Prolog
“Yaaaay! Motor baru!” Seru Thalia kegirangan. Ia mengelus-elus body motor matic yang masih mengkilat tersebut dengan senyuman merekah. Tangannya merobek plastik pembungkus dengan penuh penghayatan, seolah itu adalah kaca tipis yang bisa retak sewaktu-waktu.
Sementara itu, seorang pria di sampingnya, geleng-geleng kepala melihat tingkah norak Thalia.
“Padahal dari kemarin-kemarin kamu sudah bisa beli motor, lho!” Jawab Attar gemas.
“Kemarin kan duitnya belum cukup, gimana sih?” Sahut Thalia sebal. Ia paling anti berutang, meskipun itu untuk membeli motor kreditan. Kepalanya bisa pusing tujuh tanjakan saat ia nanti kebetulan tidak punya uang untuk membayar cicilan.
“Kan aku bisa beliin!” Seru Attar merengut.
“Aku mau beli pakai duitku sendiri. Bukan duit orang lain.” Ketus Thalia menaiki motornya.
“Kamu anggap aku orang lain?” Jawab pria itu melotot.
Thalia ciut meneguk ludah. “Bukan begitu. Kamu tetap kesayanganku.” Bujuknya kemudian mengecup pipi pria itu demi meredam amarahnya.
Attar tersenyum geli. “Ya sudah, pulang dulu, gih. Aku anterin ke kosan, ya.”
“Nggak usah. Nanti kamu kemalaman pulangnya.” Jawab Thalia.
“Yakin?”
“Uhum.”
“Oke, hati-hati pulangnya.” Jawab dokter muda tersebut mengacak-acak rambut Thalia sekilas, dan mengecup puncak kepalanya. Tak lama kemudian, Attar berlalu dengan kendaraan roda empatnya.
Thalia menatap kepergian Attar sedih. Ia menunduk menyembunyikan air mata.
Iri.
“Duh Tuhan, kapan ya, gue punya mobil kayak gitu?” Monolognya sendirian.
Ia menghembuskan napas memasang tas selempangnya dan menstarter motor yang masih belum punya plat resmi tersebut pulang menuju tempat kosnya.
***
Pria itu menggigiti kukunya resah. Sebelah tangannya mengendalikan roda kemudi. Dalam sepuluh menit, ia sudah harus sampai di sebuah tempat dimana sang ibu hendak mempertemukannya dengan seorang perempuan yang katanya adalah calon isteri yang pantas untuknya.
Ia adalah seorang pria dengan standar kelayakan di atas rata-rata. Tetapi, nasibnya di bidang asmara seringkali apes. Tak ada seorang pun perempuan yang ia bawa ke hadapan orang tuanya, berakhir di pelaminan. Semua ditolak oleh sang ibu yang memasang target terlalu tinggi.
Dan wanita yang sangat ia hormati itu, terus saja merengek memintanya segera menikah karena sudah kebelet ingin menimang cucu. Seolah membuat seorang anak sesederhana membuat adonan donat.
Apes.
Pandangannya fokus ke depan, tetapi pikirannya melantur kemana-mana, sampai tidak sadar di depan sana sebuah motor menyalakan lampu sein hendak berbelok ke kiri.
BRAKK!!!
Ia membanting setir ke kiri dan mobil mewah itu menabrak trotoar di sampingnya.
Wajahnya pucat pasi. Tungkainya menggigil.
Sementara di depan sana, massa mulai berkerumun.
Apa sebaiknya gue kabur saja, ya?