Chapter 7

1784 Kata
Sebenarnya Aurora sudah mencari celah untuk kabur saat pesawat milik si aktor b******n itu mendarat tepat di negara neraka, ah, maksudnya di negara Amerika. Namun terkutuklah dengan kekayaan si b******n yang begitu tumpah ruah hingga berhasil mendaratkan empat bodyguard berpostur tinggi tegap plus berwajah seram mengerumuni tubuh kecilnya hingga Aurora bisa dengan sialnya berhasil dihempaskan di dalam mobil mewah yang ternyata si b******n sudah ada di dalamnya. Aurora harus mengumpat di dalam hati, ketika matanya menemukan tatapan Darren sedang melekat ke arah tubuhnya. Sialan! Aurora merasa terlecehkan. "Jangan menatapku!" ucap Aurora dengan nada sinis, tatapannya terbuang ke arah jendela mobil. Terdengar kekehan menyebalkan Darren di telinga Aurora. "Kau wanita keras kepala." Dan itu benar! Aurora mendengus sinis mendengarnya, "Dan kau laki-laki bajingan." Ingat Aurora mempunyai tampungan kata-kata bagus luar biasa di dalam mulutnya. Salah satunya membuat emosi Darren meningkat, sedikit membuat Aurora terlihat mempunyai pertahanan kuat, walau artian sesungguhnya, ia tetaplah seorang wanita yang akan ketakutan dan menangis saat takdir kelam melintas dan berakhir menetap di hidupnya. Aurora juga bukanlah wanita yang lemah. Setidaknya dalam beberapa hal. Dia sudah terbiasa mengurusi amarah atau perlakuan kejam Nany, dan karena itu membuat Aurora bersyukur telah dianugerahi mulut setajam pedang yang membentang. Darren masih menatap Aurora tapi berpindah ke arah wajahnya. "Ya, kau benar aku b******n. Aku sangat suka julukan itu." Nada bicara Darren terdengar sangat tidak cocok dipadupadankan dengan perkataanya. "Sinting." Aurora mendesis jijik. Dan entah disyukuri atau tidak Darren mendengarnya. "Kau bilang apa?!" "Sinting!" "Apa kau mau mulut manismu itu kusumpal lagi dengan obat bius?!" Mendengar itu Aurora langsung menyela perkataan Darren dengan sangat cepat, "Kau b******n, itu yang kubilang. Puas!" Darren mengeluarkan napas berat. Alisnya mengkerut dan itu selalu terlihat menyeramkan. Mungkin amarah seorang Darren sedang diombang-ambingkan oleh mulut pedas Aurora sekarang. Tanpa dimengerti tangan Darren meraih pundak Aurora, sedikit mencengkeramnya hingga wanita itu meringis. Menarik tubuh gadis itu sampai menempel di tubuhnya. Aurora sontak terbelalak panik. "Apa yang kau lakukan? Lepaskan!" Bentakkan Aurora Darren hiraukan. Namun Aurora masih bersikeras untuk melepaskan diri. "Diam! Aku hanya ingin tidur." Darren semakin memeluk tubuh Aurora merapatkannya sampai wajah cantik Aurora menempel di d**a bidangnya, tidak menghiraukan tatapan supir pribadi yang terlihat mencuri pandang ke arah mereka. "Dan mungkin sambil memeluk tubuhmu akan membuat tidurku nyenyak seperti semalam," lanjut Darren lagi, sedikit bernada lembut, dan itu berhasil membuat Aurora terdiam kaku dengan debaran jantung yang segera Aurora maki di dalam hati. Jantung... Stop! Jangan berdebar untuk si b******n! *** Roda mobil berhenti berputar, dan itu yang membuat Aurora menyimpulkan bahwa dirinya sudah sampai. Melirik ke arah luar dan tatapan Aurora berubah takjub luar biasa. 'Mansionnya megah sekali. Lebih megah dari yang kupunya dulu.' Aurora sedikit tersentak saat mendengar suara tubuh Darren yang keluar dari pintu mobil setelah sang supir membukakan pintunya. Oh, Tuhan, Aurora tersadar, tidak seharusnya ia mengagumi apa pun yang si aktor b******n itu miliki. Aurora beringsut menempel di kursi mobil, merapatkan tubuhnya yang mulai bergetar karena takut. Saat ini yang bisa Aurora pikirkan hanya William, Aurora merindukan William. "Turun." Namun suara berat Darren menyadarkan Aurora dari pikirannya, melirik Darren yang sedang membukakan pintu mobil untuknya. "Turun," kata Darren lagi. "Aku tidak mau." Jawaban Aurora menyulut emosi Darren. "Jangan membantahku Aurora!" Aurora terdiam kaku. Bentakan Darren terdengar sangat keras. Apa si b******n ini memang sekasar itu terhadap perempuan. "Kau sudah menyepakati semuanya. Jadi milikku, pemuas nafsuku, dan menuruti segala perintahku." Ya, Aurora telah menyepakati itu semua. Tetapi tentang menjadi pemuas nafsu... terima kasih sekali, Aurora sama sekali tidak sudi. Melihat Aurora yang hanya diam tanpa suara, membuat Darren bergerak sendiri, meraih tubuh Aurora dalam apitan tangannya dan membawanya masuk ke mansion megahnya. "Yak! Turunkan aku." Darren tidak peduli, tubuhnya melewati acuh beberapa maid yang berjajar rapi menyambut kepulangannya. Aurora sendiri hanya memandang tidak nyaman, maid-maid berseragam hitam putih yang sedang mecuri padang ke arah mereka. Darren melangkah menaiki satu persatu anak tangga. Lalu ketika Darren masuk ke salah satu kamar, dengan dekorasi megah nan elegant, tubuh Aurora tiba-tiba terhempas kasar di atas ranjang. Si b******n itu yang melakukannya. Aurora memandang Darren dengan sorotan tajam menusuk. "Aku ingin pulang," ucap Aurora dengan mata tetes embun itu sudah berkaca-kaca. Sial! Darren tidak suka air mata. Apa lagi berasal dari mata seorang wanita yang ia nafsui. Darren beringsut menindih tubuh Aurora dan menatap wajah Aurora yang berubah seketika menjadi waspada. "Aku menginginkan seks ke tiga kita." Darren berbicara dengan nada serius, deru napasnya pun terdengar berat berhasrat. Aurora menggeleng waspada. "Tidak! Aku tidak mau. Aku mau pulang." Darren mencengkram dagu Aurora, sedikit kasar, "Berhenti meminta pulang. Karena aku tidak akan mengabulkannya." Aurora menepisnya. Wajah cantiknya seketika memerah siap meledak dengan tampungan amarah yang sudah mencapai ubun. "Kau b******n!" "Aku tidak peduli." Darren langsung mencium bibir Aurora, melumatnya kasar, dan menghisap bibir bawah Aurora dengan sangat keras. Satu-satunya organ tubuh yang berfungsi adalah tangan, dan Aurora memanfaatkan itu untuk memukul dan menjambak rambut Darren. "Berheti melawanku." "Selama kau masih hidup. Aku tidak akan pernah berhenti." Shit! Wanita ini sangat keras kepala. Darren bangkit dari tubuh Aurora, berdiri di sisi ranjang menatap Aurora yang kini semakin beringsut ketakutan, lelehan becek di kedua pipinya semakin membuat Aurora terlihat menyedihkan. "Aku ingin seks. Dan kau harus mau dengan suka rela." "Aku tidak mau!" Darren menggeram kesal, membuang napasnya kasar. Wanita ini selalu membuatnya bersitegang di saat selangkangannya menegang. Namun entah kenapa, itu yang selalu berhasil membuat Darren b*******h. "Kau milikku. Jangan membantah." Persetan! Otak Darren terlalu dangkal. Beroptimis bahwa ia adalah miliknya. Nyatanya tidak begitu. Darren merampas hak milik orang lain. Darren melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu merapihkan setelan jasnya yang sudah mengkusut karena ulah tangan Aurora yang kesetanan tadi. "Aku harus pergi. Aku akan datang lagi ke kamar ini nanti malam." Mati saja kau b******n! Darren mulai melangkah ke arah pintu, lalu berhenti saat tangannya sudah menggapai knop pintu. "Mulai saat ini kamar ini menjadi milikmu." Pintu terbuka sedikit. "Beberapa maid akan membawakanmu pakaian. Dan... jangan mencoba kabur karena kau akan tau akibatnya!" Blam Lalu pintu tertutup rapat menyisakan Aurora yang terdiam di atas ranjang, dengan ratapan nasib hidup yang mengenaskan. *** Sudah satu jam Aurora hanya mondar-mandir tanpa menghasilkan apa pun. Pintu kamar dikunci dari luar, dan jalan satu-satunya untuk bebas hanya ada di pintu balkon yang terbuka, dan itu mengharuskan Aurora untuk meloncat dari lantai 3 mansion ini dan berakhir mati mengenaskan di kolam renang. Tidak! Aurora tidak mau mati berusia muda. Tok tok tok Suara ketukan pintu berhasil mengagetkan Aurora. Melirik pintu yang terbuka dan melihat tiga wanita salah satunya paruh baya dan dua wanita yang lain terlihat masih berusia muda, mungkin seusianya. "Nyonya pakaian Anda sudah siap." Si wanita paruh baya memulai pembicaraan dengan hormat, dan Aurora melihat di kedua tangan wanita muda terdapat beberapa tumpukan pakaian. "Apa kalian bisa membantuku?" Pertanyaan Aurora membuat ketiga wanita itu menegang. Mungkin mereka sudah tahu apa yang Aurora maksudkan. Decakan kesal Aurora terdengar di dalam hati. Si b******n itu pasti sudah memperingati pegawainya agar tetap patuh. "Kalian tidak bisa membantuku?" "Maafkan kami Nyonya." "Kalau begitu, buang pakaian itu ke tempat sampah. Aku tidak sudi memakainya." "Tapi Nyonya, Tuan menyuruh kami untuk memberikan pakaian ini. Kalau kami membuangnya, beliau pasti akan marah besar." Si wanita muda menyaut. Aurora terdiam. Hati nuraninya sudah terlanjur ia injak ke dalam tanah, untuk apa ia berbelas kasih terhadap orang lain, sedangkan mereka tidak mau membantunya bebas sama sekali. Menurut Aurora, hidup itu harus adil. "Aku tidak peduli, kalian tidak bisa membantuku. Aku pun sama tidak bisa membantu kalian dari amarah majikan kalian yang sialan itu." Tidak ada yang berani bersuara. Hanya terdengar deru napas tegang. Merasa satu-satunya wanita yang Darren bawa ke mansion ini ternyata cukup berbeda dari wanita yang sering digosipkan dengan majikan mereka. "Aku ingin tidur." Aurora melangkah ke arah ranjang, lalu merebahkan tubuhnya di atas seprai putih, menutupi wajahnya dengan selimut tebal. "Dan buang saja pakaian itu. Aku tidak mau." Maid-maid hanya bisa diam di tempat. Lalu setelahnya membungkuk hormat dan yang lebih tua berucap, "Semoga tidurmu nyenyak Nyonya. Kami permisi." Aurora menghitung nada-nada ketukan sepatu hingga tenggelam di dentuman pintu yang menutup. Aurora bergegas bangkit kembali. Dan mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mencari celah yang bisa ia gunakan untuk menjadi jalan keluar. Lalu tatapannya tertuju di jendela dengan tirai berwarna senada dengan cat di dindingnya, putih bersih. Aurora mulai mendekati. Ada pohon hijau dengan ranting yang menjalar ke arah jendela. Seketika otak cemerlang Aurora mencetuskan ide. Bagaimanapun caranya Aurora harus keluar dari sini. Aurora tidak mau menjadi p*****r simpanan Darren untuk selamanya. Aurora tidak mau. *** "Darren, kau tidak mau ikut makan malam perayaan hari terakhir syuting film kita?" Darren hanya melirik sekilas wanita yang sedang bergelantungan manja di lengannya. Matanya masih fokus membaca deretan kata skenario, karena sebentar lagi gilirannya take syuting. "Mungkin aku akan langsung pulang." Wanita berbibir merah tebal itu menyeringai. "Mau main ke apartemenku. Kita bisa membuat o*****e hebat dalam satu malam," ucapnya mengedip nakal. Ada sedikit seringaian licik yang bergelantungan di sudut bibir Darren. Mulai menaruh naskahnya di atas meja dan mulai memangku tubuh wanita itu untuk di letakan di atas pangkuannya. Wanita itu merespons dengan mengaitkan kedua tangannya di leher Darren. "Maaf sekali, saat ini mungkin aku ingin segera pulang ke rumahku." Si wanita mengecup bibir Darren sekilas. "Tidak biasanya. Apa di rumahmu ada yang sepesial?" "Ya, ada makanan baru. Dan makanan itu sangat lezat. Aku bahkan ingin memakannya setiap kali aku bernapas." "Terdengar sangat menggiurkan. Aku jadi ingin mencobanya." "Makanan itu tidak cocok untuk kaum wanita." "Membuatku semakin penasaran." Bibir si wanita sudah mulai mendekati bibir Darren secara perlahan. Tangan rampingnya mengelus kemeja Darren dengan gerakan sensual. Ketika sedikit lagi bibir mereka menyatu. Wanita itu harus mengumpat kesal akan kedatangan Grace yang membuka pintu secara kasar. Suaranya terdengar menyakitkan. "Oke, aku tau kalian mengumpatiku saat ini. Tapi mohon maaf sekali Miss. Verona aku harus meminjam Mr. Darren sebentar, ada hal penting yang harus kubicarakan," ucap Grace terdengar seperti enggan. Grace sedikit tidak suka sifat aktris wanita yang bernama Verona ini. Menurut Grace, wanita ini terlalu kecentilan. "No problem," jawab Verona dengan senyuman yang membuat Grace menahan hasrat mualnya agar tidak muntah tepat di wajah sok cantik itu. Wanita itu kemudian bangkit setelah mengucup bibir Darren terlebih dahulu, lalu keluar dari ruangan make-up untuk memberi mereka privasi. "Kau masih saja meladeni wanita kecentilan itu." Grace duduk di kursi yang tadi Verona duduki. "Apa pedulimu." Oh, bisakah Grace menyumpal mulut tajam itu dengan bara api yang berkobar. "Oke, lupakan tentang wanita itu. Aku hanya ingin memberi tau. Tadi Pretty menelpon ponselmu." Mendengar nama kepala pelayan rumahnya dilontarkan, seketika membuat Darren sedikit cemas. "Apa terjadi sesuatu?" Grace mengangguk, dan Darren menahan napas karena itu. Tidak! Darren tidak boleh berprasangka buruk. Wanita itu pasti baik-baik saja. Wanita itu pasti sedang tidur nyenyak di dalam kamarnya. "Wanita yang kau beli malam itu. Dia berhasil melarikan diri." Namun semua pemikiran positif Darren terpatahkan. Wajah murka Darren seketika muncul, dan itu yang membuat Grace menahan napas takut. Oh, Tuhan kasihan sekali wanita itu. Maafkan Grace, setidaknya dia masih menjeda waktu lama untuk memberitahukan kabar ini kepada Darren. Grace berharap wanita itu lolos dari terkaman malaikat maut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN