Sebelas-Seperti Tak Dianggap

1685 Kata
Malik dan Fero sampai di rumah orang tua Malik. "Ini rumah siapa, Pa?" tanya Fero yang memang belum pernah menginjakkan kaki di rumah itu. "Ini rumah Oma-Opa. Fero akan tinggal di sini," jawab Malik. "Tapi Fero maunya tinggal sama Papa, Pa. Fero nggak mau ditinggal Papa lagi." "Iya, Sayang. Fero akan tinggal di sini sama Papa juga. Nanti ada Tante Vania, ada Felice, adik Fero juga." "Tante Vania? Tante yang waktu itu marah ke Papa, ya? Yang pas kita nggak jadi makan siang?" Ingatan anak itu begitu tajam. "Tante yang waktu itu sudah berteman dengan Mama juga, yang pas kita main berdua." Fero menganggukkan kepala. Mereka berjalan menuju pintu. Tak lama, pintu terbuka. Asisten rumah tangga orang tua Malik yang membukanya. "Tolong bawa koper ke kamar tamu dulu, ya, Bik," pinta Malik, karena memang dia belum sempat menyiapkan kamar untuk sang putri. "Iya, Mas." Rumah terasa sepi, karena papa Malik sudah berada di kantor. Sementara mama Malik biasanya punya kesibukan sendiri. Entah merajut, memasak, atau mengurusi tanaman di taman mini samping rumah. "Yuk, kita ketemu sama adik Felice dulu. Kamu pasti akan sangat menyukainya." "Iya, Pa." Malik menuntun Fero menuju kamar. Pintu kamar dibukanya. Terlihat Vania yang sedang duduk di ranjang sambil menyusui sang putri. Ia tahu, kalau suami dan anak suaminya masuk ke kamar. Namun, Vania memilih untuk diam saja. Hatinya masih jengkel. "Wah, anak Papa lagi nyusu, nih. Lihat, Papa bawa siapa. Fero, Sayang, salim dulu sama Tante Vania." Fero menurut. Vania membalas jabatan tangan putri sambungnya, tetapi ekspresinya tidak menunjukkan rasa senang. Hal tersebut tentu saja dapat Malik rasakan. "Sayang, kamu pasti capek. Istirahat dulu, yuk. Papa temani bobo siang," ajak Malik akhirnya pada sang putri. Feronika hanya mengangguk, tanpa berucap apa pun. Setelah Fero tidur, Malik kembali ke kamar, di mana istrinya berada. "Tidak seharusnya kamu bersikap seperti itu. Salah apa putriku padamu?!" tegur Malik, sambil melepas kancing kemejanya satu per satu, untuk menggantinya dengan kaus oblong. "Bersikap seperti itu bagaimana?! Aku hanya sedang capek. Mengantuk. Apa aku salah?! Aku tidak bisa berpura-pura tersenyum lebar, sementara mataku saja sudah terasa sangat berat, tapi tak bisa dipejamkan. Tidak usah mengada-adakan masalah kamu, Mas!" jawab Vania, tidak terima disalahkan. "Van, Fero putriku. Dia masih sangat berduka. Dia kehilangan ibu kandungnya. Kita yang dewasa seharusnya bisa menghiburnya, bukan menambah pikiran dia yang jadi merasa seolah ditolak di rumah ini." "Mas, Felice juga putrimu kalau kamu lupa. Tapi itu bukan poinnya, aku tidak mempermasalahkan. Aku hanya sedang lelah, kepalaku pusing. Cukup mengerti aku dengan tidak juga menambah pikiranku. Kamu pikir mudah menjadi ibu baru? Aku bahkan belum tidur sedetik pun dari semalam. Ini, kamu pulang-pulang langsung marah-marah. Harusnya kamu berterima kasih, aku biarkan kamu habiskan waktu dengan Fero." "Kamu cemburu padanya? Kamu cemburu dengan anak kecil? Dia sudah piatu, Van. Dia sudah tidak punya ibu. Kamu sebagai istriku, harusnya bisa menggantikan posisi itu!" Vania hanya berdecak. Enggan rasanya untuk mendebat suaminya. Keduanya sama-sama dalam keadaan tidak baik. Jika perdebatan berlanjut, Vania yakin, akan semakin melebar ke mana-mana. Malik keluar dari kamar. Ia memilih untuk menemani Fero tidur. Vania hanya bisa menangis. Hormon setelah melahirkan benar-benar sangat mengganggu. Dia yang biasanya tegar, dan lebih nerimo, kali ini selalu kalah dengan menangis dan mengeluh. "Nak ... nanti malam, kamu bobonya yang nyenyak, ya. Nggak apa-apa semalam saja. Mama ingin sekali bisa tidur malam ini. Kepala Mama sakit, Nak. Kamu pasti tidak mau, kan, kalau Mama sakit. Kalau Mama sakit, nanti siapa yang akan kasih kamu ASI, siapa yang akan menggendong kamu, gantiin popok kamu? Lihat saja, papa kamu cuma peduli sama kakak kamu." Vania benar-benar kecewa dengan sikap Malik. Setelah wanita itu tidak mengganggu waktunya bersama Fero kemarin, nyatanya bukannya berterima kasih, menyapa Felice saja tidak. *** Hari-hari terus berlalu. Fero adalah anak yang mudah akrab dengan orang baru. Tetapi tidak begitu dengan Vania dan orang tua Malik. Fero tidak bisa langsung dekat dengan mereka. Saat ini, Malik sudah memperkerjakan pengasuh untuk menemani putri sulungnya itu. Dengan begitu, pria itu bisa fokus bekerja. Namun sayang, perhatian Malik terhadap Felice sangat berbeda seratus delapan puluh derajat. Setiap malam, Malik selalu menemani Fero tidur. Setiap pulang kerja, Malik selalu menemani Fero bermain dan belajar. Bahkan menyuapi Fero saja Malik lakukan. Terhadap Felice, pria itu seperti tidak menganggapnya ada. Apa Vania protes? Tidak lagi. Wanita itu sudah lelah. Ia tidak mau membuang-buang energinya. Karena jika ditegur, Malik akan membalikkan ucapannya. Malik merasa justru orang rumah lah yang tidak ada yang menganggap keberadaan Fero, karena itulah, kalau bukan Malik yang memberi perhatian, siapa lagi. "Malik, Papa mau bicara!" ucap papa Malik melalui sambungan telepon saat masih berada di kantor. "Bicara apa, Pa?" "Papa tunggu di ruangan Papa!" Malik pun langsung ke ruangan sang papa. Lalu duduk di kursi, di seberang papanya. "Mau bicara apa, Pa?" "Bicara kamu, yang Papa lihat, mulai berat sebelah." "Maksud Papa?" "Kamu hanya peduli pada putri pertamamu. Kamu tidak pernah peduli pada bayimu!" Malik merasa tidak terima dituduh demikian oleh sang papa. "Kesimpulan dari mana itu, Pa?! Malik menyayangi keduanya. Yang ada justru Papa-lah yang pilih kasih. Papa tidak menganggap Fero ada. Padahal, Fero dan Felice sama-sama cucu Papa. Tapi Papa hanya menyayangi Felice. Kalaupun Papa merasa kalau aku lebih berat ke Fero, meskipun kenyataannya tidak, anggap saja itu karena Fero tidak ada yang peduli," balas Malik dengan kesal. "Jangan samakan putri yang terlahir dari pernikahan yang sah, dengan putri yang lahir dari pernikahan tidak sah. Kamu lupa, dalam agama yang kita anut, tidak ada pernikahan beda agama. Sekalipun sah di hadapan negara, di hadapan agama kita, kalian tetap padangan zina!" Papa Malik masih belum bisa menerima apa yang telah putranya lakukan. "Dan kelak, doa yang sampai ke Tuhan setelah Papa meninggal, adalah doa Felice, bukan doa putrimu itu. Kecuali kamu mau bertaubat dan putrimu itu pindah ke agama kita!" Sekalipun papa Malik bukanlah orang yang sangat alim, tapi dia tahu tentang agama. "Itu bukan hak Malim untuk mengaturnya. Itu hak Fero, setelah nanti dia dewasa, Pa!" "Ya, sudah. Kamu sudah tahu alasan Papa kenapa Papa belum menerimanya. Jadi mulai sekarang, kamu harus bisa bersikap adil. Sayangi Felice. Setelah pulang kerja, jangan hanya fokus pada putrimu yang satu itu. Tapi kamu harus perhatikan istri dan anakmu yang lain!" Apa yang keluar dari mulut papa Malik, memang tidak pernah bisa diganggu gugat. Malik selalu kalah jika berdebat. Karena itulah, ia selalu memilih jalan belakang. Contohnya dengan tetap menikah dengan Voni secara diam-diam. *** Pulang kerja, Malik sengaja mampir ke toys store untuk membeli mainan. Kali ini Fero dan Felice sama-sama dibelikan. Sesampainya di rumah, tidak seperti biasanya, Malik ke kamar di mana Felice berada. Terlihat bayi itu sedang bercanda bersama sang ibu. Bayi berusia empat bulan itu sudah bisa mengoceh dan tertawa. Malik diam di tempat. Ia sadar, banyak waktu yang sudah ia lewatkan. Berapa usia putrinya pun, ia lupa. "Ehm, Van, ini ... aku belikan mainan untuk Felice," ucap pria itu yang terdengar pelan. "Ooh. Taruh saja di situ," jawab Vania dengan cuek. Ia tetap sibuk bermain bersama sang putri. Malik mengambil posisi duduk di pinggiran ranjang. Ia pandangi putri bungsunya. "Felice sudah besar, ya. Sudah bisa apa dia sekarang?" Vania tersenyum sinis. "Felice dan papanya tinggal dalam satu rumah. Tapi sayangnya, hati kalian LDR-an, ya. Mas, kamu tidak perlu berpura-pura peduli pada kami." "Siapa yang pura-pura?!" "Aku rasa, kamu juga lupa, berapa usia Felice sekarang." Malik diam. Untuk mengingat usia Felice, ia harus mengingat tanggal kematian Voni. Dan, ya ... lagi-lagi itu membuat hatinya bergejolak. "Iya, kan? Kamu lupa." Pria yang sudah memiliki dua putri itu berdiri. "Karena mengingat kelahirannya, sama saja mengingat peristiwa pahit dalam hidupku dan putriku." Jawaban Malik membuat Vania meradang. Jika selama ini ia mencoba berpositif thinking, kali ini kecurigaannya terbukti. Bukan karena Fero, Malik seperti tak peduli pada Felice, tapi karena seolah Malik menganggap Felice penyebab semua yang terjadi. "Tidak perlu temui Felice, jika dalam hati kamu belum ada rasa sayang untuknya." "Papa ... Papa ...." Terdengar suara Feronika memanggil sang papa. "Putri kesayanganmu, sudah mencarimu. Silakan keluar dari kamar ini. Kamar kamu yang sudah lama menjadi kamarku dan Felice, hanya kami." "Papa ...," panggil Fero lagi. "Iya, Sayang ... Papa di sini." Tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Vania dan Felice, Malik meninggalkan kamar itu. Vania pun menangis. Ia sama sekali tidak menyangka, justru drama kehidupan pernikahannya dimulai ketika Voni sudah tidak ada. Jika dapat memilih, ia lebih baik dipoligami, daripada sang putri yang harus menanggung semuanya. Padahal bayi itu tidak tahu-menahu tentang hal apa pun. Saat ini, wanita itu hanya bisa bertahan. Ia tidak mungkin pergi dari rumah mertuanya. Mereka sangat menyayangi Felice. Ia juga tidak ingin, menambah pikiran Revan jika tinggal bersama papanya itu. "Sayang, kelak, kamu harus jadi wanita yang tangguh, ya. Jangan pedulikan siapa pun, yang terpenting kebahagaiaan kamu. Seperti Mama saat ini, yang hanya akan memikirkan kebahagiaan kamu. Mama janji, Mama akan selalu ada di samping kamu." Vania mengecup kening Felice. Air matanya jatuh membasahi pipi sang putri. Seperti mengerti, Felice menatap mamanya , seolah memberi semangat pada wanita yang sudah melahirkannya itu. *** Berkali-kali dinasihati, nyatanya tidak membuat Malik berubah. Vania yang memilih untuk diam dan tidak menuntut apa pun, membuat sang suami sibuk dan fokus pada dunianya sendiri. Bersama putri sulungnya tentu saja. Sikap Malik yang seperti itu, semakin membuat Vania enggan untuk mendekatkan diri dengan Fero. Selama berada dalam satu rumah, bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka berinteraksi. "Pa, Mama kasihan melihat Vania dan Felice. Coba Papa nasihati Malik lagi, biar dia lebih perhatian lagi sama mereka," ujar mama Malik di suatu pagi, ketika hari libur. "Papa sudah berulang kali menasihati, tapi ya tetap sama hasilnya. Sudahlah, yang penting kita selalu menyayangi mereka. Anak itu kan selalu begitu. Selalu menentang kita secara diam-diam. Kalau begini terus, Papa akan mewariskan semua harta Papa buat Felice. Biar Malik tahu rasa! Mama harus selalu kasih perhatian buat Vania. Biar dia nggak merasa kesepian." "Itu selalu, Pa. Yang Mama heran, bisa-bisanya putra kita tidak tertarik dengan lucunya Felice. Entah di mana hati dan pikiran Malik." Hari libur ini, Malik membawa Fero untuk pulang ke rumah mereka. Hanya berdua. Fero yang memintanya, dia rindu sang mama katanya. Entah sampai kapan, mereka akan bisa merelakan kepergian Voni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN