnya sangat ingin mengikuti program ini. Kesempatan untuk belajar di Milan, pusat mode dunia, adalah impian yang jarang sekali datang, apalagi bagi seorang perancang muda berbakat seperti Kanaya.
"Kanaya," Edwin memulai dengan suara lembut, berusaha memberikan dukungan. "Saya tahu kamu pasti sangat ingin mengambil kesempatan ini. Saya juga paham bahwa kondisi kamu membuat ini terasa sulit, tapi saya yakin kamu bisa mengatasinya. Soal komunikasi, itu bukan masalah besar. Kamu bisa mendengar dengan baik, jadi bisa mengikuti materi yang diajarkan. Kalau tidak bisa bahasa Italia, kamu bisa gunakan bahasa Inggris, dan kalau perlu, kamu bisa merekam pembicaraan guru lalu menerjemahkannya dengan Google Translate."
Edwin berhenti sejenak, memastikan bahwa Karina dan Kanaya mendengarkannya dengan baik. "Untuk berkomunikasi, kamu bisa gunakan tablet atau papan tulis digital. Dengan begitu, kamu bisa menuliskan apa yang ingin kamu sampaikan jika lawan bicara tidak mengerti bahasa isyarat. Tablet seperti itu mudah didapatkan sekarang."
" Memang mudah didapatkan sekarang Pak, tapi harganya yang tidak mudah untuk kami jangkau." Sela Karina dengan nada miris
Kata-kata Karina membuat Edwin terdiam sejenak. Ia menghela napas panjang, merasakan beban berat yang dirasakan oleh ibu dan anak di depannya.
"Karina, saya sangat memahami kekhawatiranmu—tentang biaya, tentang segala hal. Memang benar bahwa perusahaan kami tidak menanggung biaya sebelum keberangkatan seperti paspor dan visa, itu adalah tanggung jawab peserta. Namun, sebagai ucapan terima kasih saya kepada Ibu Karina, yang dulu telah menyelamatkan anak dan almarhum istri saya, biarlah saya yang mengurus semua biaya sebelum keberangkatan itu. Dengan begitu, Kanaya tinggal berangkat, dan kamu tak perlu lagi khawatir tentang hal-hal tersebut. Gunakan dua bulan ini untuk belajar bahasa Inggris lebih intensif, agar Kanaya bisa berkomunikasi meskipun bukan dengan suaranya, tapi dia bisa menyampaikan ide nya lewat tulisan."
Kanaya menatap mamanya dengan mata yang berkaca-kaca, penuh dengan perasaan yang tak terucapkan. Ada rasa sakit yang begitu dalam di balik sorot matanya, rasa sakit yang selama ini ia pendam dalam-dalam. Dengan gerakan tangan yang gemetar, namun sarat dengan tekad, ia memberi isyarat,
'Mama, izinkan aku berangkat. Aku mohon, Ma, ini mungkin satu-satunya kesempatan yang Tuhan berikan untuk kita keluar dari bayang-bayang kegelapan ini. Aku lelah, Ma, lelah selalu dipandang rendah, selalu diremehkan hanya karena aku berbeda. Setiap kali aku mencoba berdiri, mereka menekanku kembali ke tanah, seolah-olah aku tak pantas bermimpi, seolah-olah aku tak berhak untuk berharap lebih'
Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir, namun Kanaya terus melanjutkan isyaratnya,
"Aku tahu kita selalu disisihkan, selalu dianggap tidak mampu, hanya karena aku bisu. Tapi, Ma, aku ingin membuktikan bahwa mereka salah. Aku ingin dunia tahu bahwa aku bisa. Aku ingin kita berhenti hidup dalam bayang-bayang selalu direndahkan. Aku ingin berhenti merasa tidak layak hanya karena kita tidak punya apa-apa. Aku ingin kita berdiri sejajar dengan mereka yang selama ini meremehkan kita, aku ingin meraih mimpi ini bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi untuk kita, untuk mama yang sudah berkorban begitu banyak padaku, Aku ingin membahagiakan mama. Selama ini mama sudah berusaha keras membuatku bisa hidup lebih baik, jadi aku juga ingin membuat hidup mama lebih baik. Jadi Ma, tolong izinkan aku pergi, biarkan aku mencoba mengubah nasib kita, agar kita tidak lagi dihina, tidak lagi dipandang sebelah mata, agar kita bisa hidup dengan kepala tegak.'
Kanaya mengakhiri isyaratnya dengan tatapan penuh harap dan luka yang dalam. Setiap gerakan tangannya adalah jeritan hati yang selama ini terpendam, jeritan yang ingin didengar, diakui, dan dihargai. Rasa sakit karena selalu dianggap kurang, selalu diperlakukan tidak adil, menuntut untuk diakhiri. Dan Kanaya tahu, ini adalah kesempatan untuk mengubah segalanya.
Karina terdiam, matanya mulai berkaca-kaca mendengar permohonan putrinya yang begitu tulus. "Mama tahu, Kanaya... tapi mama sungguh khawatir. Kamu belum pernah pergi jauh tanpa mama, apalagi sampai ke Italia sana. Bagaimana kalau ada sesuatu yang terjadi?"
Kanaya merespons dengan isyarat tangan yang tegas dan meyakinkan.
'Mama, aku pasti bisa. Mama ingat, kan? Dari SMP, aku sudah menolak sekolah di SLB dan memilih sekolah umum. Aku sudah terbiasa menghadapi teman-teman yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik denganku, tapi aku tetap bertahan, demi mendapatkan ilmu. Ini tidak jauh berbeda, Ma. Aku siap menghadapi dunia luar, dan aku butuh Mama percaya padaku, seperti aku percaya pada diriku sendiri.'
Karina merasakan tekad kuat dalam setiap gerakan tangan putrinya. Ada keinginan besar dalam hati Kanaya untuk membuktikan bahwa keterbatasannya bukanlah penghalang untuk meraih impian. Melihat semangat yang terpancar dari Kanaya, Karina mulai merasakan keyakinan yang tumbuh di dalam dirinya. Meski rasa takut dan khawatir masih menyelimuti dirinya tapi besarnya rasa cinta seorang ibu membuat Karina memahami bahwa inilah saatnya untuk mendukung impian putrinya, seberat apapun itu.
Edwin memandang kedua wanita di depannya dengan perasaan haru yang mendalam. Hatinya terasa terhimpit, merasakan emosi yang begitu kuat terpancar dari gerakan tangan Kanaya dan tatapan matanya yang berkaca-kaca. Meski Edwin tidak memahami sepenuhnya arti dari isyarat Kanaya, ia bisa merasakan betapa berat beban yang selama ini dipikul gadis itu, rasa tersisih, tersakiti, dan ketidakadilan yang tak henti-hentinya menimpa hidupnya. Dalam hatinya, Edwin berdoa agar Karina mengizinkan Kanaya untuk pergi ke Milan dan mengejar mimpinya. Seolah mendengar doanya, Tuhan segera menjawab.
" Baiklah Kanaya, mama mengijinkanmu berangkat."
Karina kemudian beralih menatap Edwin dengan mata yang penuh tekad. "Pak Edwin, mengenai biaya yang Anda tawarkan untuk pengurusan sebelum keberangkatan, izinkan saya untuk mengembalikannya setelah saya berhasil mengumpulkan uang. Kira-kira berapa, Pak, total biayanya?" tanyanya dengan nada yang tak terbantahkan.
" Aduh Karina, kan sudah saya bilang,semua biaya itu dari saya, sebagai ucapan terimakasih saya kepada Ibu.Kalau tanpa ibu yang nekat memeluk istri saya Ida dan Emma, pasti waktu itu Emma jadi korban juga. Jadi ibu nggak usah pikirkan tentang masalah mengembalikan uang saya." Edwin berkata
"Pak Edwin, saya menolong Emma dan istri Anda bukan untuk mendapatkan balasan atau terima kasih. Tolong izinkan saya membayar semuanya, setelah saya berhasil mengumpulkan uang. Itu demi harga diri kami. Saya ingin Kanaya berangkat dengan bangga, bukan dengan membawa hutang budi kepada Anda." Kata Karina tegas.
Kata-kata Karina yang tegas membuat Edwin terpana. Dia menatap wanita itu dengan rasa hormat yang semakin dalam. Di hadapannya berdiri seorang wanita yang begitu kuat, berprinsip, dan penuh harga diri, dan Edwin merasa hatinya bergetar oleh kekaguman. Bagaimana mungkin ada wanita sekuat ini, yang dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, masih mampu menjaga martabat dan harga dirinya?