Berita yang Grace bawa berdampak buruk untuk keadaan Darren sekarang. Emosinya meningkat pesat. Mengutuk beberapa orang yang telah lalai memenuhi perintahnya.
Apa yang sebenarnya mereka lakukan. Darren tidak memberikan uang secara cuma-cuma, atau sumbangan untuk kaum yang membutuhkan. Darren memberikan berlembar-lembar dollar sebagai gaji dari hasil kerja mereka mengamankan Mansion atau mengamankan keselamatan nyawanya sendiri.
Tetapi apa yang mereka lakukan. Kerja mereka sangat tidak becus —bahkan dalam hal menjaga seekor tikus kecil penghuni salah satu kamarnya pun mereka membiarkannya lolos begitu saja.
Haruskah Darren memberikan sebuah pelajaran —dengan memenggal kepala mereka satu persatu.
"Kenapa bisa wanita itu lolos dan melarikan diri? Apa yang di kerjakan maid dan bodyguard sialan itu. Apa mereka mau mati di tanganku!"
Suara murka Darren semakin menggema menyeramkan di dalam ruangan, yang untungnya hanya ada mereka berdua, dengan Grace yang masih di sana, mungkin sedang melafalkan doa di dalam hati, agar para pelayan dan laki-laki tegap di rumah Darren tidak kehilangan nyawa karena masalah ini.
"Grace!" Suara Darren terdengar serius.
Dan tidak ada hal yang lebih menyeramkan saat ini selain ketebalan amarah yang sedang melekat tepat di wajah Darren. Grace mengakui itu. Ia terlalu cantik untuk menjadi pekerja seorang iblis, dan ia terlalu pintar untuk menjadi seorang pembangkang dan berkepala batu. Namun itu semua tidak berguna ketika Darren sedang marah. Grace akan terlihat seperti anjing kecil bisu yang sangat memprihatinkan.
Mengerti bahwa pria itu tidak akan main-main dengan amarahnya. Wajah Darren kini sudah berubah persis menyerupai makhluk-makhluk neraka yang amat kejam dan menyeramkan. Dan itu sangat tidak menyenangkan.
"Aku tidak ingin mendengar kabar buruk untuk kedua kali. Jadi katakan pada mereka agar segera menyeret wanita itu kembali ke kamarku hidup-hidup!"
Napas Grace jatuh seketika. Mulut sialan itu kenapa harus berteriak di depannya. Grace menjadi semakin —takut.
Oh, Tuhan sebenarnya itu bukan Grace sekali. Kemana tampungan kata-kata pedas di dalam tenggorokan Grace, kenapa saat ini tidak bisa di muntahkan sebagaimana mestinya.
Darren sendiri sudah sangat gatal ingin berlari mencari Aurora dan sedikit menghempaskan bogeman mentah tepat di wajah beberapa bodyguardnya. Namun nyatanya keinginan Darren harus rela terhempas kasar karena tuntunan profesionalitas yang sudah melekat di dalam diri Darren. Laki-laki itu tidak mungkin menghancurkan kariernya sendiri dengan berbagai tumpukkan berita buruk di surat kabar keesokan harinya.
"Darren, mungkin sebaiknya kita lepaskan saja. Kau bisa mencari wanita lain yang lebih cantik dan seksi untuk kau tiduri."
Sudah cukup dengan berita melarikan diri wanita itu yang berhasil membuat semua isi otaknya terpenuhi berbagai kecemasan. Darren cemas saat wanita itu tidak bisa di temukan lagi. Ketertarikannya sudah terlalu besar, seperti menarik diri dari lubang semut, tidak bisa keluar dan tidak bisa masuk lebih dalam. Ketertarikan itu semakin sulit untuk di kendalikan. Dan haruskah Grace menyalakan pelatuk api di atas kepala Darren yang sudah berkobar panas.
"Tutup mulutmu Grace!"
"Darren-"
"CARI WANITA ITU SAMPAI DAPAT! KALAU TIDAK AKAN KUBUNUH KALIAN SEMUA!" Bentakan sekaligus perintah yang begitu luar biasa, begitu pongah dengan egoismenya yang melewati batas.
Grace hanya bisa mengangguk patuh, walau dalam hati begitu kesal. Segera keluar dari ruangan dan meninggalkan Darren dengan amarah yang masih menguasai jiwanya.
Sampai kapanpun Darren tidak akan pernah melepaskan wanita itu. Wanita itu alat pengendali kebutuhan biologisnya. Wanita itu bisa memuaskannya, lebih dari para p*****r mahal yang sering Darren pakai.
Wanita itu berbeda.
***
Seperti terselamatkan dari nereka. Aurora dengan cekatan berlari dengan keadaan kaki telanjang. Wajahnya berseri, terlalu senang, bahwa dia bisa menghirup udara bebas.
Sebenarnya tidak sepenuhnya bebas, karena ada beberapa laki-laki berbadan tegap terlihat masih mengejarnya dari arah belakang. Yang Aurora bisa pikirkan saat ini hanya —meminta pertolongan kepada siapapun agar nyawanya tidak berakhir mengenaskan kembali di tangan si aktor iblis bernama Darren.
Namun sial! Sedari tadi Aurora tidak menemukan makhluk hidup satupun selain pepohonan hijau yang membentang luas. Sebenarnya ia berada di mana? Kenapa rumah si b******n itu begitu jauh dari pusat kota.
Aurora masih menelusuri jalan setapak sedari tadi, mengingat ia tidak mungkin melewati jalan yang lain. Itu akan membuat pengawal Darren menemukan keberadaannya lebih cepat. Langit sudah mulai menghitam, dan sedikit tetes-tetes basah membasahi bumi, mungkin akan menjadi hujan lebat. Tubuhnya hanya terbalut dress yang Aurora pakai kemarin. Dan itu tidak cukup melindungi dari hawa dingin yang menusuk kulitnya hingga menggigil.
Aurora masih berjalan, dan berhenti ketika mendapati jalanan luas dengan beberapa mobil lalu lalang di depan matanya. Sontak kedua mata Aurora langsung terbelalak lebar dengan mulut menjerit senang.
Oh, Tuhan terimakasih. Aku bebas.
Aurora segera berlari dan berhenti di pinggir jalan, mencoba memberhentikan mobil yang lalu lalang dengan cara membentangkan sebelah tangannya ke arah depan. Sakit di bagian telapak kakinya Aurora hiraukan. Ia sudah lelah, Aurora butuh seseorang untuk menolongnya.
"Tolong!" teriak Aurora, dan berakhir menggeram kesal karena dengan sialnya, mobil yang Aurora harapkan melewati acuh tubuhnya begitu saja. Mungkin mereka terlalu ketakutan untuk menolong seorang wanita cantik di pinggir jalan dengan dress putih dan rambut yang urak-urakan.
Aurora tidak pantang menyerah. Lantas ia menaikan lebih tinggi lagi nada suaranya agar terdengar lebih keras, ketika melihat ada satu mobil mewah lagi yang mulai akan melintas.
"TOLO-"
Namun suara Aurora terhenti, bukan karena apa-apa, hanya saja tenggorokannya tersedak kubangan air yang berhasil mobil sialan itu muncaratkan ke arah wajahnya. Berengsek! Mobil sialan!
Aurora melempar kerikil kecil ke arah mobil yang melaju pergi, mengumpati kasar mobil tak tau sopan santun itu, dan menjadi wanita bodoh karena harus menangis. Wajah Aurora sudah sangat berantakan, terlalu becek dengan air mata dan kubangan air kotor yang menyatu menjijikan di kedua pipinya. Otak Aurora sudah terlanjur frustrasi. Nekat berjalan ke tengah jalanan untuk memberhentikan satu mobil lagi yang akan melintas. Persetan! Aurora tidak peduli bahwa ia akan kehilangan nyawa setelah ini. Mungkin itu lebih baik dari pada harus menjadi seorang p*****r dari si aktor b******n. Demi Tuhan, mati adalah jalan yang terbaik.
Aurora membentangkan tangannya lebar-lebar. Air mata kepasrahan sudah semakin banyak menerjunkan diri. Suara klakson dari mobil itu semakin nyaring terdengar seiring mobil kecepatan tinggi itu mulai mendekat. Lampu dari mobil itu membuat mata Aurora terpejam hingga—
BRUK
Kemudian kesadaran Aurora mulai menghilang.
.
.
.
Syuting yang sialnya begitu banyak menyita waktu kini telah selesai. Walau harus memuntahkan sebuah kebohongan kepada kru untuk tidak bergabung dalam perayaan terakhir syuting film yang sudah di gembar-gemborkan akan merajai beberapa teater bioskop terbesar di dunia.
Darren berjalan terburu-buru menghampiri mobil mewahnya, marah ketika melihat waktu di arloji tangannya sudah menunjuk angka tujuh malam.
Sapaan pria berusia 50 tahun bernama Peter (supir pribadinya) bahkan sudah tidak bisa di tanggapi, Darren hanya berlalu masuk begitu saja ke jok mobil belakang. Peter sendiri sudah peka terhadap sikap Darren seperti itu. Ia lebih memilih aman dengan menutup mulutnya, bersamaan menutup pintu mobil.
"Darren!"
Namun sesuatu terjadi. Darren harus di kejutkan oleh suara Verona yang berteriak dari arah samping. Dan dengan kesopanan Peter kembali membuka pintu mobil dan memperlihatkan wajah tidak bersahabat Darren. Wanita itu menghampiri Darren, dan saat ini Darren sungguh tidak butuh kata basa-basi lain yang ingin Verona muntahkan. Detik ini Darren hanya butuh segera pulang. Dia harus segera menemukan wanita mungil itu.
"Kau tidak ingin mengunjungi apartemenku malam ini?"
Pertanyaan sejenis itu sudah menjadi konsumsi basi di lubang telinga Darren. Dan juga tidak ada yang ingin Darren kunjungi saat ini, selain kamar wanita itu, dan memberikan pelajaran berharga karena telah berani kabur dari Mansionnya. Sampai wanita itu jera, sampai wanita itu tidak akan pernah mengulangi hal yang sama.
"Untuk hari ini waktuku terbatas. Kau bisa membawa supirku jika kau ingin teman untuk saling menghangatkan di atas ranjang."
Wanita itu menatap Darren terkejut. Sama terkejutnya dengan Peter yang langsung mengalihkan pandangan canggung ketika Verona menatap jijik ke arah Peter. Tidak menyangka bahwa Darren bisa berkata sejahat itu kepadanya. Verona masih mempunyai harga diri, walau harga dirinya menempel di balik celana dalam provokatifnya yang tergeletak hina di atas lantai. "Kau pikir aku w************n. Tidur dengan supirmu! Yang sudah tua."
Ada sedikit tawa menyebalkan yang bergelayut biadab di ujung bibir Darren. "Ku pikir selama ini, kau p*****r murahan," ucap Darren dengan nada yang sedikit menghina. Tanpa memperdulikan wajah cantik Verona yang sudah terbaluti amarah. Darren menyuruh Peter untuk segera menutup pintu mobilnya dan melaju pergi. Darren tidak mau membuang waktunya hanya untuk meladeni w************n.
Di perjalanan Darren menyempatkan untuk mengirim pesan terlebih dahulu kepada Grace.
*Apa mereka sudah menemukannya?*
Belum sempat beberapa detik ponsel Darren kembali berbunyi, itu Grace dengan jawabanya yang semakin membuat Darren emosi.
*Ku rasa belum.*
Shit! Darren tidak menginginkan jawaban ini.
*Aku tidak main-main Grace. Cepat temukan wanita itu, dan mereka akan selamat, termasuk KAU.*
Darren menebak bahwa Grace sedang memakinya di sabrang sana dengan mulut kotornya.
*Hentikan obsesi gilamu itu Darren. Wanita itu kabur, karena kekejaman yang kau berikan. Wanita manapun tidak akan sudi tinggal dengan orang gila.*
*Kau mengataiku orang gila.*
*Itu bukan untuk kau, tapi untuk egomu yang setinggi luar angkasa!"
Shit!
BRUK
Belum sempat Darren membalas pesan Grace dengan umpatan kasar. Kewarasan Darren terlebih dahulu harus tersentak kaget karena mobil yang di tumpanginya mengerem mendadak. Oh, sungguh! Apakah Peter juga harus semenyebalkan ini sekarang.
"Apa kau tidak bisa menyetir?!"
"Maaf Tuan, ada seorang wanita menghalangi jalan, sepertinya mau bunuh diri."
Persetan dengan itu! Darren tidak perlu sesinting itu untuk menjadi pahlawan kesiangan, menggalakan percobaan bunuh diri seseorang.
"Cepat jalan!"
"Tapi-"
"Kau tidak mendengarku? Cepat jalan!"
"Tapi saya sedikit kenal wanita itu Tuan."
"Dan haruskah aku peduli!"
"Dia seperti Nona Aurora Tuan."
Mulut Darren sudah siap untuk memuntahkan kata-kata lagi, namun nyatanya kata-kata itu langsung tertelan kembali ke tenggorokan saat mendengar nama Aurora disebutkan. Refleks Darren langsung menatap fokus ke wajah Peter yang terlihat sedang susah payah menelan kegugupanya.
"Kau yakin?"
Melihat Peter menganggukkan kepala meyakinkan. Membuat Darren bergegas keluar dari mobil dan melihat wanita yang tergeletak pingsan di depan mobilnya.
Darren menghampiri tubuh wanita itu, dan mulai meraih rambut-rambut kusut yang menutupi wajahnya. Ketika seluruh wajahnya terlihat di kornea mata Darren. Seketika Darren tidak bisa mengendalikan senyumannya. Bergelayut menyeramkan di ujung bibirnya.
"Kau tidak akan pernah lepas dari genggamanku Aurora. Kau milikku. Dan nikmati hukumanmu ... karena aku tidak sebaik itu ketika marah!"