Aurora pernah merasa marah dan ingin memaki kasar terhadap perlakuan ibu tirinya. Tetapi tidak ada yang lebih ingin Aurora maki kasar saat ini, selain wanita sok cantik yang bernama Irene.
Salah satu sesama pegawai di restaurant ini yang begitu membencinya. Wanita itu menyeretnya begitu saja ke dalam masalah, dan melimpahkan semua masalah itu kepadanya.
Harus di mana lagi Aurora menyembunyikan wajahnya. Semua mata sedang tertuju ke arahnya, atas kesalahan yang Aurora tidak mengerti itu berasal dari tangannya sendiri atau dari tangan orang lain.
"Jadi kau yang mencuci piring tidak bersih ini. Kau lihat! Gara-gara kau meninggalkan noda cokelat di piringku, alergiku jadi kambuh lagi." Si pelanggan wanita dengan polesan lipstik merah menyala di bibirnya memuntahkan amarahnya kepada Aurora.
"Tapi Mrs. Saya sudah mencucinya bersih. Saya tidak tau kenapa noda cokelat itu bisa berada di sana."
Entah Aurora halus menjelaskan ini sampai ke berapa kali. Mungkin saja noda itu berasal dari kesalahan koki restaurant yaitu ulah dari tangan Irene sendiri, bukan dari kesalahannya. Dan aneh juga ada wanita memusuhi cokelat.
"Kau sudah terbukti salah tapi masih beralasan!" bentak wanita itu keras-keras di depan Aurora. Hingga Aurora langsung menunduk takut. Terlebih mulut bos yang selama ini membelanya, saat ini terlihat sekali tidak bisa bicara atau menjelaskan apa pun. Apalagi ketika telujuk letik luar biasa angkuh itu menunjuk ke arah sang bos pemilik restaurant.
"Kau harus bertanggung jawab. Pecat dia sekarang juga."
Dan yang lebih membuat Aurora hanya bisa terdiam kaku. Yaitu fakta bahwa pelanggan wanita itu ternyata adalah istri bosnya sendiri. Hingga berhasil membuat pria itu tidak bisa berbuat banyak, selain menyetujui.
.
.
.
Di sisi lain. Perdebatan itu membuat Darren sedikit tertarik. Bukan tertarik dengan perdebatan tak bermutunya. Lebih kepada wanita cantik yang sedang menjadi objek yang dipermasalahkan.
Darren tidak mengerti. Hanya saja dia cukup paham ketika jantungnya berdetak abnormal dan mengalirkan sepercik keinginan untuk mencicipi rasa manis dari kulit seputih salju itu.
Darren mengakui ... dia tertarik.
"Grace." Suara Darren terdengar serius.
"Ya?"
"Berikan aku informasi tentang gadis berseragam pelayan yang sedang dimarahi itu."
Grace tersedak minumanya sendiri ketika mendengar perintah Darren. Wajahnya seketika menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh dagu luar biasa tampan Darren.
Lalu pertanyaan bingung dari Grace terdengar, (sedikit menyebalkan di telinga Darren). "Kau serius? Dan untuk apa aku harus mencari tau informasinya?" Kening managernya berkerut.
"Aku tertarik dengan gadis itu. Kuharap kau bisa memberikan data profile gadis itu secepatnya."
Dan Grace tersedak lagi untuk kedua kali. Namun kali ini Grace tersedak air liurnya sendiri. Apa laki-laki ini sudah gila? Atau sedang tidak waras?
Sejak kapan seorang Darren Nicholas tertarik dengan gadis sederhana berseragam pelayan restaurant seperti itu. Apa mungkin otaknya sudah tercuci ke arah yang lebih baik.
Oh, Grace harus sering ke gereja untuk berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada Tuhan tentang perubahan ini.
Grace ingin membuka suara, namun Darren terlebih dulu menyela, "Turuti saja semua perintahku Grace. Aku tidak butuh ocehanmu lagi."
Oh, s**t!
Tetapi kenyataanya Grace salah. Darren tidak tobat. Dia masih saja menjadi seorang bastard yang begitu menyebalkan. Dan Grace hanya bisa berakhir menutup mulutnya pasrah. Si b******n ini punya kuasa memerintah atas dirinya. Sialan!
***
"Aurora itu bukan salahmu. Seharusnya kau tidak bisa diperlakukan seperti ini."
Suara sedih Bella membuat Aurora beralih dari lokernya. Aurora juga merasa ini tidak adil. Bukan dia yang bersalah tetapi malah dirinya yang mendapatkan pemecatan secara tidak hormat.
"Aku tidak bisa berbuat banyak Bella. Aku sudah berusaha semampuku untuk menjelaskan tetapi Mrs Smith tetap saja tidak mempercayaiku."
Bella menghela napas kasar. Tatapannya terlihat berkabut amarah. Dia sudah panas sekali ingin mencerca Mr dan Mrs Smith dengan berbagi makian yang sudah tidak bisa tertampung baik di dalam mulutnya.
Bella marah saat sahahabatnya diperlakukan seperti ini.
"Lalu kau akan kerja di mana? Mencari pekerjaan itu susah apalagi kau tidak punya ijazah."
Aurora tersenyum tenang, bergerak menyentuh pundak Bella agar wanita itu berhenti khawatir.
"Aku bisa berjualan. Atau menjadi pemulung juga tidak apa-apa yang penting aku bisa dapat uang."
"Jangan jadi pemulung. Kau terlalu cantik untuk berkerja seperti itu. Aku akan meminta bantuan Andrew agar dia bisa memberikan satu pekerjaan untukmu."
Mendengar nama Andrew Aurora jadi merasa heran. "Bukankah kalian sudah putus?"
Wajah Bella lansung berubah salah tingkah. "M-memang. Tapi itu sebelum ada yang datang ke rumahku dan membuat tubuhku tertindih tumpukan bunga Lily di depan pintu rumah yang terbuka. Dan si pelakunya adalah si berengsek Andrew. Oh, aku harus mengakui. Bahwa aku bodoh sudah mejilat ludahku sendiri."
Aurora terkikik geli mendengarnya. Merasa lucu dengan cerita Bella di situasi amat menyakitkan seperti ini.
"Jadi kalian balikan?"
Bella terlihat semakin salah tingkah. "Ya, begitulah. Dan aku serius tentang usul mencari tempat kerja baru di perusahaan Andrew. Kuharap kau menerima usulku."
Aurora tahu usul Bella memang terdengar mengiurkan. Bekerja di perusahaan properti ternama milik Andrew adalah impian semua orang. Bahkan Andrew juga beberapa kali menyuruh kekasihnya (Bella) untuk jadi pekerja di kantornya, dan Bella selalu menolak. Alasanya hanya satu, otak Bella tidak terlalu memadai untuk masuk, padahal ijazah Bella lulusan tinggi.
Apalagi Aurora, dia bahkan tidak tau apa itu sekolah. Tidak mungkin Aurora bisa masuk di perusahaan Andrew walaupun jadi office girl sekali pun. Aurora tidak mungkin bisa masuk.
"Tidak Bella, itu terlalu tinggi. Pekerjaan seperti itu terlalu mustahil untukku. Kau tenang saja. Aku masih mempunyai William. Dia pasti akan membantuku," ucap Aurora dengan senyuman yang menenangkan.
Bella terlihat mengangguk pasrah. "Baiklah. Aku mendukung keputusanmu."
Dan mereka berpelukan di ruang ganti khusus pegawai untuk terakhir kali.
***
Aurora melangkah santai menelusuri jalan khusus untuk pejalan kaki yang tidak terlalu ramai dilewati. Angin musim gugur membelai tubuhnya hingga menggigil, membuat Aurora merapatkan Coat merah panjang sebetis itu agar tubuhnya sedikit lebih hangat.
Udara malam kota Paris selalu dingin. Dan mungkin karena itu pula sebabnya air mata Aurora mulai berjatuhan dari tungkai matanya tanpa bisa dicegah. Terlebih Aurora semakin bingung. Harus di mana lagi dia mencari pekerjaan.
Aurora memilih untuk duduk sejenak di kursi kayu di dekat kolam air mancur. Menerawang ke arah langit dan menatap bintang yang ditenggelamkan oleh awan hitam pekat di atas sana.
"Momm, Dadd, aku merindukan kalian. Aku tidak sanggup lagi berada di sini. Semua hidupku termakan habis oleh keegoisan wanita sialan itu. Dia yang merusak masa depanku hingga hancur. Dan berakhir sendirian dengan penderitaan seperti ini. Tolong bantu aku agar bisa keluar dari semua penderitaan ini."
"Aku bisa membantumu."
Sontak Aurora langsung terlonjak kaget ketika mendengar suara berat laki-laki di telinganya. Refleks Aurora bergeser menjauh beberapa senti ketika melihat ada laki-laki berpakaian serba hitam sedang duduk di sampingnya.
Kapan laki-laki misterius ini duduk di sini?
"S-siapa kau?" tanya Aurora sedikit takut. Apalagi melihat laki-laki itu hanya terkekeh menambah ketakutan Aurora semakin meningkat pesat.
"Kau mengenalku."
Hah!
Aurora menatap laki-laki itu intens. Wajah laki-laki itu tertutupi masker dan topi, bagaimana Aurora bisa mengenalnya.
"Aku tidak mengenalmu, permisi."
Aurora bergegas bangkit berdiri, hendak berjalan pergi namun dicegah oleh tangan laki-laki itu sendiri.
Aurora melirik kesal. Siapa laki-laki ini, berani sekali menyentuh tangannya tanpa sopan santun. Aurora menepis tangan laki-laki itu secara kasar. Dan menatap tajam mata berkilau yang sedang menatapnya.
"Jangan menyentuh orang sembarangan!"
Suara laki-laki itu terkekeh kembali membuat Aurora semakin kesal. Tangan laki-laki itu beralih ke masker yang melingkupi sebagian hidung dan mulutnya, membukanya secara perlahan. Lalu ketika wajah itu sudah terlihat jelas, mata Aurora refleks membulat sempurna.
Darren Nicholas.
Aurora tidak terlalu mengenal celebrity yang sedang ngetren di abad ini, dia tidak seperti gadis-gadis lain yang begitu sangat mengidolakan seorang publik figur. Namun bukan berarti Aurora tidak tahu. Aurora sedikit tahu, salah satunya adalah Darren Nicholas. Beberapa kali Aurora dicengkoki nama itu oleh Bella. Bella adalah salah satu fans berat dari aktor bernama Darren hingga membuat Aurora tidak asing lagi mendengar nama atau wajah dari seorang Darren Nicholas.
Tetapi bertemu secara langsung seperti ini. Membuat Aurora sangat terkejut bukan main.
Oh, Tuhan! Ini sungguh Darren Nicholas. Aktor tertampan yang sering Bella ceritakan?
"Dari ekspresimu aku bisa menyimpulkan. Bahwa kau mengenalku." Darren berjalan satu langkah hingga berakhir berada di dekat Aurora. Dan gadis itu masih saja terlihat syok.
Wajah cantik ini.
Kenapa Darren baru menemukanya sekarang. Darren mengerang dalam hati melihat bibir ranum yang sedikit terbuka dengan gigi yang terlihat sedikit mengintip di celah dalamnya.
Sial! Darren tidak bisa menahanya lagi. Darren menginginkan bibir itu masuk ke dalam mulutnya, tenggelam ke dalam lumatan gairahnya.
Seperti digerakan oleh hawa nafsu yang sudah mendesak jiwanya. Wajah Darren perlahan menunduk dengan tangan yang mulai merambat ke arah tengkuk Aurora. Menyatukan bibir mereka secara perlahan.
Tubuh Darren seketika menggigil secara kampungan saat bibir ranum itu ada di celah apitan bibirnya. Mulai mencoba bergerak dengan sangat ahli, melumat dan mengisap bibir atas gadis itu kuat-kuat.
Lalu ketika bibirnya perlahan masuk ke dalam mulut dan menggoda lidah mungil Aurora, Darren mendapatkan dorongan tidak menyenangkan dari tangan Aurora hingga mengakibatkan ciuman sepihak itu terlepas.
Dan Darren merasa ngilu luar biasa di bagian pipi kirinya karena telapak tangan lentik Aurora mendarat tepat di sana. Keras dan begitu menyakitkan.
Shit! Berani sekali wanita ini!
"Apa yang kau lakukan!" Lalu suara bentakan Aurora memenuhi gendang telinga Darren. Wanita itu merasa terlecehkan dengan sikap kurang ajar Darren.
Ketika Darren menatap mata Aurora, terlihat ada sedikit ketakutan yang menyelimuti binar cantiknya. Tubuh mungil itu perlahan memilih mundur dan buru-buru pergi dari sana. Meninggalkan Darren yang mematung di tempat, menatap kepergian Aurora dengan senyuman licik bergelayut menyeramkan di ujung bibirnya, lalu bergumam dengan penuh aura ketertarikan.
"Bibirnya lezat ... sial! Aku ingin mencicipinya lagi."