Chapter 6

1297 Kata
Cahaya yang menyorot permukaan wajahnya adalah hal yang harus Aurora maki untuk saat ini. Namun ketika kedua kelopak matanya terbuka Aurora lebih menyadari bahwa tidak ada yang pantas dimaki detik ini, selain tubuhnya yang terasa begitu remuk dan hancur. Mereka kembali menetes melewati pangkal hidung Aurora, merasa bahwa tidak ada hidup yang lebih layak lagi ketika semuanya telah direnggut paksa oleh iblis sialan yang mempunyai gelar sebagai publik figur yang hanya bisa berakting sempurna dan membawa sifat iblis itu ke balik layar. Aurora mengamati ruang kamar dengan gerakan waspada, melirik tubuhnya yang sudah terlapisi dress cantik yang entah siapa yang memakaikannya, Aurora tidak peduli. Yang bisa ia pikirkan saat ini -dia harus kabur dari sini bagaimanapun caranya. Dan saat ini Aurora merasa diberkati oleh Tuhan, karena tidak ada satu pun orang yang ada di kamar ini selain tubuhnya sendiri. Aurora mulai bangkit perlahan, meringis menahan nyeri di selangkangannya yang terasa begitu menyakitkan. Aurora mengutuk noda merah yang tercetak di atas sprei, terlihat sekali sedang menertawakannya atas keperawanannya yang sudah terenggut hilang. Sedikit lagi, langkah terseretnya sedikit lagi mencapai pintu, Aurora tersenyum bahagia di dalam hati, sebentar lagi dirinya akan bebas dan bisa cepat meruntuhkan segala kesakitannya di pundak William yang selalu hangat. Tetapi kenapa pintu ini terkunci?! Aurora menarik keras knop pintu agar segera terbuka, namun nihil pintunya masih tetap bertahan, terkunci rapat-rapat. Mata Aurora mencari panik satu barang yang bisa menyelamatkan hidupnya, kunci...di mana kunci pintu ini? Kenapa tidak tergantung di pintu! Sebelum kunci penyelamat hidupnya ditemukan, Aurora sudah lebih dulu dikagetkan oleh suara seseorang hingga membuat tubuh Aurora menegang bersama jantung yang hampir meluncur jatuh. "Mencari ini, Sayang." Aurora berbalik, dan menemukan tubuh Darren yang sedang terduduk di atas kursi di sudut ruangan dengan kunci yang tergantung dalam apitan jemarinya yang panjang. Aurora tidak menyadari bagian itu, si b******n sedari tadi menatap tingkah lakunya yang mencoba ingin melepaskan diri. Dan mulut sialan itu tertawa menghinanya. "Tidak kusangka tubuh kecil dan mungil itu mempunyai nyali yang cukup besar," ucapnya, penuh aura menyeramkan. Berbahaya! Si berengsek bangkit mendekat. "Dan seharusnya kau berpikir. Aku tidak akan seceroboh itu untuk membuatmu kabur dengan mudah." Melanjutkan kata-katanya dengan gerakan menghampiri mangsa secara mengagumkan. Aurora sudah seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan, semakin beringsut ke belakang, ketika tubuh Darren sudah sampai dan memenjarakan tubuhnya di pintu dengan kedua tangan kekarnya. "Aku tidak akan pernah melepaskan. Karena kau milikku." Kata-kata egoisme Darren keluar. "Aku bukan milikmu!" Dan Aurora mempunyai refleks bagus untuk menyela kasar tepat di depan wajah Darren. Terlalu muak dengan kata-kata Darren yang selalu menjadikan Aurora sebagai miliknya. Dia tidak sepelacur itu! Tatapan Darren menajam, "Jangan membantahku! Kau milikku dan kau harus ikut denganku pulang!" Egoisme seorang Darren yang melebihi luasnya tata surya. Aurora menggeleng penuh makna penolakan, tidak sudi! Dia masih mempunyai rumah. "Aku tidak mau! Aku masih punya rumah dan aku akan pulang ke rumahku. Lepaskan aku berengsek!" Darren menggeram kesal. Wanita ini berbeda, dalam mulutnya lebih banyak menampung kata-kata yang bisa membuat emosinya meledak secara mendadak. "Kau akan pulang ke rumah ibu tiri yang sudah menjual keperawannmu seharga apartemen mewah yang terletak di kota ini, apa pantas itu disebut rumah?" ucap Darren mengompori, sedikit terkekeh melihat raut wajah Aurora yang menyiratkan kesakitan. Darren bangga dengan limpahan kekayaannya sekarang. Aurora balas menatap Darren tajam, "Aku masih mempunyai rumah kekasihku." Ada jeda sejenak untuk ledakan tawa Darren yang terdengar begitu menyebalkan, tangannya meraih Aurora dengan paksa membalikkan tubuhnya lalu memeluknya dari belakang hingga tubuh keduanya berakhir menghadap ke arah pintu karena Darren sedikit membawa tubuh Aurora mundur untuk memberikan sedikit jarak tubuh mereka dengan pintu. "Bawa dia masuk!" Lalu suara berat Darren membuat bulu kuduk Aurora meremang, kemudian tak selang berapa lama, pintu di hadapan mereka terbuka dari luar. Mata Aurora seketika melebar. "William." Terdengar lirih, seperti angin musim kemarau yang berembus. Air mata Aurora mulai berjatuhan seiring melihat luka lebam di sekujur tubuh Wiliam. Kedua tangan William terikat, dan mulutnya dibungkam oleh plaster hitam. Mata mereka bertabrakan, menyiratkan duka mendalam bagi perasaan masing-masing, terlebih William sakit hati ketika melihat seluruh leher Aurora terpenuhi bercak noda menjijikkan. "Aku bisa melakukan apa pun, termasuk menghabisi nyawa seseorang. Jadi menurutlah dan tunduklah kepadaku, kalau kau masih menyayangi nyawa kekasihmu." Benar-benar iblis! Bibir Aurora bergetar. Ketika Darren menyelesaikan ucapannya dengan sebuah kecupan di pipi kirinya. Pelukan Darren di pingganya semakin mengerat, dan mata Wiliam semakin terlihat tersayat. Aurora harus bagaimana? Aurora ingin menerjang tubuh William dengan pelukan, dan mengajaknya berlari sejauh mungkin. Namun itu semua mustahil. Di pelipis William sudah ada pistol yang siap diletuskan untuk memutuskan tali nyawanya. Dan Aurora tidak punya pilihan lain selain berkata, "Ya, aku setuju. Dan jangan menggangunya lagi." Dan itu berhasil membuat senyum kemenangan Darren muncul. Dan tetes-tetes menyakitkan dari sudut mata William ikut melucur. *** "Makanlah." Aurora menatap jijik makanan yang Darren sodorkan di atas meja kecil di atas pangkuannya. Mereka sekarang sudah berada di dalam pesawat terbang menuju alam neraka yang lebih parah. "Aku tidak lapar," ucap Aurora dingin. Aurora memang menyetujui semua yang diperintahkan Darren termasuk ikut pulang ke negara yang di tinggalli si berengsek. Namun bukan berarti Aurora mengenyahkan rasa bencinya, Aurora tetap benci, bahkan sampai ke saraf pusat. "Aku tidak suka penolakan." Aurora menggeram, "Lalu aku harus bagaimana?! Perutku menolaknya, apa aku harus memaksakan memakan makanan ini sampai habis lalu setelah itu memuntahkannya tepat ke wajahmu. Apa itu yang kau mau!" teriak Aurora di depan wajah Darren. Rahang Darren mengeras, urat-urat di lehernya mengencang. Berani sekali wanita ini berteriak di depannya. Darren memijat pelipisnya kasar. Untung saja mereka berada di pesawat pribadi Darren kalau tidak -mungkin semua penghuni pesawat akan mendapatkan kemarahan Darren yang menyeramkan. Dan sialnya Grace ada di sana, berpura-pura tidur dengan buku novel yang menjadi penutup wajahnya. Dalam hati Grace berdoa, semoga Darren hilang ingatan tentang dirinya seketika. "Grace!" Namun sial! Namanya sudah terlanjur dipanggil sang aktor berhati iblis. Apakah dia harus menyelesaikan aktingnya, atau beringsut menghampiri si iblis? Oh, Tuhan, Grace terserang dilema berkepanjangan, hingga tidak menyadari wajah Darren sudah semakin menyeramkan. "Grace, aku tau kau tidak tidur!" Ketika Grace yang susah payah harus menanggung konsekuensi aktingnya yang gagal. Aurora lebih memilih memalingkan wajah ke arah jendela memandang awan. Tidak berniat membantu Grace dari amarah Darren. Persetan! Wanita itu juga tidak bisa membantunya terlepas dari terkaman iblis sialan yang duduk di samping tubuhnya. "Berikan aku obat bius." Seketika Aurora mengalihkan pandangannya langsung ke arah Darren dengan tatapan terkejut sekaligus takut. Tidak! Jangan bilang kalau si b******n ini ingin membiusnya. "Darren, seharusnya kau jangan terlalu kejam terhadap wanita." "Mana berikan padaku!" Darren tidak memperdulikan sepertinya. "Ah, aku ingat aku tidak membawanya." -alasan bagus Grace. "Berikan padaku." Namun Darren adalah Raja dari segala akting, dan Grace terlalu pasaran untuk akting sejelek itu. "Aku sunguh tidak membawanya." Grace masih mempertahankan akting buruknya. "Berikan padaku, Grace. Kalau tidak aku yang akan membiusmu terlebih dahulu." Ah, si b******n itu. Sabar Grace, gaji manager dari seorang aktor bernama Darren terlalu besar, sayang kalau dilepaskan. Dengan sedikit dengusan Grace meraih sesuatu dari dalam tasnya lalu melemparkannya ke arah Darren yang langsung ditangkap oleh laki-laki itu. Aurora semakin panik, "Tidak! Jangan lakukan itu." Aurora tidak mau! Efek dari aroma cairan itu selalu berakhir membuat kepala Aurora selalu pening. Darren tidak menghiraukan penolakan Aurora. Dia meraih sapu tangannya dan meneteskan cairan berengsek itu di sana. Kemudian mulai menatap mata Aurora dengan tajam. "Pilih... makan makanamu atau pingsan dengan cairan ini." Aurora menatap Darren dengan penuh kebencian yang siap meledak dari dalam mulut. Namun untuk saat ini kewarasan Aurora masih ada di batas kadar yang sangat baik, hingga tangan ramping itu secepat kilat menyambar piring untuk memakan makanan yang tadi Darren siapkan dengan penuh keterpaksaan. Aurora bisa merasakan senyuman Darren yang bergelayut sialan di ujung bibirnya, ditambah dengan tatapan prihatin Grace atas kehidupan kelamnya. Terserahlah! Aurora lebih memilih menahan rintihan mualnya di tenggorokan, dari pada memilih pingsan, lalu terbangun dengan keadaan tubuh telanjang. Tidak! Aurora tidak sudi untuk telanjang di depan Darren lebih dari dua kali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN