Tiga hari di rumah sakit, akhirnya Vania diperbolehkan untuk pulang. Saat hamil, ia berencana untuk tetap tinggal bersama papanya, tetapi sekarang mertuanya meminta untuk tinggal di rumah mereka saja. Dengan alasan, bisa bergantian menjaga Felice. Apalagi Vania belum ingin menggunakan jasa baby sitter.
Semua perabot dan perlengkapan bayi sudah dipindahkan ke rumah orang tua Malik. Mama Malik pun sudah membeli perlengkapan tambahan seperti baju-baju bayi, selimut, dan segala macamnya termasuk mainan. Meskipun belum bisa langsung digunakan.
Kamar benuansa pink muda itu sudah siap menyambut penghuninya. Box bayi, lemari baju, tempat mandi, tempat mengganti popok, juga sofa untuk menyusui sudah tersusun rapi. Mama Malik sengaja menggunakan jasa interior untuk menyusun semuanya. Sekian lama mendambakan cucu, tentu saja wanita itu sangat bahagia ketika sudah mendapatkannya.
Malik dan Vania pun akhirnya sampai rumah. Vania menggendong sang putri, sementara Malik membawa barang-barang yang kemarin dibawa ke rumah sakit. Vania merasa senang melihat antusias ibu mertuanya.
Tak berselang lama setelah sampai, Malik meminta izin untuk menjemput Fero.
"Apa harus sekarang, Mas? Tidak besok saja?" tanya Vania dengan lembut. Bukan tanpa alasan, ia hanya takut suaminya sakit karena kelelahan. Selama di rumah sakit, pria itu kurang tidur.
"Fero butuh aku, Van. Aku rasa kamu juga pasti tahu itu."
Tanpa Vania duga, Malik menjawabnya dengan sedikit ketus.
"Oh, iya. Aku paham akan hal itu, Mas. Maksudku, tidak harus sekarang, kan? Mungkin nanti setelah kamu istirahat. Kamu pasti capek dan kurang tidur."
"Capekku akan hilang setelah bertemu putriku," jawab Malik.
Vania tak ingin mendebat. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengizinkan suaminya pergi.
Malam pertama menjadi ibu di rumah mertuanya, Vania mengurus bayinya seorang diri. Karena Malik tidak pulang.
Putting yang lecet membuat mood Vania benar-benar down. Ditambah Felice yang juga belum merasa nyaman karena tali pusarnya belum lepas. ASI Vania juga belum deras. Bayi itu belum bisa tidur dengan lelap.
Sesekali Vania meringis menahan perih ketika Felice menyedot ASI dengan begitu kencang.
"Nak ... pelan-pelan, dong. Sakit. Kamu mah, nggak ngertiin Mama banget," gerutu Vania, seolah Felice sudah mengerti.
Jam menunjukkan pukul dua pagi. Nyatanya, Vania belum memejamkan mata sedetik pun. Tanpa terasa air mata mengalir di pipi.
"Kamu kenapa, Mas? Aku butuh kamu ...."
***
Hari sudah pagi. Vania pun keluar dari kamar. Ketika pagi, Felice barulah bisa tidur dengan nyenyak. Saat wanita itu ke dapur untuk mengambil air minum, ibu mertuanya sudah berada si sana.
"Lho, Van ... pagi sekali. Kalau Felice belum bangun, kamu ikut tidur lagi saja. Karena jadi ibu, pasti malamnya kurang tidur," ujar mama Malik.
Vania tersenyum. "Nggak bisa tidur, Ma. Udah biasa bangun pagi."
"Kalau nggak bisa tidur ya istirahat saja si kamar. Ini, Mama sedang masak sayur bening buat kamu. Kalau sudah matang, nanti kamu langsung sarapan, ya."
Vania tidak menyangka, mertuanya akan seperhatian itu. Apakah Tuhan sedang kasihan padanya, karena sejak kecil Vania tidak merasakan kasih sayang seorang ibu?
"Makasih, Ma ... udah perhatian dan sayang sama Vania," ucap Vania dengan tulus.
"Nggak perlu makasih segala. Kamu sudah menikah dengan anak Mama, itu artinya, kamu juga anak Mama. Tidak perlu sungkan, nggak enak, atau apa pun di sini. Ini rumah kamu juga. Pokoknya, jangan gunakan energimu untuk memikirkan hal yang tidak penting. Fokus saja pada Felice."
"Iya, Ma." Vania merasa, ibu mertuanya sepertinya tahu, apa yang sedang dipikirkannya. Ya, Vania memikirkan Malik sejak semalam. Apalagi setelah meninggalkan rumah, Malik tidak memberi kabar sama sekali. Jangankan telepon, sekadar mengirimkan pesan saja tidak.
Sementara di tempat lain, di rumah mama Voni, semenjak Malik datang, Fero langsung menempel pada papanya itu. Dua hari ditinggal, membuatnya takut akan ditinggal lagi. Apalagi saat ini hanya sang papa yang Fero miliki.
"Jangan pergi lagi, Pa. Fero nggak mau ditinggal Papa lagi. Fero mau ikut Papa," ucap Feronika.
"Iya, Sayang ... iya. Papa nggak akan meninggalkan Fero lagi. Fero akan tinggal bersama Papa. Udah, Fero jangan sedih lagi, ya." Malik mengecup kening putrinya. Ia dekap sang putri erat. Ia berjanji, akan menjadikan Fero sebagai prioritasnya.
Esoknya, Malik bersama kedua orang tua Voni, juga Fero, sedang sarapan. Dengan telaten, Malik menyuapi Fero.
"Minum, Pa ...."
Malik pun langsung mengambil gelas minum Fero, lalu memegangi gelas itu, sampai Fero berkata sudah.
"Kamu yakin akan membawa Fero, Lik?" tanya papa Voni. Bagaimana pun, ia sadar diri akan posisi dan status cucunya.
"Yakin, Pa."
"Sebenarnya, tidak kamu bawa juga tidak apa-apa. Biar Fero tetap bersama kami. Kamu bebas bisa menemuinya kapan saja. Papa khawatir, Lik, Fero tidak betah. Apalagi kalau sampai orang tua dan istri kamu tidak menyukai dan menerima kehadiran Fero," ujar papa Voni lagi.
"Enggak, Pa ... Fero sepenuhnya tanggung jawab Malik. Malik berjanji, akan selalu menjaga Fero."
"Saat kamu kerja?"
"Malik akan memakai jasa pengasuh. Tapi setelah Malik pulang kerja, waktu Malik sepenuhnya untuk Fero. Malik juga sudah bilang Papa, untuk pindah kerja ke pusat, karena Mama juga melarang Malik membawa pergi istri Malik. Mama ingin kami tinggal bersama mereka," jelas Malik.
"Tapi kalau kamu merasa repot, antar Fero ke sini, ya!" Mama Voni ikut berbicara.
"Iya, Ma."
"Kalau Fero merasa nggak betah, bawa ke sini!"
"Iya."
Selesai sarapan, Malik membawa Fero ke rumahnya, tempat tinggal mereka bersama Voni. Di sana tangis Fero pecah. Malik pun ikut meneteskan air mata.
"Fero udah nggak punya Mama lagi, ya, Pa. Mama lagi apa di surga, Pa?" tanya Fero sambil terisak.
"Fero masih punya Mama, Sayang. Hanya saja, sekarang kita berbeda tempat. Doakan selalu Mama, ya. Biar di sana, Mama merasa senang. Karena kita masih selalu mengingat dan sayang sama Mama." Malik berusaha menghibur sang putri, meskipun sebenarnya hatinya juga masih hancur. Belum bisa benar-benar menerima kepergian istrinya, cinta pertamanya, semua terasa seperti mimpi. Apalagi, sang istri kecelakaan saat bersamanya. Ada rasa bersalah yang menyelimuti hati. Andai saja saat itu Malik melarangnya, mungkin tidak akan terjadi kecelakaan itu. Namun, kembali lagi, takdir Tuhan tidak dapat ditolak.
Setelah Fero lebih tenang, mereka mulai mengemasi barang yang akan dibawa. Barang-barang lain yang ada di rumah itu dibiarkan tetap di tempatnya. Malik akan mencari orang untuk menunggu dan membersihkan rumahnya. Rumah itu terlalu banyak kenangan jika harus dijual. Lagi pula bisa untuk Fero, kelak, ketika anak itu sudah dewasa dan menikah.