Alisya tersenyum menatap ke arah cermin, jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, mengingat undangan pestanya nanti akan di adakan di jam tujuh jadi Alisya berpikir untuk dandan terlebih dahulu, ia tak akan membuat suaminya menunggu.
Suara pintu terbuka membuat Alisya menoleh, tersenyum ke arah suaminya yang berjalan masuk setelah menutup pintu, jangan lupakan dengan paper bag yang di bawanya.
"Tadi kata Sarah kamu nggak mau gaun yang warna putih? Kenapa?" Tanya Gerald dingin seraya meletakkan paper bag di tangannya ke ranjang.
"Aku lagi pengen pakai warna biru aja," jawab Alisya masih berkutat di depan cermin.
Gerald melepas sepatunya dengan gerakan pelan, menghela nafasnya berkali-kali, mencoba untuk tak langsung marah pada istrinya yang sedang hamil.
Hari ini kerjaannya sedikit tersendat, peluncuran produk baru yang sudah ia rencanakan tiba-tiba saja harus di tunda karena kesalahan bagian produksi yang membuat baju rancangannya berubah logo, di banding dengan itu Gerald lebih bersyukur karena ternyata mereka baru memproduksi beberapa ratus saja, belum sampai ribuan.
"Malam ini untuk ke pesta kita pakai warna putih saja, gaun yang akan kamu pakai ada di atas ranjang," kata Gerald pelan seraya berjalan memasuki kamar mandi, meninggalkan Alisya yang tiba-tiba saja dadanya berdenyut mendengarnya, merasa tak di hargai oleh suaminya.
Tentu saja, Alisya sudah siap, gaun yang rencananya akan ia gunakan sudah melekat cantik di tubuhnya, jangan lupakan dengan riasan ringan yang membuatnya terlihat lebih cantik sudah bertumpuk di wajahnya.
Alisya ingin menangis saat itu juga, tatanan rambutnya pun sudah hampir jadi, tapi setelah mendengar perintah suaminya membuat Alisya tak meneruskan kegiatannya untuk merapikan rambutnya, berjalan ke arah ranjang dengan pelan.
Alisya memilih tidur di ranjang, menyelimuti dirinya sendiri dengan sangat rapat, dirinya sakit hati, dirinya marah, dan dirinya ingin memaki suaminya yang tak menghormati pilihannya itu.
Pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Gerald yang sudah terlihat segar dengan handuk yang melilit di pinggangnya.
Gerald menghela nafasnya kasar saat melihat istrinya malah asik tidur daripada bersiap-siap.
Mengabaikannya, Gerald lebih memilih untuk menuju ke arah almari, mengambil setelan baju yang akan ia gunakan untuk pesta yang di adakan rekan kerjanya itu.
"Sya, cepat ganti nanti telat," kata Gerald bersuara.
Tak ada sahutan maupun jawaban, sekali lagi Gerald hanya mengabaikannya, mengenakan kemeja serta celana kain yang sudah ia pilih tadi.
Gerald menata dasi kupu-kupunya dengan pelan, menatap ke arah cermin seraya merapikan tatanan rambutnya.
Setelah merapikan rambutnya, Gerald meraih jasnya dan memakainya, menghela nafas sekali lagi seraya berjalan mendekati ranjang.
"Sya, bangun, kita sudah hampir telat," kata Gerald sekali lagi yang terdengar malas, menyingkap selimut yang di pakai istrinya untuk menutupi tubuhnya.
"Alisya nggak mau ikut," jawab Alisya pelan, suaranya sudah terdengar sedikit serak.
"Jangan buat aku ngucapin kata-kata aku dua kali, ayo cepat bangun," kata Gerald sekali lagi seraya sedikit meninggikan suaranya.
Alisya beranjak bangun dari tidurnya, duduk di atas ranjang seraya menatap ke arah suaminya, jangan lupakan dengan wajahnya yang sudah penuh dengan air mata.
"Sana ganti, cuci muka kamu, kamu bukan anak kecil lagi." Kata Gerald tanpa belas kasihan setelah melihat wajah istrinya yang sudah basah karena air mata.
"Aku nggak mau ganti," cicit Alisya pelan, menundukkan wajahnya seraya memilin jemarinya pelan.
"Aku pengen pakai warna biru," lanjut Alisya lagi yang berhasil membuat Gerald mengepalkan tangannya.
"MAU KAMU APA SIH SYA? KAMU TAHU KAN AKU NGGAK SUKA DI BANTAH? MAU SAMPAI KAPAN KAMU KEKANAK-KANAKAN GITU?" bentak Gerald yang tak bisa lagi menahan amarahnya.
Alisya semakin sesenggukan mendengarnya, tangisan yang mulanya tak terdengar suaranya kini terdengar meraung karena tak dapat lagi menahan isakannya.
"KENAPA HARUS AKU YANG GANTI? MAS GERALD AJA YANG GANTI," balas Alisya tak mau kalah, suaranya terdengar bergetar, menggema di seluruh ruangan.
"JANGAN BUAT AKU MENGULANGI LAGI YA SYA, CEPAT GANTI," teriak Gerald sekali lagi.
"EGOIS," teriak Alisya seraya kembali tidur, menutupi tubuhnya dengan selimut, menangis sesenggukan di dalamnya.
"TERSERAH, TERSERAH KAMU, SEANDAINYA KALAU KAMU NGGAK HAMIL KAMU PIKIR AKU BAKALAN NIKAHIN KAMU?" teriak Gerald sekali lagi.
Alisya semakin menangis mendengarnya, membuka selimut yang di gunakan untuk menutupi tubuhnya, beranjak bangun dan turun dari ranjang.
"DARI AWAL AKU JUGA NGGAK MINTA PERTANGGUNGJAWABAN DARI KAMU," teriak Alisya sakit hati mendengar teriakkan suaminya.
Alisya berlari ke arah pintu, ia memilih untuk keluar daripada harus terus mendengar hinaan suaminya yang ia tahu sendiri bukan kesalahannya, apa kesalahannya? Kenapa dirinya yang dari awal berniat menolong malah berakhir dengan mendapat makian dan kutukan dari semua orang?
Alisya membuka pintu dengan kasar, namun cekalan dari suaminya membuat Alisya menghentikan langkahnya untuk berjalan keluar.
"Kamu lupa? Kamu lagi hamil jangan lari-lari bisa nggak? Kamu itu bukan anak kecil yang harus di beritahu setiap waktu." Kata Gerald menurunkan nada suaranya, dirinya sadar jika dialah yang salah, seharusnya sebagai seorang laki-laki dirinya tak mengucapkan kalimat terkutuk seperti itu.
"KENAPA? KENAPA KALAU AKU KEKANAK-KANAKAN? KENAPA KALAU AKU LARI-LARIAN? APA MASALAHNYA SAMA KAMU MAS?" Tanya Alisya masih dengan nada berteriak, seharusnya Alisya tahu jika dirinya tak harus mengumbar pertengkarannya pada semua orang di rumah, tapi dirinya benar-benar tak tahu harus ke mana? Hatinya sakit.
"KALAUPUN ANAK INI KEGUGURAN, BUKANNYA KAMU SENANG? KARENA BISA CERAIIN AKU SETELAHNYA? NGGAK ADA YANG RUGI DARI KAMU MAS," lanjut Alisya semakin tak terkendali, dirinya benar-benar sudah tak bisa berpikir waras tentang pernikahannya, apa salahnya?
Plak.
Satu tamparan keras terdengar nyaring, Alisya yang mendapatkannya pun oleng dari pijakannya, terhuyung ke samping dengan rasa panas yang menjalar di bagian pipinya.
"Gerald, apa yang kamu lakukan?" Teriak Krystal saat melihat dengan mata kepalanya sendiri putranya menampar pipi menantunya dengan kekuatan yang Krystal sendiri tak bisa bayangkan.
"Bruk,"
Suara beradunya tubuh Alisya dan lantai membuat Krystal maupun Gerald menoleh ke arah Alisya yang kini tengah mengerang kesakitan, di banding dengan memegangi pipinya, Alisya lebih memilih memegangi perutnya yang tiba-tiba saja terasa nyeri.
Gerald menatap ke arah telapak tangannya penuh sesal, apa yang ia lakukan pada istrinya?
Gerald berjalan mendekat dengan pelan, tubuhnya terasa bergetar pelan saat melihat darah yang entah muncul dari mana.
"BERHENTI, JANGAN MENDEKAT LAGI, BUNDA BILANG BERHENTI." teriak Krystal seraya berlari mendekat, mendorong putranya ke belakang, dan berlalu menghampiri menantunya yang sudah terlihat pucat, Krystal berdo'a dalam hati, semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan menantu dan calon cucunya.
"Ayah...." Teriak Krystal menggema di seluruh ruangan.
Tak lama, Kai menyusul ke lantai atas, terkejut melihat menantunya yang sudah tergeletak di bawah dengan wajah pucat, dari pada bertanya, Kai lebih memilih segera membopong tubuh menantunya dan berlari menuruni tangga.
"Keluar kamu dari rumah ini," tegas Krystal seraya menatap penuh kecewa ke arah putranya yang terlihat begitu kacau.
Krystal berlalu meninggalkan Gerald begitu saja, mengejar suaminya yang mungkin saja sudah menjalankan mobilnya untuk menyelamatkan menantunya, mengingat suaminya itu laki-laki yang baik dan sangat bertanggung jawab.
****
Gerald menyandarkan tubuhnya ke dinding, memaju-mundurkan kepalanya agar terantuk dinding dengan sengaja, mencoba mengingat-ingat permasalahan yang sampai membuatnya kalap seperti itu.
Jika di pikirkan lagi dengan seksama, kemarahannya itu terjadi hanya karena istrinya tak mau menggunakan gaun yang di bawanya, tak mau memakai warna yang ia inginkan, hanya karena masalah warna, apa yang ia lakukan?
Berkali-kali Gerald mengutuk dirinya sendiri, apa yang ia pikirkan sampai melampiaskan kemarahannya pada istrinya?
Tasya mendekati abangnya yang terlihat sangat menyesal, ingin sekali Tasya ikut marah, tapi siapa yang akan mendukung abangnya jika dirinya ikutan marah? Bagaimana jika abangnya tertekan dan depresi.
Memikirkan semua itu membuat Tasya berlari dan langsung memeluk abangnya dengan erat, membuat Gerald terdiam, air matanya tiba-tiba saja luruh begitu saja.
"Tasya nggak akan marahin Abang," kata Tasya pelan, semakin membuat Gerald marah pada dirinya sendiri.
"Abang jangan nyalahin diri sendiri, semua terjadi begitu saja, Abang bukanlah ayah yang akan mencaritahu semua keadaan wanita hamil, Tasya tahu itu." Kata Tasya berhasil membuat Gerald menegang tiba-tiba, mengingat kembali darah yang tadi sempat ia lihat, apa yang terjadi?
"Jangan sekarang, biarkan bunda dan ayah yang bikin kak Alisya tenang, jangan sampai karena melihat Abang kak Alisya merasa semakin tertekan." Lanjut Tasya lagi dengan sekuat tenaga menahan gerakan abangnya yang ingin berlari menerjangnya.
Gerald semakin lemas mendengarnya, apa yang ia lakukan sebagai seorang suami dan calon ayah? Apa yang ia lakukan.
"Sya, Abang nggak ada niatan buat seperti itu," kata Gerald pelan, katakan saja dirinya b******k karena mencari alasan untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Tasya hanya bisa menepuk-nepuk punggung abangnya pelan, jika di pikir-pikir sudah dua kali kakak iparnya itu masuk rumah sakit karena ulah abangnya, semoga saja kakak iparnya tak apa-apa, dan memaafkan abangnya dengan lapang d**a.
****
Kai berlari memasuki rumah sakit, sedikit berteriak untuk membuat petugas medis melihat keadaan menantunya.
Kai terdiam di depan ruang ICU, menatap ke arah pintu dengan pandangan sedih, duduk di tempat itu membuat Kai mengingat bagaimana dulu istrinya juga hampir merenggangkan nyawa di dalamnya, menghadapi maut sendirian setelah melahirkan kedua anaknya.
Kai menoleh saat mendengar langkah kaki, berdiri dan memeluk istrinya dengan erat, dirinya takut, takut kejadian itu akan terulang pada menantunya.
"Nggak papa, Alisya anaknya kuat, ayah jangan berfikir yang enggak-enggak." Kata Krystal mencoba menenangkan suaminya, mau bagaimanapun dirinya juga takut terjadi apa-apa dengan menantunya.
"Tadi Alisya sudah menutup matanya, ayah takut terjadi apa-apa, ayah takut bunda,,,," Kai tak meneruskan kalimatnya saat mendengar desisan dari istrinya, melepaskan pelukannya dan menatap ke arah istrinya yang menatapnya datar.
"Ayah nggak mau bilang mau bandingin Alisya sama bunda kan?" Tanya Krystal marah, bisa-bisanya suaminya itu berpikir yang sangat kejam pada menantunya.
"Lagian kalau di pikir-pikir kenapa ayah yang kayak gini? Kalau semua orang lihat, mau bagaimanapun juga ayah kayak bertanggung jawab tentang semua yang terjadi," lanjut Krystal pelan.
"Tentu saja ayah ikut bertanggung jawab, bagaimanapun juga ayah nggak bisa didik Gerald dengan baik," bantah Kai tak mau kalah, di pikir bagaimanapun juga, apa yang di katakan suaminya memang benar.
"Kita berdo'a aja, semoga Alisya baik-baik saja."
****
Sudah dua jam berlalu, Alisya kini sudah di pindahkan di ruangan VIP yang di pesan oleh Kai.
Tadi, dari penjelasan dokter tak ada masalah apapun, hanya saja kandungan Alisya semakin lemah, harus banyak istirahat dan di larang melakukan hal-hal yang berat, apalagi sampai memikirkan hal yang bisa saja memicu keguguran.
Krystal mengingat-ingat dengan baik apa yang tadi di sampaikan dokter padanya perihal masalah kandungan menantunya, bersyukur karena keinginan Alisya cukup kuat untuk mempertahankan kandungannya.
*****
Kai duduk di ruang tamu appartemennya dengan gelisah, dirinya penasaran bagaimana keadaan istri dan calon anaknya, dirinya benar-benar akan menyesal jika terjadi sesuatu pada istrinya itu.
"Kak Alisya sepertinya lagi ngidam pengen pakai baju warna biru, sedari tadi di butik marah-marah saat pelayan butik memperlihatkan baju pilihan Abang."
Suara Tasya yang memberitahukan hal baru yang tak ia ketahui sebelumnya terus saja berputar di ingatannya.
"Dulu, nenek waktu mengandung bunda kamu, nenek ngidam yang enggak-enggak, bikin kakek kamu naik darah tiap hari."
Cerita neneknya yang membahas tentang kehamilannya membuat Gerald semakin menekan kepalanya, kenapa dirinya lupa jika wanita hamil akan melewati fase yang seperti itu? Suami seperti apa dirinya yang bahkan tak berpikiran untuk mengetahui tentang kehamilan istrinya? Apa yang ia lakukan selama ini untuk menyambut kedatangan buah hatinya? Tak ada.
Semua keperluan istrinya sudah di penuhi oleh ayahnya, mulai dari membelikan s**u kehamilan dan camilan-camilan yang baik untuk di cerna wanita hamil.
Dirinya, adalah suami terburuk, pantaskah dirinya meminta pengampunan istrinya?
Apa yang akan ia lakukan jika terjadi sesuatu dengan calon anaknya? Apa yang harus ia katakan pada istrinya?
Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalannya hampir saja membuat kepalanya pecah untuk sekedar memikirkan kenyataan terburuknya. Dari pada meminta pengampunan, Gerald lebih memilih di hukum oleh istrinya.
****
"Kak Alisya kok masih belum bangun bund?" Tanya Tasya duduk di samping bundanya yang tengah membaca rekam medis yang di berikan dokter padanya.
"Biarkan dia istirahat dulu, kata dokter dia nggak papa, mungkin nanti akan sedikit pikiran," jawab Krystal menatap ke arah putrinya.
"Bantuin bunda jaga kak Alisya ya, jangan biarkan kak Alisya kelelahan ataupun depresi, kamu ngerti kan?" Lanjut Krystal seraya memohon pada putrinya untuk membantunya menjaga menantunya.
"Pasti, Tasya bakal ada di samping kak Alisya terus nanti." Jawab Tasya seraya berhambur memeluk bundanya.
"Bunda jangan terlalu berfikir yang enggak-enggak, biarkan kak Gerald sendiri yang mengatasi masalahnya, bunda jangan memaksakan diri," bisik Tasya pelan, di jawabi anggukan oleh Krystal dengan tegas.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Krystal akhirnya bertanya.
"Kak Alisya bersikeras memakai gaun warna biru untuk menemani Abang ke pesta, tapi seperti yang bunda tau, Abang menolak dan akhirnya dia tak bisa menahan emosinya," jawab Tasya seadanya, dirinya tahu semuanya saat tadi abangnya menceritakan semuanya padanya.
"Mungkin kak Alisya lagi ngidam, soalnya kak Alisya sendiri nggak suka dengan warna biru, tapi tetap saja bersikeras beli gaun warna biru," lanjut Tasya yang di jawabi anggukan oleh Krystal, mau bagaimanapun juga tetap putranya lah yang pantas di salahkan.
"Dan Abang tak sengaja bilang kalau saja kak Alisya nggak hamil, Abang nggak mungkin nikahin dia," lanjut Tasya ragu-ragu.
Krystal memejamkan matanya, kepalanya bisa pecah jika memikirkan apa yang ada di pikiran putranya itu, benar-benar tak ada satupun tanggung jawab sebagai suami yang ada di kepala putranya.
Tbc