"Kau tidak waras? Bagaimana bisa kau mencium perempuan asing begitu saja tanpa sopan santun. Terlebih lihatlah sekeliling, kau mau aku mati muda dan membawa setumpuk dosa dari skandal yang kau buat ke dalam peti mati!"
Peringatan Grace tentang hal bodoh yang dilakukannya barusan menjadi komsumsi lubang telinga Darren hingga selalu merintih menyakitkan. s**t! Bisakah mulut sialan itu tidak mengoceh untuk sekarang.
Darren membuang wajahnya ke arah jendela mobil, sesekali matanya mengamati hingar bingar kota Paris yang sibuk di tengah malam. Namun bukan itu yang ada di pikirkan Darren sesungguhnya. Otak warasnya masih tertinggal di tempat itu, tempat dimana Darren merasakan pertama kali bibir ranum gadis itu di dalam mulutnya, melumatnya begitu rakus hingga berakhir mendapatkan sebuah imbalan tidak menyenangkan dengan sebuah tamparan keras yang mendarat tepat di pipinya.
Sialan! Tamparan itu masih sangat sakit. Baru pertama kali ini seorang (aktor tertampan di dunia) ditampar seorang gadis. Apakah Darren harus bertepuk tangan sambil memanjat menara Eiffel dan meloncat dari tower tertinggi, atas kejadian tersebut.
"Kau tidak mendengarku!"
Darren menoleh ke arah Grace dengan kesal. "Bisakah kau tutup mulutmu!"
Grace tersentak kaget, melihat wajah menyeramkan Darren yang terlihat ingin mengunyahnya hidup-hidup di dalam mulut. Sebenarnya bisa saja Grace melawan dengan membentak Darren balik, atau mencakarnya hingga kulit wajahnya mengelupas. Namun Grace tidak setangguh itu. Dia tetaplah seorang wanita yang akan sedikit takut, ingat! Sedikit takut ketika Darren sudah mengeluarkan tanduk iblis di pucuk kepalanya.
"Mana data gadis pelayan itu, apa kau sudah mendapatkan informasinya?" lanjut Darren dengan pertanyaan, hingga membuat Grace mengutuk di dalam hati.
Tangan lentik Grace kemudian mengambil sebuah map berisi data penting yang diinginkan Darren di dalam tasnya lalu memberikannya kepada Darren.
"Namanya Aurora, gadis berusia 20 tahun, berselisih sangat jauh 10 tahun dengan dirimu."
Grace mencoba mengacuhkan raut wajah Darren yang terlihat tidak menyukainya. Grace lebih memilih untuk melanjutkan kata-kata yang ingin dilontarkannya lagi, "Dia sudah tidak punya orang tua kadung, namun dia masih mempunyai ibu tiri. Dan dari hasil wawancaraku dengan temannya, ibu tiri gadis itu sering menyiksanya hingga babak belur. Dan asal kau tau Darren,"
Grace menjeda kalimatnya untuk melirik Darren dengan wajah yang terlihat sedikit mencemooh atau apalah itu sejenisnya hingga membuat Darren tidak bisa fokus dengan isi map yang dilihatnya karena terlalu penasaran dengan lanjutan ucapan Grace.
"Gadis itu sudah punya kekasih. Namanya William, katanya laki-laki itu tampan dan berusia lebih muda dari dirimu." Suara Grace terdengar menyebalkan sekali di telinga Darren. Dan etah kenapa dengan detak jantungnya? Kenapa terasa sangat terbakar?
Grace melanjutkan, "Jadi saranku, hentikan ketertarikan bodohmu itu, gadis itu sudah dimiliki orang lain."
Ingin sekali Grace memuntahkan tawa kerasnya dari dalam mulut setelah mengetahui wajah Darren dengan fakta yang sangat mengagumkan itu. Namun itu hanya bisa terwujudkan di dalam hati saja. Tetapi tidak apa-apa, Grace tetap bahagia. Rasakan! Anggap saja itu sebagai balasan atas perlakuan bajinganmu terhadap wanita, kau sudah terkalahkan sebelum perang dimulai.
Wajah Darren berubah sangar, dia melirik foto Aurora yang terpajang di atas kertas putih di dalam map berisikan bio datanya. Terlihat sangat cantik bahkan di dalam foto sekali pun. Dan Darren tidak akan pernah melepaskan mangsanya. Gadis itu harus menjadi miliknya. Persetan dengan kekasihnya! Darren akan tetap merebut gadis itu untuk dijadikan sebagai partner tidur di atas ranjangnya.
***
Langit mulai terlihat keemasan, menunjukkan hari mulai terlihat petang. Angin dingin menusuk pori-pori kulit Aurora yang tertutupi sebuah sweater hangat berwarna merah muda. Tasnya tersampir lemas di atas bahu kirinya, sedangkan langkahnya sedikit diatur perlahan, terlalu lelah karena langkah kaki Aurora tidak memiliki tujuan sedikit pun.
Sedari tadi Aurora melangkah ke sana kemari untuk mencari sebuah pekerjaan yang sebisanya dia kerjakan, mencari dari pagi sampai sore ini, tetapi Aurora belum juga mendapatkan satu pun pekerjaan.
Aurora begitu putus asa, harus ke mana lagi dia mencari pekerjaan, sedangkan di dalam kamarnya terdapat tagihan uang dari hutang yang ibu tirinya hasilkan. Aurora berhenti di depan pintu apartemen sederhana.
Tidak ada pilihan lagi, Aurora harus kembali menyusahkan Wiliam.
.
.
.
Pintu itu terbuka ketika Aurora selesai menekan bel beberapa detik yang lalu. Terlihat seseorang pria berwajah tampan masih dengan setelan kerja yang belum diganti berdiri tepat di hadapan Aurora. Dan sedikit kaget melihat kekasihnya ada di depan pintu.
"Baby-" Ucapan William terhenti ketika Aurora tiba-tiba menubruk tubuh tingginya dengan sebuah pelukan.
Melihat wajah Aurora yang terbenam di dalam dadanya, bersama isakkan kecil yang keluar dari bibirnya membuat William berkesimpulan bahwa Aurora sedang tidak baik-baik saja. Ada suatu masalah, jadi William berinisiatif untuk memangku gadis itu dan membawa masalah gadis itu masuk ke dalam apartemen untuk coba ia selesaikan.
William menaruh tubuh mungil Aurora perlahan di atas sofa. Duduk di sampingnya, kemudian mengusap kepala gadis itu agar lebih tenang. Tangan Aurora masih melingkar ketat di pinggang William dengan kepala yang bersandar di dadanya.
"Apa yang terjadi? Apa Ibumu menyakitimu lagi?" tanya William khawatir. Mencoba membuat wajah Aurora menatapnya.
Air mata yang pertumpahan banyak di kedua pipi Aurora William usap dengan kedua ibu jarinya. Luka yang belum kering di sudut bibir Aurora menjadi jawaban atas pertanyaan William barusan.
"Wanita itu menamparku dan memukuliku ketika aku bilang aku sudah dipecat dari pekerjaan," ucap Aurora dengan nada lirih. Sakit di sekujur tubuhnya mulai semakin terasa menyiksa.
Mendengar itu membuat amarah William terasa meledak. William sangat tidak suka bila ada yang menyakiti tubuh wanitanya, tidak peduli sekalipun itu adalah ibu tirinya, William tidak bisa memaafkan itu, wanita tua itu tidak berhak memperlakukan Aurora sekeji ini. Aurora juga berhak diperlakukan seperti wanita pada umumnya. Bukan terus disiksa sampai tubuhnya terkoyak remuk.
"Aku sudah tidak bisa bersabar lagi. Sekeras apa pun tolakan ibu tirimu aku akan tetap membawamu keluar dari sana. Jadi tolong! Tinggallah denganku, dan jadilah istriku. Aku akan membahagiakanmu, aku janji."
Aurora terdiam mendengar kata-kata serius yang terlontar dari bibir Wiliam, sedikit kaget mendengar William ingin menjadikannya istri.
"K-kau mau menikahiku? Menikahi wanita redah sepertiku?"
Raut tegang William sedikit melunak melihat tatapan polos Aurora yang sedang menatapnya tanpa berkedip. William kecup bibir manis pacarnya dengan kecupan mesra.
"Ya, aku akan menikahimu. Aku tidak mau kau terus disiksa seperti ini. Melihatmu menangis sama saja membuat hatiku sakit. Kau harus jadi istriku agar bisa terbebas dari terkaman wanita buas itu."
Seketika Aurora langsung memeluk William. Pemikiran Aurora terlalu matang untuk ukuran seusianya yang sepatutnya menghambur-hamburkan uang dan shoping sepuasnya di toko pakaian yang termahal. Tetapi untuk hidup gadis seperti Aurora tidak seperti itu, dia lebih berpikir ke arah pernikahan dari pada harus menanggung penderitaan berat dengan waktu lama karena diperbudak oleh ibu tirinya sendiri.
"Aku mau, aku mau menikah denganmu. Aku mencintaimu." Dan ini pilihan Aurora tanpa pikir panjang dan tanpa pernah mau mengerti ia mengambil keputusan ini. Ia ingin menikah dengan William, toh ia sangat mencintai laki-laki itu.
William tersenyum tampan mendengar jawaban terbaik itu, membalas pelukan dengan berbagai kecupan kecil William daratkan di puncak kepala Aurora. "Nanti malam kita ke rumahmu, untuk mengambil semua pakaianmu." ucapan William membuat Aurora sedikit ragu.
"Bagaimana kalau wanita itu tidak setuju?"
Namun William tetap akan berusaha, "Aku akan tetap memaksa. Bagaimanapun aku laki-laki, kekuatanku lebih besar dari pada wanita," ucapnya penuh tekat.
Hingga membuat Aurora tersenyum mendengarnya. Meraih wajah William dan langsung mencium bibir laki-laki itu dalam-dalam, mencoba menyampaikan terima kasih lewat lumatan-lumatan lembut lidah Aurora di bibir William hingga membuat sudut bibir laki-laki itu terangkat dan membalas ciuman Aurora dengan perasaan cinta yang menggebu.
Namun sayang. William terlambat. Karena tanpa mereka ketahui, bahwa seseorang telah lebih dulu mengambil hak kepemilikan dari tubuh dan hati seorang Aurora dengan begitu brengseknya.
***
Aurora mempunyai mimpi sederhana tentang kehidupan berdua bersama William dan itu membuat Aurora selalu membayangkan betapa bahagianya bila mimpi itu menjadi kenyataan.
Tidak ada lagi sumpahan mengerikan, tidak ada lagi tindakan yang membuat kulit-kulitnya penuh luka lebam, tidak ada lagi wanita sialan yang bernama Nany. Dan bersyukur saat ini impian itu bisa Aurora raih dengan William yang ingin menikahinya. Oh, Tuhan, terima kasih untuk kiriman sosok William dalam kehidupan kelamnya.
Aurora sangat bersemangat di setiap langkahnya, dan William hanya bisa tersenyum kecil, mengeratkan gegaman tangannya di jemari Aurora agar gadis itu tidak terpeleset atau tersandung sampai jatuh. Namun baru saja tangan Aurora membuka pintu flat yang dihuninya, mereka sudah dikejutkan oleh Nany yang sedang terduduk di kursi rapuh dengan dua koper berisikan banyak tumpukan dollar terbuka di atas meja kayunya.
Wajah Nany terlihat sangat senang, menghitung berlembar-lembar dollar di antara apitan tangannya. Lalu ketika mata wanita jahat itu menoleh ke arah Aurora. Wanita itu langsung tersenyum iblis. Namun bukan itu yang Aurora herankan. Tetapi empat laki-laki tegap yang berpakaian hitam di samping Nany. Mereka siapa?
"Akhirnya si gadis bodoh ini datang. Ambil saja sekarang. Dia sudah milik bos kalian."
Apa maksud dari kata-kata itu?
Belum sempat Aurora mencerna kata-kata yang terlontar mencurigakan dari mulut Nany, laki-laki tengap itu sudah berjalan duluan ke arahnya, meraih kedua tangannya sampai mata Aurora membulat kaget.
"Apa yang kalian lakukan?!" itu suara William terdengar menggema di ruangan, tidak terima wanitanya disentuh laki-laki lain, William semakin terlihat memberontak karena posisi laki-laki itu sama, sedang dihadang laki-laki tegap yang tadi bersama Nany.
"Gadis sialan ini sudah aku jual kepada seseorang. Dia jauh lebih kaya dari dirimu pahlawan kesiangan!" Nany terkekeh di ujung kursi menatap wajah William yang terlihat terkejut begitu pun Aurora.
"Berengsek!"
Kemurkaan William hanya akan berakhir sia-sia ketika dua laki-laki yang masih menghadang tubuhnya malah memberikan pukulan keras ke arah perut William hingga membuat Aurora menjeritkan nama William.
Mulai ikut memberontak untuk melepaskan diri dari cekraman pria tegap yang masih memenjarakan tubuhnya, namun tetap sama seperti William, Aurora tidak punya kekuatan cukup untuk melawan.
"Kau harus ikut dengan kami Nona. Bos kami sudah menunggu di dalam mobil," ucap salah satu pria tegap itu, bernada pelan seperti tidak berani berbuat lebih kepada Aurora kalau nyawa mereka akan mati setelahnya.
"Aku tidak mau! Lepaskan!" Aurora terseret sedikit menjauh keluar dari pintu dan itu membuat William mengumpulkan tenaganya hingga berhasil menendang kedua laki-laki berbadan besar itu sampai jatuh tersungkur di atas lantai.
William berlari cepat menuruni tangga untuk mengejar Aurora yang masih berteriak memanggil nama William meminta pertolongan.
Sial! Mengapa tidak ada satu pun tetangga di flat ini yang keluar!
"Jangan membawanya berengsek! Aku bisa melaporkan kalian ke polisi!" teriak William murka.
Tubuh Aurora sudah sampai di dekat mobil mewah yang terparkir di sisi jalan, tubuh mungilnya sudah siap dilempar ke dalam mobil namun William berhasil meraih gadis itu ke dekapannya. Namun itu tidak berselang lama karena setelahnya tubuh William terjatuh pingsan ketika seseorang dari mereka tadi memukul keras kepala dan punggung William dengan balok kayu.
Sontak itu membuat tubuh Aurora terkejut kaku dengan kedua mata melebar. "Oh, tidak! William bangun, William." Aurora mengguncangkan tubuh William, melihat darah yang mengucur dari kepala William semakin membuat Aurora histeris panik. Menangis sekerasnya dan menjerit kasar kepada laki-laki yang tega memukul kekasihnya hingga pingsan.
"Dia sudah pingsan, Sayang."
Suara itu, Aurora kenal suara itu. Kepalanya menoleh ke arah laki-laki tinggi yang sedang melangkah menyeramkan ke arahnya. Mata Aurora terlonjak kaget.
"Darren Nicholas!"
Laki-laki itu tersenyum di dalam penutup mulutnya, menghampiri Aurora dan melirik tidak suka laki-laki yang tergeletak pingsan di pangkuan Aurora.
"Kau masih mengenaliku saat aku bahkan memakai penutup wajah seperti ini."
"Jangan mendekat!" Aurora semakin ketakutan saat laki-laki itu tidak menggubris ucapannya.
"Kau sudah kubeli mahal, Sayang. Jadi jangan mengecewakanku. Tubuh cantik ini sudah menjadi milikku."
"Tida-hmmpp"
Terlambat! Aurora tidak sempat menyambung suaranya lagi, karena pernapasan lewat hidung dan mulutnya sudah diputus paksa oleh ulah sapu tangan yang membekap di mulutnya. Lalu aroma sesuatu terhirup sampai ke lubang hidung Aurora hingga membuat mata gadis itu mulai menutup perlahan, lalu setelahnya terkulai lemas, jatuh pingsan dipelukan Darren...
... sang iblis pemilik dari kehidupan kelamnya yang baru.